BOPM Wacana

Toxic Masculinity: Cikal Bakal Kekerasan oleh Laki-laki

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Oleh: Annisa Octavi Sheren

Ada gagasan toxic masculinity dalam budaya patriarki yang mengatakan bahwa kekuatan fisik merupakan segalanya, dan emosi adalah tanda kelemahan. Tindak kekerasan oleh laki-laki mengakar dari sini.

Istilah toxic masculinity ini dikemukakan oleh Stepherd Bliss, seorang psikolog pada tahun 1990. Diantara ciri-cirinya adalah penghindaran ekspresi emosional, ekspektasi tinggi terhadap dominasi fisik, seksual dan intelektual, serta penguasaan sistematis terhadap pendapat, tubuh, dan perasaan perempuan.

Sederhananya, toxic masculinity merupakan konstruksi sosial tentang bagaimana seharusnya laki-laki berperilaku. Standar tertentu yang terbentuk pun memaksa laki-laki untuk memenuhinya agar disebut “jantan” atau laki-laki sejati. Konsep ini sangat erat dengan budaya patriarki dimana laki-laki dianggap subjek dalam tatanan sosial.

Toxic masculinity dapat tertanam melalui stereotip yang dilekatkan pada pribadi laki-laki. Misalnya laki-laki tidak boleh menangis, pekerjaan domestik tidak sepantasnya dilakukan oleh lelaki, laki-laki tidak bisa menjadi korban kekerasan, laki-laki gay bukan lelaki sejati, dan masih banyak lagi. Stereotip dan norma maskulinitas semacam ini yang akhirnya menghasilkan banyak tuntutan bagi laki-laki. Alhasil membentuk perilaku agresi, juga berdampak buruk pada kesehatan mental dan dapat berujung pada tindakan kekerasan.

Ada studi terbaru yang dirilis dalam jurnal Preventative Medicine edisi Oktober 2020 yang menjelaskan kaitan antara toxic masculinity, kesehatan mental yang buruk, dan perilaku kekerasan. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan standar maskulinitas berdampak timbulnya gangguan seperti depresi hingga keinginan bunuh diri pada laki-laki.

Toxic masculinity tumbuh dari cita-cita maskulin yang tak sanggup dicapai oleh seorang laki-laki. Pengenalan norma maskulinitas sejak usia muda dimana maskulinitas diidentikkan dengan ketangguhan, heteroseksisme, kemandirian, rasionalitas dan rendahnya kepekaan emosional. Anak lelaki dilatih bermain permainan fisik, tidak boleh bermain dengan anak perempuan, tak boleh menangis, dan berbagai bentuk didikan lainnya.

Sejak muda pula anak lelaki terbiasa menggunakan kekerasan atau agresi untuk melampiaskan emosi ataupun saat berada di situasi sulit. Kita melihat ayah cenderung menghukum anaknya dengan hukuman fisik. Contoh lainnya, ketika bertengkar, anak kecil atau remaja lelaki juga cenderung melakukan kekerasan fisik. Kebiasaan ini dinormalisasi terus-menerus.

Kala dewasa, agresi itu berubah menjadi cara untuk menunjukkan kekuasaan atas orang lain, terutama saat maskulinitasnya diragukan. Membuat kesalahan menjadikan laki-laki merasa cemas lalu mendorongnya menggunakan kekerasan untuk tetap dilihat sebagai pihak yang dominan dalam segala situasi. Kondisi ini yang akhirnya dapat memicu terjadinya berbagai bentuk kekerasan dalam relasi kuasa.

Psikolog Inez Kristanti mengatakan ketika anak laki-laki terus tertekan dalam berekspresi atau melampiaskan emosi sejak kecil, maka hingga dewasa ia tidak mengetahui bagaimana mengelola emosi tersebut dengan baik. Emosi-emosi tersebut akan cenderung dimanifestasikan dalam bentuk yang tidak baik, seperti kekerasan.

Dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran, dalam rumah tangga, kekerasan berbasis gender, jika dilihat dari sisi pelaku, akan tergambarkan bahwa norma maskulinitas kuat ditanamkan namun tidak bekerja pada individu tersebut. Ketika memang merasa tersinggung, lelaki cenderung mengekspresikan adalah lewat marah, karena diajari dari kecil bahwa boleh marah, tetapi tidak boleh menangis. Menurut Inez, itu menjadi cara dia menjaga powernya yang sejak kecil disosialisasikan bahwa anak laki-laki itu tidak boleh kalah, dan terus terbawa hingga dewasa.

Kekerasan yang dilakukan laki-laki seolah biasa saja karena dinormalisasi dengan norma maskulinitas yang beracun. Ketika terjadi kekerasan yang pelakunya perempuan, maka lelaki yang menjadi korban pun akan mendapat perundungan sebab dianggap lemah. Akibatnya kekerasan fisik maupun verbal berbasis gender terus terjadi dengan laki-laki yang mendominasi sebagai pelaku.

Pada 2018, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat ada 122 anak laki-laki dan 32 anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dimana semua pelakunya adalah laki-laki semua. Lalu, data KPAI tentang tingkat kekerasan seksual anak selama 2019 pun tercatat ada 21 kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban mencapai 123 anak yang terjadi di institusi pendidikan, 20 di antara pelakunya adalah laki-laki.

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa bertajuk “Global Study on Homicide: Gender-related Killing of Women and Girls” yang dirilis pada November 2018 menganalisis kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan di seluruh dunia pada tahun 2017, dengan berdasarkan data kekerasan dan pembunuhan pada pasangan di setiap keluarga. Disebutkan sebanyak 87.000 wanita dibunuh di seluruh dunia, dan lebih dari separuh (50.000 atau 58 persen) dibunuh oleh pasangannya sendiri atau anggota keluarga.  Menurut penelitian itupun disebutkan 82 persen dari pasangan intim korban pembunuhan adalah wanita dan 18 persen adalah pria.

Laporan itu juga mengungkap bahwa seperempat anak di dunia dengan usia di bawah lima tahun tinggal bersama ibu yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga yang pelakunya adalah laki-laki. Serta data lainnya, bahwa anak usia 13 sampai 15 tahun mengalami perkelahian fisik dalam satu tahun terakhir. Paling banyak dilakukan oleh anak laki-laki sebanyak 45 persen dan anak perempuan 25 persen.

Normalisasi kekerasan oleh laki-laki dapat dilakukan dengan mengikis norma maskulinitas beracun tersebut. Mengenalkan pada laki-laki norma sosial terkait kesetaraan gender dan berusaha untuk mengubah cara pandangnya terhadap konstruksi sosial tentang maskulinitas. Praktik kekerasan pun dapat ditekan dengan mendorong laki-laki untuk bebas mengekspresikan emosi dan tak ragu bahwa itu diterima masyarakat.

Prinsip kesetaraan gender pun penting untuk dikampanyekan sebagai upaya memerangi toxic masculinity. Penting untuk dipahami serta disebarluaskan pemahaman bahwa emotions have no gender. Kebebasan menjadi diri sendiri dan mengekspresikan emosi dengan baik penting untuk kesehatan mental yang positif hingga mencegah terjadinya kekerasan.

Komentar Facebook Anda

Annisa Octavi Sheren

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4