Oleh: Rati Handayani
Bilik kecil itu gelap gulita. Sarang laba-laba di kanan kiri pintu masuk membuatnya makin nyata tak dijamah tangan manusia.
Tebal debu di lantai papannya pun menggambarkan lama bilik itu tak diperhatikan pemiliknya. Tak disapu apalagi sekedar dipercantik dengan tikar sekadarnya.
Di sana hanya ada kayu yang panjangnya kurang lebih semeter lengkap dengan lubang di dekat ujung kanan dan kirinya. Kayu itu pun dipakukan ke lantai agar kokoh sehingga tak bisa dilepas. Tak hanya itu, ada juga rantai untuk sepasang tangan.
Jadilah ia penjara jiwa dan raga. Memenjarakan jiwa dan raga Dia.
Di samping kayu itu ada piring dan gelas plastik berisi sisa nasi yang berantakan. Tampaknya baru saja dimakan Dia yang dipasung.
Dia yang kakinya ditahan dalam lubang di kayu tadi tengah tertidur. Namun ayahnya membangunkan dan membukakan pasungannya. Mulai dari kaki kemudian rantai di kedua tangan. Ia dibawa ke ruang tengah: hendak diadili.
Bukan tak beralasan Dia diperlakukan demikian. Sebelumnya akal Dia sering kali hilang timbul. Tiap hari, ada saja yang akan dirusaknya. Tiba-tiba Dia ingin membakar rumah. Atau tiba-tiba Dia ingin bunuh diri. Terakhir, Dia ingin membunuh ibu dan ayahnya.
Menurut dokter memang Dia telah sembuh setelah dipulihkan di rumah sakit jiwa. Karena ingin membakar rumah, ia terpaksa dipasung.
Tampaknya kutukan hilang akal itu tak akan lepas. Selamanya.
***
Jumat sore itu Dia baru saja pulang mengaji di surau. Letaknya tak jauh dari rumahnya. Dengan sedikit menaiki tebing berjenjang tanah, sampailah ia di rumah.
Seperti biasa, ia taruh jilbab dan ia ganti pakaian mengajinya. Setelahnya ia kembali ke halaman menjumpai kawannya Wangi yang telah menunggu.
Ibunya yang sedari tadi memerhatikannya dari dapur, sengaja tak bertanya hendak kemana. Ibunya telah hapal betul kebiasaannya sore pulang mengaji: bermain di rumah Wangi.
“Bu, pergi main dulu, ya,” teriaknya sembari menutup pintu. “Daaa, Bu….”
Bruk
Belum sempat ibunya menjawab, ia telah menghilang di balik pintu.
***
Waktu magrib telah datang namun Dia belum kunjung pulang.
Tak biasa ia demikian.
Khawatir, ibunya menyusulnya ke rumah Wangi.
***
“Dia telah pulang sedari azan magrib berkumandang, Bu.”
“Tapi Dia belum sampai di rumah, Nak.”
Mengelak dipersilahkan masuk, ibunya minta petunjuk kemana lagi ia harus mencari Dia. “Jika tak bermain di sini, biasanya ia main dimana lagi, Nak Wangi?”
Ibu Wangi datang dari dalam rumah lalu menghampiri mereka.
“Seperti Kakak ketahui, mainnya memang di sini saja setiap hari. Sekedar duduk bercanda, main rumah-rumahan, main jual-jualan atau kadang main petak umpet,” sela Ibu Wangi menenangkan suasana.
“Iya, saya paham betul itu. Tapi sekali ini saya benar-benar heran. Tak pernah ia pulang sampai lewat magrib dan hampir isya seperti ini. Main dari pukul empat lewat rasanya telah lama dan ia pasti tahu pantangan saya,” jawab ibunya.
“Coba Ibu ke rumah Aisyah. Mana tahu pulang dari sini tadi ia singgah sebentar di sana,” tambah Wangi.
***
Berbekal petunjuk Wangi, pergilah ibunya mencari anaknya itu. Dari rumah Aisyah, lanjut ke rumah Rahma. Namun Dia tetap tak ada. Lanjut lagi ke rumah Tari, ia tetap tak ada. Lanjut ke rumah Nana, ia masih tak ada. Terakhir ke rumah Azizah, ia juga tak ada.
Hasilnya nihil.
Ibunya memutuskan pulang ke rumah. Lalu dikabarkanlah hal ini pada ayahnya.
***
Ayahnya yang tengah duduk termangu di teras rumah mendapati istrinya datang sambil menangis.
