Judul | The Map of Tiny Perfect Things |
Sutradara | Ian Samuels |
Penulis | Lev Grossman |
Pemain | Kyle Allen, Kathryn Newton, Josh Hamilton |
Rilis | 21 Februari 2021 |
Genre | sci-fi, komedi romantis, drama |
Durasi | 99 menit |
Diketahui, ditanya, dijawab. Jawaban atas makna kehidupan dari sebuah anomali waktu.
Mengusung genre sci-fi, The Map of Tiny Perfect Things bukanlah film pertama yang bertemakan time-loop. Awalnya berbentuk cerpen, namun Lev Grossman kemudian mengembangkannya menjadi sebuah naskah film yang disutradarai oleh Ian Samuels. Berbeda dengan film bertemakan time-loop lainnya, The Map of Tiny Perfect Things disajikan dengan nuansa enerjik, segar, dan menghibur. Daripada menyajikan premis sci-fi secara rumit dan mendalam, Ian Samuels lebih menekankan pada perasaan dan chemistry kedua tokoh utamanya.
Mark (Kyle Allen), remaja 17 tahun yang duduk di bangku tingkat akhir SMA mengalami rutinitas berulang yang sama secara terus menerus setiap harinya. Mulai dari bangun pagi, berdebat kecil dengan ayah (Josh Hamilton) dan adiknya Emma (Cleo Fraser), lalu dilanjutkan dengan mengeluarkan sepeda dari garasinya dan berkeliling kota. Mark bertindak seakan ia aware dengan lingkungannya dan dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada orang lain dan dirinya, seperti membantu menunjukkan jalan dan memenangkan lotere. Ia bukanlah cenayang ataupun Sherlock Holmes, serial kesukaannya. Ia mengetahuinya karena telah mengulang segala rutinitas di hari tersebut berkali-kali.
Suatu ketika, ketika sedang berada di kolam renang, seorang gadis mencuri rutinitasnya. Penasaran, Mark mencari keberadaan gadis itu. Setelah ketemu, gadis bernama Margaret (Kathryn Newton) itu mengaku bahwa ia terjebak ke dalam situasi yang sama dengan Mark. Mereka lalu mendiskusikan segala kemungkinan teori yang menyebabkan mereka terjebak dalam anomali waktu.
Tidak ada tokoh jahat ataupun alur yang bertentangan dengan tujuan kedua tokoh utama, cerita mengalir tanpa konflik berarti. Bagi kamu yang suka kejutan, film ini bukanlah jawabannya. Hingga lebih dari separuh film, tidak banyak plot-plot kejutan, hampir tidak ada. Meskipun menghadirkan jalan cerita yang dapat ditebak, namun misteri yang dihadirkan Margaret membuat penonton ingin menyantap habis film ini. Sejak awal cerita, hanya latar belakang Mark lah yang ditampilkan, sehingga membuat penonton bertanya-tanya siapa sosok Margaret. Dan misteri ini terjawab pada bagian akhir cerita, meski tidak sepenuhnya.
Bernuansa komedi romantis, Mark dan Margaret yang bertemu ‘setiap hari’ mengembangkan perasaan mereka. Namun Margaret ragu akan hubungannya dengan Mark. Berangkat dari keraguan Margaret, karakter Mark berkembang, banyak hal hal yang tidak ia ketahui dari lingkungan sekitarnya.
Makna eksistensi akan dirinya juga perlahan berkembang. Awalnya ia dan Margaret berpikir bahwa semua orang yang berada di sekitarnya tengah bermimpi dan terjebak dalam dunia mereka berdua. Namun, kemudian mereka menyadari bahwa merekalah yang tidak bergerak. Peta yang mereka rancang dan hitungan matematika Margaret saling melengkapi dan menjawab teka-teki waktu ini.
Meskipun terdapat adegan-adegan yang berulang, namun Kyle mampu memerankannya dengan ‘bergaya’ dan tidak monoton. Kyle membuat penonton berfokus pada tokoh Mark yang menikmati keanehan waktu yang dialaminya sehingga penonton tidak akan menyadari berapa kali adegan yang sama diulang.
Tertulis bahwa film ini bergenre komedi romantis, namun sisi komedi tidak begitu ditonjolkan. Kedua tokoh membawakannya sebagaimana interaksi anak remaja pada umumnya.
Di berbagai web, rating film ini tak begitu bagus. Film ini dinilai terlalu jujur, banyak penonton yang menyayangkan chemistry Mark dengan keluarganya tak terlalu dibangun padahal banyak yang dapat dikembangkan. Selain itu latar belakang Margaret yang tak terlalu digambarkan juga menjadi kritikan. Saya bertanya-tanya bagaimana jika seandainya latar belakang Margaret lah yang menjadi sorot utama? Perkembangan karakter seperti apa yang akan dibawakan oleh tokoh?
Meski begitu, film ini tetap worth untuk ditonton. Chemistry kedua tokoh utama tidak berlebihan. Menonton film ini tidak perlu terlalu banyak berpikir dan mengerutkan dahi, penjelasan-penjelasan sains dijelaskan secara sederhana dan bergerak mengikuti alur cerita. Tak perlu pula harus paham matematika, biarlah Margaret yang menghitung semuanya.