Oleh: Muhammad Renu Fatahillah
Komisi Penyiaran Indonesia harus memperkuat perannya dalam memberikan izin penyiaran di Indonesia. Khususnya sinetron tiruan luar negeri yang sarat akan keromantisan, kesadisan, dan perkelahian, agar tidak merusak moral anak bangsa.
Siang itu saya sedang asyik memainkan handphone di ruang kelas, tanpa sengaja saya dikejutkan dengan suara teman yang sedang memperdebatkan tokoh paling ganteng dalam sebuah sinetron. Sinetron Indonesia yang meniru film terkenal yang dibintangi oleh Kristen Jaymes Stewart, Robert Pattinson, dan Taylor Daniel Launter. Ialah Twilight, film yang mengisahkan cinta segitiga antara serigala, manusia, dan vampir.
Mereka asyik sendiri, tanpa memedulikan lingkungan sekitar. Suara mereka begitu kencang, mungkin terlalu bersemangat membahas salah satu episode sinetron tersebut. Bahkan mereka menjerit-jerit histeris berharap menjadi kekasih tokoh prianya. Sungguh berlebihan.
Saya sempat bertanya-tanya, apa yang membuat mereka histeris. Pantas saja mereka histeris, ternyata sinetron tersebut diperankan oleh tokoh yang lumayan ganteng-ganteng dan cantik-cantik.
Tiru meniru bukanlah hal yang mudah. Sutradara harus bisa membuat sinetron layak tayang di Indonesia. Sebab, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan dikaji secara mendalam untuk memenuhi syarat penyiaran sebuah acara, yang ditanggungjawabi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Sebagian orang beranggapan berhasilnya sebuah sinetron tiruan jika sutradara sanggup meniru seluruh adegan dalam film aslinya. Dalam hal ini meniru keromantisan, kesadisan, bahkan laga perkelahian.
Tentu saja anggapan ini salah, sebab hal tersebut tidak sesuai dengan kebudayaan di Indonesia. Dimana Indonesia sangat menjunjung kesopanan dan kekeluargaan. Pun, dalam pasal 36 ayat 1 UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran berisi “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.”
Jadi, tidak semua isi film dapat ditiru kembali dalam sinetron. Mengapa? Karena sudah ada kebijakan yang mengaturnya. Kebijakan ini dibuat untuk menayangkan hal positif sehingga mempertahankan moral bangsa Indonesia.
Sayangnya kebijakan ini tak diperhatikan oleh sang sutradara. Ia lebih fokus menjual hiburan demi tercapainya rating tertinggi. Bagaimana mungkin, sudah dua kali mendapat teguran oleh KPI tak ada tindakan nyata untuk menjawab teguran ini. Teguran pertama, terkait adegan salah satu karakter memakan kelinci hidup, dan teguran kedua tentang adegan laki-laki dan perempuan berpelukan mengenakan seragam sekolah.
Teguran kedua, tanpa kita sadari berbuntut panjang. Masyarakat seperti menjadi murid saat menonton sinetron ini. Aktor-aktor menjadi ‘guru’ yang ‘baik’ bagi mereka. Latar sekolahan membuat cara belajar mengajar lebih sempurna.
Jesica Mila, Kevin Julio, dan Ricky Harun tampak apik memainkan perannya. Mereka mencontohkan tidak memasukkan baju pada rok/celana, tidak memakai ikat pinggang, memakai kaos kaki warna-warni, memakai aksesoris berlebihan, memakai rok sepaha serta mengendarai kendaraan mewah ke sekolah dengan rambut diwarnai dan bergaya seperti model.
Sebagai orang berpendidikan kita akan bertanya sekolah gila mana yang mengizinkan muridnya seperti ini? Bagaimana bisa sekolah tidak mengajarkan sopan santun serta kedisiplinan kepada seorang murid? Orang tua mana yang mengizinkan anaknya pakai rok sepaha ke sekolah? Tentu masih banyak lagi pertanyaan yang akan terlintas dalam benak kita.
