BOPM Wacana

Hati-hati Hoax

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Lazuardi Pratama

Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom
Ilustrasi: Yulien Lovenny Ester Gultom

Di komunitas media sosial, sering kita dengar atau melihat postingan yang menarik dan mengejutkan, namun ternyata hoax atau berita palsu. Sebagian besar dimanfaatkan untuk syiar agama dan propaganda.

Foto Lazu Lazuardi lalaDahulu kala, teman-teman satu sekolah saya gandrung membeli ponsel keluaran terbaru. Kalau masih ingat, dulu ada tersebar foto batu yang bisa melayang. Konon batu tersebut pernah jadi tempat pijakan Nabi Muhammad saat akan pergi ke langit. Saya ingat foto itu dibubuhi keterangan foto berupa-rupa. Tapi kebayakan mengatakan syukur dan pujian atas Tuhan.

Saya sih percaya-percaya saja. Ada yang bilang hoax. Iya, di zaman itu, masih ada orang yang skeptis. Tapi jumlahnya sedikit. Yah, daripada saya dilaknat Tuhan karena tak percaya kebesaran-Nya, saya memilih percaya.

Di saat yang sama juga terkenal video seorang gadis Lebanon, ia bisa mengeluarkan kristal dari matanya ketika sedang menangis? Anda ingat? Ingatan saya agak kabur, tapi video itu terkenal, masuk ke sekolah-sekolah. Si gadis meyakini bahwa itu adalah rahmat Tuhan. Saya dan teman-teman saya berpikir sangat dalam waktu itu. Ada sih yang skeptis, tapi kita semua tetap saja percaya.

Namun itu adalah hoax. Menurut Indonesian Hoaxes, komunitas yang terkenal lewat media sosial Facebook itu, kisah gadis Lebanon itu palsu. Indonesian Hoaxes mengambil sebuah buku karya Joe Nickell, mantan pesulap profesional. Buku itu menjelaskan yang dilakukan si gadis adalah trik pesulap. Tinggal masukkan beberapa kristal ke kantong mata dan dipencet perlahan-lahan.

Hoax-hoax seperti ini banyak terjadi, sampai sekarang. Padahal di era ini, internet bukan lagi barang istimewa. Kita terhubung ke internet lewat gawai. Mengecek beberapa sumber tentang suatu isu bukan lagi hal yang sulit. Seperti saat dulu harus pergi ke warnet atau beli pulsa modem. Namun justru, upaya mengecek ini yang lebih sulit.

Facebook beberapa bulan lalu dihebohkan oleh foto-foto sadis tentang kekejaman tentara Suriah rezim Bashar al-Assad terhadap anak-anak. Foto itu beredar saat konflik Suriah memanas. Lalu saat ramai-ramai konflik Myanmar, muncul foto-foto muslim yang dibakar para biksu. Padahal itu hoax. Sedih sekali rasanya bila timbul kebencian di diri kita masing-masing gara-gara foto hoax. Apalagi kebencian itu menjadi nyata dan tumbuh jadi tindakan tidak manusiawi.

Itu membuktikan bahwa barang-barang hoax masih sangat sulit untuk hilang. Namun perbedaannya, sekarang mulai muncul berbagai cara untuk meminimalisir dampak dan sebab hoax itu. Contohnya saja komunitas Indonesian Hoaxes tadi. Ada pula www.snopes.com dan www.hoax-slayer.com yang memungkinkan pengguna seperti kita mengecek ulang isu-isu mencurigakan.

Postingan hoax pun lebih cepat diverifikasi. Misalnya foto yang diduga Cut Nyak Dhien memakai jilbab. Ternyata itu adalah istri Panglima Polim yang berperang melawan Belanda pada perang Aceh.

Atau Anda ingat tips menghadapi orang yang kena stroke dengan menusukkan jarum ke jari-jarinya? Ternyata itu tak sepenuhnya benar. Salah-salah, kerabat Anda yang kena stroke bisa salah ditangani.

Kendatipun sudah ada polisi hoax, namun hoax tetap saja berkembang.

Salah satunya alasannya adalah ulah netizen dan situs-situs tertentu untuk mencari uang lewat klik pengguna. Situs-situs seperti ini umumnya tidak jelas reputasinya. Uniknya, mereka punya pasar. Yah, sama ceritanya seperti saya dahulu ketika tertipu karena takut mempertanyakan Tuhan.

Pasar itu pula yang jadi alasan masih banyaknya hoax sampai sekarang: propaganda. Karena kebetulan saya mahasiswa ilmu komunikasi, maka izinkan saya mengutip pengertian oleh Pak Harold Lasswell: pengaturan opini publik dengan memanipulasi simbol-simbol. Ya itu dia, mengatakan Jokowi komunis, liberal, Syiah, Yahudi, bisa jadi untuk tujuan propaganda. Atau kisah sebelumnya, foto hoax muslim yang dibakar biksu, bisa jadi untuk tujuan propaganda. Propaganda untuk apa? Entah.

Sulit rasanya untuk menekan timbulnya hoax seperti ini bila metode kita diarahkan pada pelaku. Sebab seperti teori pasar saja, ada permintaan ada penawaran. Para pelaku hoax tersebut bekerja dan berhasil karena punya pasar. Namun kuncinya ada di citizen dan netizen. Sebab kitalah sasaran mereka.

Salah satu cara yang paling efektif adalah verifikasi. Disiplin verifikasi. Kita melakukan cek dan re-check. Ini bukan hanya kerja wartawan. Tapi semua orang yang terpapar informasi. Seymour Hersh, pemenang penghargaan Pulitzer—semacam Oscar bagi insan pers di Amerika—katakan seperti ini: “Tulislah apa yang bisa Anda buktikan, bukan apa yang Anda yakini benar. Jadilah skeptis, bahkan tentang apa yang Anda kira paham dan kemana bukti mengarah.” Kutipan itu sejatinya untuk jurnalis, namun berlaku juga untuk kita semua.

Menjadi skeptis adalah awal dari disiplin verifikasi. Bahkan untuk syiar agama. Saya yang mengaku beragama, tidak perlu bukti mencurigakan untuk membuktikan kebesaran Tuhan yang saya sembah, apalagi bukti itu hoax. Sebab keyakinan bukan untuk dipermainkan.

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU 2012. Saat ini aktif menjadi pemimpin umum di Pers Mahasiswa SUARA USU 2015.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4