Oleh Ipak Ayu H Nurcaya/Renti Rosmalis
Judul: Seekor Anjing Mati di Bala Murghab
Penulis: Linda Christanty
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: 2012
Jumlah Halaman: 131 halaman
Harga: Rp 35.000,00
Masih dengan tema-tema khas Linda Christanty tentang kemiskinan, kekejaman, pembunuhan dan sejenisnya. Kini sepuluh cerita pendek kembali dihadirkan, bukan Linda jika tak dapat menyajikan yang sederhana menjadi yang memikat.
Pemilik anjing tersebut bernama Aref, bocah laki-laki tampan berusia sekitar enam tahun seketika berlari kencang ke arah anjingnya yang sekarat. Anak laki-laki tersebut hampir sampai di muka tubuh anjingnya. Tapi serdadu itu tak membiarkannya menyentuh apa yang ia inginkan. Sebelum tangan kecilnya yang pucat menyentuh bangkai anjing kesayangannya, serdadu tersebut cepat-cepat meraih dan melempar bangkai tadi sejauh mungkin, ke seberang jalan.
Aref menangis keras, tubuhnya menggigil. Perempuan yang disangka Aku adalah ibunya telah berada di sisi Aref dan memeluk si bocah. Lalu membawa Aref jauh dari genangan darah anjing, Aref pun terus menangis.
Sampai Aref dan ibunya tiada tampak lagi. Tidak seorang pun berani menyentuh bangkai anjing di seberang sana. Serdadu yang menembak anjing tadi tiba-tiba memberi isyarat pada Aku. Ia minta dipotret.
Judulnya Seekor Anjing Mati di Bala Murghab, sekaligus menjadi judul buku karya peraih Khatulistiwa Literary Award (KLA) tiga kali (2004, 2010,2012) Linda Christanty. Cerita ini memang kisah sederhana tentang pengamatan seorang jurnalis dalam meliput konflik di Afganistan. Tapi bukan seorang Linda Christanty jika tak dapat menyajikan cerita bertema sederhana menjadi memikat dan istimewa.
Buku yang memuat sepuluh karya cerpen Linda ini dibuka dengan cerita pertama berjudul Ketika Makan Kepiting. Yaitu sebuah cerita yang menghadirkan tokoh utama yang penuh imajinasi. Dengan cerita masa lalunya bersama keluarga tiri yang membuat ia selalu tidak kebagian makan daging kepiting.
Ada pula kisah tentang Zakaria, cerpen yang mengangkat kisah kecil dalam pergerakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Banyak isu sosial yang dijadikan tema dalam beberapa cerpen Linda di buku ini. Mulai dari pergerakan GAM di Aceh seperti dalam cerpen Zakaria, kisah seorang cucu dari kakek pemberontak, kekerasan dalam rumah tangga oleh pasangan sesama jenis, konflik Afghanistan, hingga sebuah cerpen tentang Luta seorang manusia yang hidup abadi di Kalimantan. Beberapa di antaranya telah dipublikasikan di media nasional seperti harian Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Jurnal Prosa dan di berbagai situs internet.
Jika membandingkan dengan buku-buku Linda sebelumnya yakni Kuda Terbang Mario Pinto (kumcer, 2004) Rahasia Selma (kumcer, 2010) Jangan Panggil Kami Teroris (essai, 2011) melulu Linda tak jauh mengangkat tentang tema kekerasan, kekejaman, penyiksaan, kemiskinan dan kematian atau sejenisnya. Bagi Linda di jaman serba modern ini sesuatu itu bukan lagi hal yang langka atau jarang karena sesungguhnya ia biasa terjadi dan di sekitar kita. Tidak menjadi berita yang istimewa lagi jika saya mendengar Linda kembali mendapat penghargaan untuk karyanya yang satu ini.
Secara keseluruhan, setiap cerita memiliki daya tarik tersendiri yang berbeda dari cerita sebelumnya. Hanya saja dalam cerpen terakhir yang mengisahkan Luta manusia abadi disajikan dengan cara penulisan hampir seperti artikel sehingga agak sedikit bosan.