Oleh: Widiya Hastuti
Kupandang desaku, desa yang hidup dan berputar dengan kopi ini. Gunung Gerdung, di sebelah selatan menatapku tenang. Hutan lebat pada pucuknya memberi kesan seolah seorang pak tua berperut buncit nan bijaksana memberi petuah. Kopimu sedang tidak baik-baik saja, Nak.
Di gunung itu aku sering berburu merbah hutan atau burung kutilang bersama ayahku, sesekali ukung atau orak—jenis ayam hutan—masuk pada jerat kami. Dari puncak gunung itu aku biasa memandang laut Lhokseumawe yang terbentang luas berkilau-kilau bagai jamrud.
Turun ke punggung gunung, perkebunan kopi menutupi perut pak tua bagai kain sarung. Kebun ayahku juga di sana namun tak tampak dari tempatku sekarang. Kebun Kek Dulah yang tak terawat dengan warna hijau mencolok tepat di tengah punggung gunung seolah motif pada kain sarung pak tua adalah tempatku dan teman-temanku biasa mengumpulkan kopi tahi musang lalu menyelinap masuk ke kebun Mak Padang mencuri jeruknya yang ranum.
Truk tentara ini mulai berjalan perlahan di jalan bebatuan, aku terguncang-guncang di dalamnya. Matahari semakin tinggi, kabut mulai terbang mengawang berkumpul bersama awan. Anak-anak berjalan kaki menuju sekolah di balik Bur Krat. Itu Bengi, Mahara, dan Muhammad. Mereka berlarian mengejar truk sambil melambai padaku.
“Kak Kul, male kusi ko (mau ke mana)?”
“Sekulah (sekolah).”
“Selo ulak (kapan pulang)?”
“Nanti kalau Mak Padang enggak marah lagi kita ambil jeruknya,” jeritku di sela decit ban yang menginjak batu. Anak-anak itu mulai hilang di tikungan jalan. Aku tersenyum getir, mereka menaruh harap padaku. Harapan yang biasa kami ceritakan saat pulang mengaji di bawah pohon damar. Harapan tentang kopi manis dengan busa di atasnya yang telah menggusur tempat kopi buatan ine—ibu.
Mobil mulai memasuki desa. Aku memerhatikan rumah yang berbaris tak beraturan, sebagian besar rumah bantuan. Puing-puing rumah terbakar juga masih tersisa di antara barisan itu. Ini rumah Aman Iko, tengkulak kopi. Halamanya luas. Seperti mitos yang beredar di pengajianku semakin luas halaman rumah seseorang maka semakin banyak uangnya, karena halamannya adalah lahan untuk menjemur kopi.
Kata-katanya lagi, Pak Iko membayar GAM agar tidak membakar rumahnya, dan menyewa tentara agar tinggal di posko untuk menjaga rumah dan biji kopinya yang banyak itu, ia juga menyimpan uangnya di dalam kasur. Namun sepertinya itu semua hanya cerita.
Pagi itu kulihat ia muniru–menghangatkan tubuh di perapian—di halaman rumahnya sambil minum kopi, matanya nampak sayu memikirkan uangnya, mungkin. Sesekali ia menyapa petani yang lewat hendak ke kebun. Pak Iko tersenyum melihatku di dalam mobil.
“Mau pekan?” sapanya yang tak kujawab karena ia kembali menyapa petani yang lewat. Itu sapaan yang lumrah, karena kami biasa naik mobil tentara jika ingin berbelanja ke pasar kecamatan yang digelar setiap minggu.
Mobil berhenti di depan posko tentara. Aku memandang kincir air pembangkit listrik. Kiyeh.. kiyeh.. kiyeh. Suaranya garang. Seperti berada di Belanda aku memandang kincir itu, tuas-tuasnya dari besi besar dan kokoh berputar diterpa air. Listrik yang dihasilkan masuk ke pondok tampa dinding di depan posko, di sana bertengger manis TV hitam putih 24 inchi, satu-satunya TV di kampungku.
Sore saat ibu-ibu telah selasai masak dan bapak-bapak telah kembali dari kebun, mereka akan duduk di depan TV itu sambil minum kopi melihat chanel siaran satu-satunya, TVRI. Kami, anak-anak, setelah pulang mengaji di musala bergegas duduk di depan kotak hitam yang kadang kala harus ditempeleng untuk menghilangkan semut pada layarnya.