“Kemana lagi kucari Dia, Yah?”
“Maksud Ibu?”
“Dia menghilang, Yah. Telah aku cari Dia ke rumah teman-temannya. Tapi Dia tak ada di sana.”
“Kemana ia bermain tadi, Bu?”
“Seperti biasa, Yah. Ke rumah Wangi.”
Ayahnya hanya terdiam dan melayangkan pandangannya. Jauh. Jauh sekali ke masa lalu. Seolah-olah sedang menerka sesuatu di pikirannya.
Jika anakku lewat jalan itu, tentu ia tak akan pulang sampai esok pagi. Mengapa keturunanku yang lewat di sana ditakdirkan demikian? Tak jerakah mereka telah membuat aku sengsara? Haruskah anakku akan bernasib sama? Tak senangkah mereka telah memasung jiwa dan ragaku sekian lama? Anakku tak boleh kehilangan akalnya juga.
***
Seperti terkaan ayahnya, esok pagi ia tergelatak di halaman rumah. Wajahnya pusat pasi, rambutnya tak dikepang kuda lagi sebagaimana kemarin sore adanya. Bajunya kusam, tak lagi serapi yang digantinya sebelum bermain kemarin.
Melihatnya dari jendela rumah, ibunya lari mendapati.
“Yah, ini Dia!”
Ayahnya berlari menyusul dari belakang.
“Apa yang terjadi, Nak? Kemana kau semalaman? Tak tahukah engkau cemasnya aku malam tadi? Tak tahukah engkau semua warga kampung telah mencarimu keliling kampung?” isak ibunya sambil menuntun ayahnya menggendong Dia yang telah kaku.
***
Sejak itulah ia dikurung dalam rumah. Tak ada lagi kawan sepermainan. Tak ada lagi bermain keliling kampung atau bermain rumah-rumahan selepas mengaji di surau.
Keanehan dimulai dengan ia yang tak mau berganti pakaian sejak kejadian, tak mau dimandikan, tak mau disisir rambutnya sekadar untuk dirapikan. Satu lagi, ia tak mau disentuh ayah dan ibunya.
Dia hanya mau satu hal: diantar ke belakang rumah dekat kuburan kakeknya. Sebab kakeknyalah yang tahu perkara harta warisan ini semua.
Jelas saja ayahnya tak mengizinkan. Ia telah dulu merasa hal demikian: hilang di sore hari dan lalu mulai bertingkah aneh sambil tertawa entah dengan siapa.
Kini anaknya yang demikian. Sepertinya kesumat harta warisan yakni rumah yang sekarang ditempati keluarganya dan tanah yang digarap ranji kaum ayahnya belum kunjung reda.
***
Setelah lima tahun dikurung dalam rumah sembari berobat tentang kejiwaannya, sedikit demi sedikit akalnya telah kembali.
Ia telah mau mandi dan berganti pakaian. Rambutnya telah mau disisir. Ia pun telah mau disentuh ayah dan ibunya.
Seorang dermawan telah sudi berbagi dengan keluarganya. Ia telah dibawa ke rumah sakit jiwa dan disembuhkan di sana. Maka jadilah ia yang saat itu telah berangsur pulih. Telah dibolehkan keluar rumah.
***
Kini Dia telah di ruang tengah: hendak diadili.
Di sana telah menunggu kepala kampung dan seorang tangan kanannya.
Kepala kampung mematikan cerutunya lalu berkata pada Dia, “ceritakan pada kami dimana ibumu berada, Nak!”
Dia hanya diam. Semua pun hening.
Dia pandang ayahnya dalam-dalam. Ada ketakutan di sana. Lalu Dia pandang foto hitam putih bergambar ibunya yang berada tepat di dinding depannya. Ia ingin bicara. Tapi tersendat di kerongkongannya. Takut kalau ayahnya marah.
“Jangan pandang ayahmu, Nak! Ini demi ibumu. Tak inginkah Dia pulang? Sudah tujuh hari tujuh malam ibumu tak pulang,” sambung kepala kampung.
Ia masih diam. Tak kuasa bercerita apa yang ia ketahui untuk jadi saksi pengadilan ini.
Jika ibuku lewat jalan itu, tentu ia tak akan pulang sampai esok pagi. Mengapa keluargaku yang lewat di sana ditakdirkan demikian? Tak jerakah mereka telah membuat keluargaku sengsara? Haruskah ibuku akan bernasib sama? Tak senangkah mereka telah memasung jiwa dan ragaku sekian lama? Ibuku tak boleh kehilangan akalnya juga.