Belum selesai masalah pertama, muncul masalah berikutnya. Sang ‘guru’ kembali memberikan contoh baru, yaitu adegan mesra-mesraan di lingkungan sekolah. Berpelukan, berpegangan tangan, bahkan mencium kening lawan jenis, dilakukan saat berpakaian seragam sekolah. Padahal dalam kehidupan nyata, sekolah tidak mengizinkan pelajar berpelukan atau bahkan mencium kening lawan jenis di lingkungan sekolah.
Maksud hati ingin menghibur masyarakat dengan suguhan sinetron kekinian. Tapi yang terjadi sebaliknya, sinetron ini justru merusak moral bangsa. Bagaimana tidak? Kini remaja Indonesia khususnya pelajar merasa bangga ketika datang ke sekolah menggunakan kendaraan pribadi, bangga mengenakan seragam yang tidak rapi, bahkan bangga melanggar peraturan sekolah.
Tak hanya pada pelajar, dampak negatif juga dirasakan oleh anak-anak. Setiap malam selesai sinetron ini ditayangkan, anak-anak di sekitar rumah saya berkejar-kejaran, berkelahi, dan berteriak menirukan suara lolongan serigala. Dengan bangga mereka mereka ulang sinetron yang baru selesai ditonton. Hal ini sungguh memperihatinkan, perlahan moral mereka terkikis. Mengapa? Sebab mereka bangga mencontoh hal-hal yang tak patut dicontoh.
Namun tetap saja sinetron ini ditayangkan di Indonesia, bahkan ada lanjutannya. Meskipun akhirnya mereka menyerah tetapi tetap saja pikiran masyarakat Indonesia khususnya moral anak bangsa sudah dikotori dengan adegan dalam sinetron tersebut.
Saya bertanya-tanya keheranan apakah sutradaranya bodoh atau memang sengaja membuat bodoh penonton dengan sinetron tiruan yang dibuatnya? Atau masyarakat Indonesia kurang hiburan sehingga sinetron ini menjadi tontonan keluarga? Seharusnya sutradara menciptakan tayangan sesuai dengan kebijakan yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak membodohi dan merusak moral penonton.
Indonesia harus terbebas dari sinetron yang tidak bermoral, sebab sinetron diatas hanyalah salah satu contoh. Kalau kita perhatikan masih banyak sinetron lain yang menayangkan hal serupa. Hal-hal yang tak patut ditonton dan ditiru penonton.
Peran keluarga sangat diperlukan dalam hal ini. Orang tua harus mendampingi anaknya ketika menonton dan memberitahu saat ada adegan yang tidak pantas ditiru. Terkhusus dalam sinetron yang berkatagori bimbingan orang tua. Hal ini bertujuan agar anak tidak meniru adegan yang tak patut.
Selain itu, KPI perlu menguatkan kembali perannya sebagai penyelenggara izin penyiaran di Indonesia. Teguran-teguran yang sudah diberikan seyogyanya terus diikuti dengan kepastian pelanggaran yang terjadi tidak akan terulang kembali oleh sutradara. Hal ini harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh demi kebaikan masyarakat Indonesia.
Pun, harus ada hubungan timbal balik yang erat dalam mengatasi masalah ini, baik dari sisi penyiar dan penonton. Jadi, sebagai masyarakat kita tidak hanya menikmati sinetron yang disuguhkan oleh sutradara namun harus memilah sinetron yang layak ditonton dengan mengandung unsur edukatif, informatif, dan entertain. Jika bertentangan, kita berhak melaporkannya ke KPI untuk segara ditindaklanjuti.
Ini merupakan tugas bersama untuk memastikan sinetron yang ditayangkan layak ditonton. Sehingga sutradara tersebut dapat meninggkatkan kualitas karyanya dan menataati peraturan. Pun, tujuan KPI tercapai untuk menampilkan tayangan yang layak dalam dunia penyiaran Indonesia.
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2015. Saat ini aktif sebagai Desainer Grafis Perusahaan SUARA USU 2016.