Oleh: Suratman
Tak dapat dipungkiri, media dalam jaringan (daring) saat ini sangat cepat dalam menyajikan berita. Tak butuh waktu lama, kurang dari sepuluh menit saja kita sudah dapat membaca berita terbaru saat itu juga. Bagaimana tidak, perkembangan teknologi saat ini tak urungnya membuat segala sesuatunya begitu cepat dan mudah.
Dengan demikian, mau tidak mau media daring adu cepat dengan yang lainnya agar tidak ketinggalan informasi dalam menyajikan berita. Tak pelak, kemudahan akses teknologi menuntut lebih media daring dalam menyajikan kecepatan informasi. Jika tidak, konsekuensinya ialah eksistensi di dunia siber akan menurun karena kalah saing. Sebab, kunci utama media daring di era teknologi ialah kecepatan.
Alhasil, akibat adu kecepatan capkali media daring luput dari 10 elemen jurnalisme yaitu verifikasi ulang. Berdasarkan data aduan yang diterima oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sepanjang bulan Januari hingga September 2017 seperti dilansir oleh Tirto.id ada sekitar 7.493 laporan mengenai berita hoax.
Contohnya saja berita hoax sempat menjadi ancaman toleransi di Yogyakarta. Pasalnya, pada saat itu maraknya pemberitaan hoax mengenai kasus Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender menyebabkan penutupan pondok pesantren (ponpes) waria oleh Front Pembela Islam. Padahal, sebelum maraknya pemberitaan hoax mengenai LGBT masyarakat telah menerima kehadiran ponpes tersebut.
Hasilnya tentu saja pemberitaan yang berisi hoax (berita tidak benar) dampaknya sangat fatal jika kita lihat. Ada banyak hal-hal negatif yakni hasut dan fitnah, menyasar emosi masyarakat, mengandung opini negatif menyebabkan disintegrasi bangsa, menimbulkan provokasi dan agitasi, kebencian, kemarahan, huru-hara, pemberontakan, dan hal lainnya.
Jika kita telisik kebelakang merujuk pada definisi media menurut Asociation of Education Comunication Technology (AECT), adalah segala bentuk dan saluran yang dipergunakan untuk proses penyaluran pesan. Dari pengertian ini, kita dapat menyimpulkan jika media sangat berperan penting karena tugas utamanya menyebarkan informasi sebagai pesan agar semua orang tahu apa yang sedang terjadi.
Terlebih apa pun itu kontennya, baik tulisan maupun video, semua perlu dikaji ulang saat melakukan pengemasan sebelum disebarkan konsumen. Karena saat ini pembaca berita (konsumen) tak tahu-menahu perihal benar atau salahnya. Mengapa demikian?
Kebanyakan saat ini pembaca hanya mementingkan berita terbaru tanpa melihat dahulu kebenaran informasi yang dibaca, malas berpikir apalagi melakukan verifikasi ulang, suka membagikan pemberitaan yang identik dan menyangkut diri dan orang di sekeliling mereka, dan legitimasi tentang seberapa sering media berseliweran dalam pemberitaan.
Terakhir sudah tidak bisa lagi membedakan antara satir dan hoax. Jelas faktor hoax yaitu, media daring grasak-grusuk saat menyajian berita dan konsumen tidak koperatif dalam memilih berita. Sebab, konsumen yang sudah mulai lupa dan terlalu percaya terhadap media daring, maka, media daring harus bisa kuat dalam pemberitaannya yang sehat melalui verifikasi ulang.
Terlepas, kita harus sadar bahwa sampai saat ini bukan saja media baru/pemula acapkali menebar berita hoax, tapi media lama tak urung juga masih ikut menyumbangkan pemasukan berita hoax. Buktinya, berdasarkan data dari Kominfo ada lebih dari 800 ribu situs yang suka menebar berita hoax. Jika ditanya mengapa verifikasi ulang itu sangat penting, jawabannya yaitu, verifikasi ulang merupakan suatu disiplin yang wajib diterapkan setiap jurnalis.
Ya, karena verifikasi ulang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni. Jika kita telisik lagi, hiburan—dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang bisa memancing perhatian banyak orang.
Sedangkan jurnalis media daring berfokus pada hal utama yaitu, apa yang terjadi, dan seperti apa adanya. Dalam penerapan verifikasi ulang hal ini tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak.
Verifikasi ulang juga focus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam hal ini terkait dengan apa yang sering kita sebut objektivitas dalam jurnalisme. Tetapi, objektivitas yang dimaksud bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakan dalam meliput berita. Objektivitas di sini juga tidak merujuk pada tujuan, melainkan objektivitas sebagai disiplinnya, yaitu dalam melakukan verifikasi ulang.
Dalam bukunya 9 ElemenJurnalisme , Bill Kovach dan Rosentiel dua orang wartawan legendaris dunia ini menerapkan lima konsep disiplin verifikasi. Jangan menambah ataupun mengarang apapun, jangan menipu ataupun menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar, bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase, bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri, dan, bersikaplah rendah hati.
Selain menuturka lima konsep verifikasinya, Kovach dan Rosential juga menerapkan metode yang konkret untuk melakukan verifikasi, yaitu; Penyuntingan secara skeptic, memeriksa akurasi, jangan berasumsi.
Untuk hal ini, David Protess dari University North Western juga memiliki metode yang baik, yaitu tiga lingkaran konsentris. Lingkaran paling luarberisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang paling kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan, dan sebagainya. Terakhir, lingkaran paling dalam atau inti adalah saksi mata.
Seperti dalam sebuah pepatah ‘sekali lancing seumur hidup orang takkan percaya’ artinya yaitu sekali sebuah media melakukan kebohongan dampaknya akan berujung pada citra dan keberlangsungan media tersebut.
Maka dari itu jika hoax dibiarkan berdampak pada menyangkut masalah orang banyak, perpecahan, kebencian dan anarkis. Selanjutnya bagaimana verifikasi ulang yang harus diterapkan oleh media agar berita hoax tidak terjadi, pertama, media tersebut harus peka melihat isu yang ada dan terus mencari info yang relevan dari berbagai narasumber yang ada. Terakhir, media tersebut harus tak mau puasa karena statusnya sebagai media yang dianggap sudah kredibel.