Oleh: Hadissa Primanda
Rintih gerimis hujan sore itu mulai membasahi jalan. Orang-orang berlalu lalang mempercepat langkah mereka. Sekawanan burung gereja bergegas mencari sarang mereka. Namun aku masih duduk dengan tenang di halte ini. Gerimis sore itu mulai turun rapat, meski langit tetap merona jingga. Aku menikmati pemandangan ini. Terlebih, aku memang menyukai hujan.
Di sebelahku, Kafta, adik lelakiku yang baru berumur lima tahun sibuk dengan mobil-mobilannya. Sama sepertiku, ia juga tak menggubris keberadaan sang gerimis. Lebih tepatnya, ia tak pernah menggubris apa pun. Maklum, ia autis. Meskipun begitu, aku sangat dekat dengan adikku itu. Sementara orang tua kami bekerja, aku selalu menjaganya, meskipun pada saat sekolah aku harus menitipkannya pada sebuah taman bermain anak-anak dekat rumahku. Kata ayah, mungkin butuh waktu beberapa tahun lagi untuk memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Dan sore ini, aku baru saja pergi menemaninya pergi membeli mainan, dan singgah sebentar untuk menunggu bus pulang.
Perlahan, aku mendengar bunyi suara vespa mendekat. Vespa itu berwarna putih dan begitu bersinar. Ia memang bukan vespa putih pertama yang aku lihat, tapi tidak tau mengapa ia sungguh berbeda. Vespa itu berhenti di hadapanku, pemiliknya ikut turun dan membuka helmnya. Ia pun duduk di sebelah Kafta dan tersenyum padanya. Sesaat, aku cukup terpukau. Ia tampan dan senyumnya ramah. Menyadari keberadaanku, ia melihat dan tersenyum.
“Lagi menunggu bus datang ya?,” tanyanya membuka percakapan sore itu.
“Iya, kau sendiri?,” jawabku balas bertanya.
“Ingin menikmati hujan sore ini saja sebentar, aku sangat menyukai suasana seperti ini. Sore jingga dengan gerimisnya, indah sekali,” ujarnya sambil tersenyum ke arah jalanan di hadapan kami.
Aku pun cukup terpana mendengar jawabannya. Aku takjub saat tau ia mempunyai pemikiran yang sama denganku.
“Iya, indah sekali,”jawabku seraya tersenyum juga.
“Ini adikmu?,” lanjutnya bertanya.
“Iya,” jawabku singkat.
“Siapa namanya dekk? Kelas berapa sekarang?,” tanyanya sambil mengelus kepala Kafta.
“Ia tidak suka berbicara dengan orang yang tak dikenalnya, ia autis,” jelasku.
“Autis?” jawabnya takjub. “Aku juga punya adik yang autis, sama sepertimu,” lanjutnya, dan tersenyum lagi.
“Benarkah?,” tanyaku takjub.
“Ya,” jelasnya.
Begitulah, percakapan sore itu terus berlanjut. Aku amat terpesona dengan sosok Darma, begitu ia disapa. Selain menyukai hujan dan mempunyai adik autis, banyak lagi bagian dalam dirinya yang sama denganku. Aku seolah melihat diriku dalam wujud pria melalui dirinya. Karena itulah, aku jadi semakin ingin mengenalnya lebih dekat.
***
Sudah hampir satu bulan semenjak perkenalanku dengan Darma di halte ini. Hubunganku dengannya semakin lama semakin baik, begitupun ia dan Kafta. Ia acap kali menjemputku pulang sekolah dengan vespa putihnya, mengajakku dan Kafta jalan-jalan juga dengan vespa putihnya. Kafta, riang setiap ia berdiri di depan Darma saat di atas vespa. Tak jarang ia berteriak-teriak kegirangan. Tapi Darma tak pernah marah ataupun melarang Kafta. Malah, ia semakin menyayanginya. Ia sering membelikan Kafta haidah, dan berkunjung ke rumah kami untuk bermain dengan Kafta dan kucing putihnya. Karena tak peduli dengan dunia luar, Kafta memang hanya mau berbagi dengan kucingnya itu. Herannya, sejak kedatangan Darma, Kafta jadi lebih terbuka.
Terkadang aku benar-benar merasa beruntung memiliki Darma. Sangat jarang ada lelaki yang mau menerima keadaan adikku sehingga aku tak pernah punya teman lelaki. Dan Darma, pangeran bervespa putihku itu berbeda. Itulah yang membuatku yakin dan amat percaya padanya. Meskipun Ayah pernah memperingatkanku tentang hal ini.
“Gadis, jangan terlalu percaya pada orang yang baru dikenal, Nak. Jadikanlah ia sebagai teman biasa saja. Meskipun ia amat menyayangi Kafta. Siapa tau itu karena ia hanya punya adik yang seperti Kafta. Ayah hanya tidak ingin kau terluka,” nasehat ayah kala itu.
“Tenang saja, yah. Aku mengenal Darma lebih baik daripada Ayah. Aku belum pernah bertemu lelaki seperti ia, dan merasa sangat nyaman saat bersamanya. Jadi tidak ada yang perlu Ayah khawatirkan. Ia akan mejagaku dan Kafta dengan baik,” terangku meyakinkan Ayah.
Seperti sore ini. Ia mengajak Kafta bertemu dengan adiknya, namun hanya berdua saja. Maklum, aku ada kegiatan di sekolah sehingga tidak dapat ikut dengan mereka. Bagiku tidak masalah, karena aku percaya padanya, dan ia pun meyakinkanku akan menjaga Kafta baik-baik, lalu menyuruhku untuk menunggunya disini.
Sore sudah mulai beranjak gelap. Rintik gerimis perlahan berganti menjadi hujan. Aku mulai gelisah. Sudah satu jam lebih aku menunggu Darma untuk mengantar Kafta kembali, namun ia tak kunjung datang. Berkali-kali aku menghubunginya melalui ponselku, namun tak ada balasan. Aku cemas dengan apa yang terjadi dengan mereka berdua.
Sesaat kemudian, kala hujan makin lebat dan langit makin gelap,aku masih termangu di halte ini bersama beberapa orang yang juga berteduh, dan sebuah vespa mendekat. Vespa putih, namun bukan punya pangeranku. Tiba-tiba terdengar bunyi decitan yang amat keras dari arah vespa tadi.
“Ciiiiittt….,” vespa itu mengerem mendadak.
Namun ia terlambat, seekor kucing putih tergeletak bersimbah darah. Si pemilik vespa tak melihat kucing malang itu dan menabraknya. Aku terkejut. Perasaanku semakin tidak karuan mengingat Kafta tak juga pulang. Hatiku semakin bergetar tatkala ponselku bergetar dan melihat nama “IBU” tertera disana.
***
Sudah hampir satu tahun berselang dari kejadian naas itu. Aku masih sangat trauma dan tidak bisa menerima kenyataan. Perasaan bersalahku tak pernah hilang karena akulah penyebab semua ini terjadi. Kafta dibunuh, oleh Darma. Ternyata ia seorang psycho yang memang suka membunuh anak-anak autis. Ia tidak bohong. Ia benar mengajak kafta bertemu adiknya, yang ternyata telah meninggal.
Perlahan air maat ku pun turun. Perihnya sangat menusuk. Tiba-tiba, aku melihat vespa putih yang amat ku kenal melintas di depan halte, dengan seorang gadis merangkul pinggangnya, dan seorang anak kecil yang memengang sebuah kincir angin. Dari aku tahu. Ia autis.