Di sini aku biasa mendengarkan diam-diam cerita dari para Awan—kakek. Tentang kopi pahit di masa lalu. Lalu para bapak mengeluh harga kopi yang turun sedangkan harga kopi saset orang barat atau jawa yang sangat mahal. Mengecewakan.
Mobil penuh dinaiki ibu-ibu yang hendak ke pasar, aku terpojok dan terhimpit. Mobil kembali melaju kini lebih pelan dan terseok. Kami melewati sungai dan SD-ku yang miring disangga kayu pada sisi timurnya. Catnya telah mengelupas, hanya ada lima ruangan. Empat adalah kelas dan satunya kantor dewan guru.
Semakin ke timur terdapat sepasang guci, besar dan kecil seperti suami-istri yang rukun. Mungkin mereka saksi yang paling nyata atas kisah-kisah di kampungku. Air gunung masuk ke dalamnya kemudian terjun bebas ke jalan. Aku terganggu dengan tangis anak Mak Cik Rehan.
Pukul 12.00 aku sampai di Simpang Balik, di sini aku akan menunggu bus yang membawaku ke Medan. Ada lampu rambu lalu lintas yang dipasang di persimpangan jalan, belum menyala. Di sampingnya kedai kopi berdiri megah mengiris hatiku, Frappucino Coffee namanya. Mereka menjual Americano, Capucino, Espresso, Cafelatte, dan Guilermo.
Mengapa mereka mendirikan kedai kopi di kota penghasil kopi? Harga per gelasnya Rp25.000 padahal kami menjual Rp45.000 untuk satu kilogram biji kopi. Dan yang membeli adalah anak petani kopi yang tak tahu diri. Inikah tatapan gunung pak tua yang iba? Dongeng awan yang berubah? Keluhan para bapak? Dan, harapan bocah di bawah damar? Diam aku menatap toko itu dan berdoa agar suatu hari nanti aku akan mengolah sendiri biji kopi kami tanpa orang barat, semoga saja.
***
Desing mobilku membelah angin, aku mengemudi perlahan, Tak begitu sejuk dan tanpa kabut. Deru mesin penggiling kopi bising di setiap sisi. Mobilku berjalan mulus di atas jalan aspal. Gunung gerdung menatapku sedih seolah-olah memberi pandangan ‘kau dan aku sedang tidak baik-baik saja, Nak’. Puncaknya telah gundul mungkin faktor usia. Aku kembali menyapanya setelah menyelesaikan S2.
Banyak perubahan pada desa kecilku. Kebun Kek Bedul yang telah dijual menghilangkan motif pada sarung pak tua. Mak Padang telah meninggal dan tak ada lagi bocah yang mencuri buah jeruknya. Halaman rumah Pak Iko telah menyempit, mungkin ia tak perlu membayar GAM atau tentara lagi sekarang atau kopinya telah menipis, aku tersenyum getir.
Mobilku meluncur perlahan menuju bukit belah, aku melirik keluar jendela. Tak ada lagi kincir gagah itu. Mungkin karena listrik telah menggagahi desaku. Sekolah SD yang menyedihkan itu juga telah direnovasi oleh Unicef. Desaku kelihatan telah membaik, namun kurasa tidak.
Aku menginjak pedal gas mobilku, menukik tajam mendaki punggung Bukit Krat. Aku melewati pasangan guci yang semakin tampak tua. Airnya mengalir kecil, menyedihkan.
Hanya butuh waktu satu jam untuk sampai ke simpang balik saat ini. Lampu rambu lalu lintas itu berdiri mematung tanpa menyala, mungkin ia gagal melaksanakan tugasnya. Aku berhenti di sana. Dari seluruh perubahan di desaku hanya hal ini yang tak berubah.
Hatiku berderit ngilu melihat sudut ini, warung kopi milik orang barat yang memperlambat laju roda kehidupan petani kopi. Mereka semakin menjamur sedang anak desa semakin bangga menikmatinya. Aku masuk ke dalamnya, menggunakan celemek dan topiku. “Selamat pagi, Chef,” sapa kepala koki asal Italia itu. Aku memandang keluar pada lampu lalu lintas itu. “Kita telah gagal,” gumamku.