Oleh: Hadissa Primanda
Kata ayah, aku istimewa, karena aku berbeda dengan mereka. Sejujurnya aku tak mengerti mengapa ayah bilang begitu. Kenyataannya aku merasa perbedaan yang aku miliki terasa janggal. Aku punya mulut, namun tak bisa mengurai kata-kata dengan baik.
Aku punya sepasang telinga, namun aku hanya bisa menangkap suara dengan sayup-sayup. Bagi mereka yang ingin berbicara denganku, harus memasang volume yang sedikit lebih besar.
Kedua tanganku lebih aneh. Tangan kiriku lebih pendek dari pasangannya, dengan jari-jari yang bertaut satu sama lain. Sementara yang kanan tak jauh lebih baik,ibu jari dan telunjukku saling menempel, hingga hanya ada tiga jari yang bisa aku gunakan.
Sementara kakiku normal, seperti mereka. Namun tetap saja, aku tak pernah menjejakkan kakiku ke tanah. Aku lumpuh.
“Waktu kamu baru pandai jalan, kamu terjatuh cukup keras, kedua tempurung kakimu bergeser jadi kamu tak bisa jalan lagi,” cerita ayah sore itu, saat memandikanku. Satu-satunya dari diriku yang masih tersisa adalah mata. Aku beruntung karena aku masih bisa melihat meskipun tak bisa melakukan hal lain.
Lima tahun sudah aku hidup seperti ini. Di sebuah gubuk reyot di perkampungan kumuh, bersama ayah yang seorang pemulung. Ayah bekerja tak jauh dari rumah, namun selalu membawaku turut serta.
Saat ayah bekerja, aku akan duduk di sebuah bak truk usang yang tidak dipakai lagi. Sembari ayah bekerja aku hanya sibuk bermain dengan boneka beruang lusuh yang ditemui ayah saat memilih sampah. Ayah akan membelikanku makan siang dan menyuapiku saat istirahat.
Saat sore menjelang, ayah akan menggendongku pulang. Lalu memandikan, kemudian memasak makan malam untuk kami berdua. Setelah itu, aku akan tidur sementara tangan ayah mebelai-belai rambutku. Dengan begitu aku merasa tenang dan lebih cepat tidur.
Aku merasa cukup dengan kehidupanku sekarang. Ayah sangat menyayangiku dan selalu ada untukku. Meskpiun begitu,aku selalu memendam satu pertanyaan yang tak kunjung ku utarakan pada ayah. Aku belum menemukan waktu yang tepat untuk mengatakannya, karena ayah pun tak pernah menyinggungnya.
Hingga suatu pagi, ayah tidak bekerja karena libur. Kami duduk-duduk di beranda rumah yang sempit. Aku melihat seorang gadis seusiaku sedang berjalan beriringan dengan ibunya. Aku melirik ayah, lalu menarik lengan bajunya dan mengarahkan tanganku pada mereka. Saat melihat arah tanganku, air muka ayah berubah. Ada gurat rindu, sedih dan marah di dalamnya. Aku tak mengerti namun ayah tak kunjung bicara. Ia lalu bangkit, menuju kamar. Tak lama kemudian, ayah kembali dan menyerahkan selembar foto.
“Ini foto Ibumu, simpanlah!” seru ayah.
Aku memandangi selembar foto itu.
Dalam foto separuh badan itu, tampak seorang wanita tengah tersenyum ke arah kamera. Kulitnya kuning langsat, dengan bibir tipis. Alis matanya tebal memayungi bola matanya yang besar dan berbinar. Hidung wanita itu mancung, sangat menyatu dengan wajah bulat telurnya. Yang amat menarik dari wajah itu ialah tahi lalat di bawah mata kirinya. Tahi lalat itu cukup besar, hingga masih keliatan walaupun telah ditutupi bedak.
“Ia sangat cantik,” tanpa sadar ayah juga ikut memandangi foto wanita yang ternyata adalah ibuku itu. Dalam hati, aku mangamini apa yang dikatakan ayah. Ibuku memang sangat cantik.
Aku kembali menatap ayah dengan tatapan bertanya lagi. Seakan mengerti apa yang ingin aku tanyakan, ayah hanya bilang
“Ibumu pergi bekerja, dia bilang ia punya dunianya sendiri, jadi akan sulit kalau kita ikut”. Lagi-lagi, ayah memasang ekspresi yang sulit dibaca. Aku tak sepenuhnya mengerti.
Lalu, setiap saat yang aku lakukan hanyalah memandangi foto ibuku. Saat menunggui ayah bekerja, hingga saat akan tertidur. Kadang aku mereka-reka di mana ibuku berada, atau apa yang sedang dilakukannya. Namun, ayah tak pernah lagi mengungkit tentangnya.
***
Sebulan yang lalu, ayah membuatkanku sebuah kursi roda dari kayu-kayu bekas dan roda sepeda usang. Meskipun sedikit sulit mengayuh, aku mulai terbiasa untuk mengayuh sendiri, hingga tak perlu membebani ayah. Aku pun sering berjalan-jalan sekadar mencari angin segar dan ayah pun tak melarang asal aku bisa jaga diri.
Seperti sore ini, aku berjalan hingga ujung kampung, perjalanan terjauhku selama ini. Ternyata di ujung kampung ini, ada sebuah rumah dengan deretan kamar-kamar. Banyak wanita duduk di sana, dan beberapa mobil mewah yang parkir. Aku tak mengerti tempat apa itu dan memilih pulang, takut ayah cemas karena hari sudah mulai magrib.
Tepat saat aku akan mengayuh kursi rodaku berbalik, aku melihat seorang wanita turun dari sebuah mobil, bersama seorang pria. Aku merasa tak asing dengan wanita itu, dan berusaha mengenalinya. Jantungku berdegup kencang saat wajah wanita itu tepat menghadap ke arahku. Ada tahi lalat di bawah mata kirinya. Aku ingin sekali berteriak memanggilnya, namun lidahku kelu.
Dadaku naik turun karena menahan napas. Terlebih apa yang aku lihat sesudahnya membuatku emosi. Pria yang bersama wanita itu asik memeluk dan sesekali menciumi pipinya. Terlalu lama untuk sebuah ucapan perpisahan.
Lalu aku hanya menangis tersedu-sedu. Tanpa sadar kursi rodaku didorong seseorang. Aku masih menangis hingga di depan rumah. Ayah yang ternyata menjemputku, berlutut di hadapanku dan memelukku erat. Ia juga menangis, sepertinya tak rela aku mengetahui fakta buruk itu. Aku baru sadar mengapa selama ini ayah menutupi cerita tentang ibu.
“Maafkan ibumu Nak,” hanya itu yang diucapkan ayah di sela-sela tangisnya.
Darahku berdesir dan tahu takkan bisa melakukan itu. Kemudian aku mengeluarkan foto yang diberikan ayah sebulan lalu, merobek paksa lalu membuangnya. Mungkin segala sesuatunya lebih baik, tanpa harus ada ibu.