Oleh: Yulien Lovenny Ester Gultom
Ada #19.260.382 online shop dalam media sosial Instagram. Wabah belanja melalui media sosial sangat marak, bagaimana nasib pertokoan?
Toko online kini sedang marak digandrungi kaum muda kekinian. Prosesnya tak sulit, dimulai dari interaksi penjual dan pembeli melalui media sosial (medsos), transfer uang dengan ATM, dan jreng barang pesanan akan diantarkan ke rumah.
Ketika itu awal bulan, kegiatan untuk berbelanja tak bisa lagi dibendung, saya dan enam orang lainnya berencana membeli lipstik dalam sebuah situs online di Instagram. Harga murah dan iklan yang menggiurkan menantang kami untuk membeli.
Sebenarnya, harganya tak terlalu jauh. Lipstik yang mau dibeli harganya seratus ribu dan harga angkot pulang pergi delapan ribu, jadi satu lipstik kami harus membayar sekitar 108 ribu rupiah pe rorang.
Ada perbedaan harga dengan lipstik yang dijual di toko online, lipstik serupa dibandrol dengan harga Rp 90 ribu rupiah dan jika dihitung, ongkos kirim (ongkir) dari Jakarta—Medan sekitar Rp 24 ribu. Jika ongkir dibagi enam orang maka total keseluruhan yang harus dibayarkan sebesar 94 ribu, lumayan sisa uangnya bisa digunakan untuk yang lain, pikir kami.
Ada lagi teman saya yang lain, mereka menggangap barang-barang toko online lebih kekinian dan gambar yang ditampilkan dalam medsos pun tampak asli, jadi barang yang dilihat dan dipesan sama.
Basu Swastha Dharmmesta dan T Hani Handoko dalam bukunya Manajemen Pemasaran, Analisa Perilaku Konsumen mengatakan perilaku konsumen adalah kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan menggunakan barang-barang dan jasa, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut.
Toko online dianggap sebagai cara mudah untuk mendapatkan barang dan jasa dan pada proses pengambilan keputusan, oleh sebab itu perilaku konsumen meningkat.
Jika disandingkan dengan teori komunikasi Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974), mereka katakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi.
Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Mungkin ini penyebabnya toko online menjadi cara untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Tapi saya pikir jika sistem online digunakan terus menerus, kemungkinan ada beberapa proses antara penjual dan pembeli yang hilang. Seperti interaksi penjual dan pembeli yang tak lagi saling tatap muka, dan proses tawar menawar pun jadi jarang dilakukan sebab harga sudah ditetapkan diawal, serta berkurangnya jumlah pegawai yang dibutuhkan.
Dua belas tahun lalu, ketika saya masih berusia delapan tahun, berbelanja adalah kegiatan favorit saya dan Ibu. Kami akan pergi ke pusat perbelanjaan atau pasar yang menyediakan koleksi baju, di sini Ibu akan melakukan proses tawar menawar. Jika harga yang diminta ibu tak sesuai dengan pembeli maka kami akan meninggalkan toko, pada hitungan ketiga penjual akan memanggil kami dan menerima penawaran harga sebelumnya, kami menang.
Tak hanya itu, kualitas dan bentuk produk bisa langsung kita lihat dalam proses membeli. Menggunakan sentuhan dan memperhatikan detail produk akan mengurangi risiko tidak sesuainya barang berbeda dengan sistem online.
Dilansir dari Internasional Labour Organization (ILO), jumlah angkatan kerja diperkirakan sebesar 125,3 juta pada Februari 2014 dengan jumlah pekerja 118,2 orang dan tingkat pengganguran sekitar 7,2 juta orang. Jika toko online menjamur, tak menutup kemungkinan tingkat penggangguran akan berkembang pesat. Sebab dengan sistem online pekerja yang dibutuhkan tak perlu banyak, seorang pemegang toko online bisa menjalankan bisnisnya seorang diri. Jika dibandingkan dengan penjaga di pusat perbelanjaan, jumlah pegawai yang dibutuhkan mencapai ratusan orang dan memiliki tugas masing-masing
Ini yang paling saya khawatirkan, menjamurnya toko online kemungkinan juga dapat mengurangi jumlah toko di pusat perbelanjaan sebab jika berbicara sewa, menyewa sebuah toko di pusat perbelanjaan butuh biaya cukup besar, hampir ratusan juta per tahunnya. Di Batam saja sewa ruko harganya mencapai dua miliar per tahun.
Dilansir pemeriksaanpajak.com, sebuah toko online ternyata juga tak dipungut pajak apapun. Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak mengatakan tidak ada pajak baru yang dikenakan bagi pedagang maupun pengelola situs belanja online.
Mekar katakan kewajiban perpajakan di bisnis online sama dengan yang sudah berlaku selama ini. Contoh, jika omzet per tahun kurang dari Rp 4,8 miliar, pelaku usaha online akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) final 1% dari omzet, pengusaha online wajib menjadi pengusaha kena pajak (PKP) dan mesti memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%.
Berbicara tentang toko online masih akan banyak lagi penjelasannya. Jika toko online bisa membawa perekonomian ke arah lebih baik sesungguhnya sah-sah saja. Tetapi, jika ia pada akhirnya mematikan industri pertokoan, saya rasa keberadaanya perlu dipertimbangkan. Jadilah konsumen yang kritis dan cerdas, jangan malas untuk berbelanja di pusat pertokoan, mungkin harganya jauh lebih murah.
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat 2013. Saat ini aktif menjadi redaktur online 2015 di Pers Mahasiswa SUARA USU.