BOPM Wacana

The Power of “Baper”

Dark Mode | Moda Gelap
Illustrasi | Rachel Caroline L.Toruan

“Yaelah cuma gitu doang, baper banget lo!”

Semakin hari semakin ada saja tren-tren baru yang muncul di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali istilah-istilah kekinian yang dipakai banyak orang dalam berkomunikasi. Salah satu cabang dari linguistik, semantik, ilmu yang mempelajari bahasa sebagai makna. Melalui semantik, maka kita akan lancar berinteraksi dengan pemaknaan bahasa. Namun, tidakkah akan menimbulkan bias persepsi apabila terjadi pergeseran makna pada sebuah kata atau kalimat?

Aminuddin (2011: 130-131) mengungkapkan bahwa makna kata dapat mengalami pergeseran akibat adanya sikap dan penilaian tertentu masyarakat pemakainnya. Chaer (2009) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna, beberapa diantaranya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang, sosial dan budaya yang berubah dan berkembang, pemakaian kata pada bidang yang berbeda, adanya proses asosiasi dengan hal di luar bahasa, pertukaran tanggapan indera, adanya perbedaan nilai dan norma, dan adanya proses gramatikal. Selain ketujuh faktor tersebut, Ullmann (Nurjatmika, 2018) menyebutkan enam faktor penyebab perubahan makna, yaitu faktor kebahasaan, faktor kesejarahan, faktor sosial, faktor psikologis, faktor pengaruh bahasa asing, dan faktor kebutuhan kata baru.

Saat Kata Baper Menggeser Ucapan Maaf

Melalui berbagai faktor penyebab pergeseran makna tadi, maka bisa kita pahami mengapa semakin hari ada saja pelbagai istilah-istilah baru. Namun, ada kalanya kita sebagai orang beradab harus memfilter perubahan bahasa itu menjadi penyampai komunikasi yang baik dan benar. Kata baper merupakan salah satu istilah gaul yang populer pada tahun 2014 dan 2015, bahkan hingga sekarang kata baper masih sering digunakan sebagian orang. Istilah ini muncul karena dinilai adanya perbedaan respon emosi, persepsi, dan sensitivitas individu. Sebenarnya tidak ada bentuk yang konsisten untuk mendeskripsikan “baper” karena maknanya tergantung pada konteks dan situasinya; mulai dari perasaan sensitif (yang sebagian besar diartikan saat ini), hingga berbagai jenis emosi seperti sedih, marah, kecewa, bahkan senang. Perasaan senang dalam lingkup “baper” sering dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat romansa, seperti mereka yang baper pada saat seseorang yang mereka suka memuji penampilan mereka, mengajak mereka jalan, dan sebagainya.

Namun, pada kesempatan kali ini, makna baper yang saya sorot ialah mereka yang memiliki perasaan yang sangat sensitive (sangat perasa). Secara empiris, saya sendiri pernah mendapat tanggapan orang lain yang sangat berbanding terbalik dari apa yang saya harapkan dan sering menyaksikan kasus sama yang juga dialami orang lain: keadaan di mana permintaan maaf disulap menjadi baper. Melontarkan baper sebagai senjata untuk kebutuhan lelucon mereka pribadi hingga menghina. Bersamaan dengan ini, maka tak jarang terjadi berbagai ucapan yang berpotensi menyinggung orang lain seperti lelucon seksis, body shaming, dan candaan verbal lainnya serta kelakuan merugikan yang menimpa seseorang dibalut dengan ucapan baper. Alih-alih kata “maaf” yang terucap saat orang tsb mengakui bahwa dirinya sakit hati, malah kata “baperan” yang dimaknai sebagai “terlalu mengambil ke hati”.

Setiap orang berhak mengeluarkan pendapat dari pemikirannya, tetapi alangkah bijaknya apabila dipikirkan terlebih dahulu apa yang ingin kita sampaikan/perbuat agar tidak melukai perasaan orang lain. Namun, adalah lumrah apabila manusia berbuat kesalahan dalam perkataan, bukan? Jangan malu untuk meminta maaf setelah menyinggung perasaan orang lain. Malulah ketika orang lain menjadi sakit hati karena ucapan atau perbuatanmu lalu kamu timpa dengan “Cuma gitu doang, baper banget, sih!”

Kata-kata Memiliki Kekuatan Besar

Menerapkan budaya lontar-melontar “baper” yang kian sering digunakan saat menyinggung perasaan orang lain, maka tidak menutup kemungkinan (bahkan kemungkinan besar) semakin tergerusnya etika meminta maaf. Tidak ada yang dapat mengukur kedalaman perasaan hanya dari permukaan, maka berhenti memakainya untuk orang lain dengan maksud menyakiti apalagi sekadar hiburan pribadi. Beberapa orang berhasil mewujudkan impiannya hanya karena mendengarkan afirmasi dan motivasi kecil, beberapa yang lain harus tega membunuh perasaannya sendiri karena tak ingin tersudut dengan mengakui sakit hatinya. Yang bisa kita atur adalah apa yang kita beri, semoga kita cukup berani untuk memutus benci. Mari menjadi sedikit lebih empati dengan mengerti.

 

Komentar Facebook Anda

Rachel Caroline L. Toruan

Penulis adalah Mahasiswa Psikologi USU Stambuk 2021. Saat ini Rachel menjabat sebagai Pemimpin Umum BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4