Oleh: Aulia Adam
Tak sengaja, kutemukan sebuah syair tentang seorang gadis bernama Nirmala. Dalam syair itu, Nirmala disebut-sebut sebagai gadis paling cantik di dunia ini. Matanya hitam bak jelaga kendi, hidungnya runcing nan mungil bak ujung permata yang diasah oleh ahli batu mulia paling tersohor, sedang bibirnya penuh dan merah bak buah tomat baru matang: betul-betul menggoda. Belum lagi, Nirmala punya tubuh sintal yang kelewat ramping untuk gadis-gadis Melayu pada zamannya. Tapi buah dadanya segar, tak terlalu kecil, pun tak kelewat besar. Diceritakan pula, kalau berjalan, maka semua mata pria akan tertanam ke pinggul montok dan kaki jenjang Nirmala.
Tapi sayang, gadis tercantik di dunia itu sekaligus jadi gadis paling terkutuk di jagat raya ini. Syair itu bilang, Bisalah jadi Nirmala memang gadis tercantik di dunia, tapi tiadalah lagi yang paling dikutuk selain jadi tercantik di jagat raya.
Dan syair itu berakhir di sana. Kertas tempat ia dituliskan memang robek setengah. Jadi, aku tak benar-benar tahu jika bait terakhir memanglah bait terakhir syair itu.
Kertasnya aku dapatkan dari balik bantal nenek saat bangun tadi pagi. Tapi, nenek sedang menyiapkan sarapan bersama Nini, pengasuh nenek yang dibayarnya dari panti jompo, jadi aku tak bisa langsung tanya. Lantas kubaca saja. Dan di sinilah aku sekarang, terjebak penasaran atas kisah si cantik Nirmala.
Saat nenek teriak memanggil namaku dari dapur, aku tahu itu saat yang tepat bertanya padanya tentang Nirmala dan secarik kertas berisi syair tentangnya ini.
“Kau dapat kertas itu dari mana?” muka nenek awalnya sangat terkejut.
“Bawah bantalmu, Nek,” kataku.
Lantas ada hening panjang di antara kami. Nenek menghela napasnya dulu. Kemudian meletakkan wajan berisi omelet yang ia masak di atas kompor. Lalu duduk di kursi di sebelahku. Matanya kemudian menerawang. Tapi kemudian, seulas senyum terpampang di wajahnya, sebelum akhirnya ia bercerita padaku:
***
Dahulu di negeri Melayu, di Tanah Deli, hidup seorang gadis jelita bernama Nirmala. Waktu itu, tepatnya tahun 1672, Nirmala masih gadis belia berusia 16 tahun. Ia memang dianugerahi kecantikan seribu dewi di Bumi dan seribu bidadari di surga. Rambutnya bergelombang dan mengeluarkan wewangian alami yang bisa membuat orang tersenyum saat menciumnya. Mata sehitam jelaga kendi, dengan gigi-geligi seputih kapas. Sangat menawan saat ia tersenyum, karena dibungkus oleh dua belah bibir penuh yang berwarna merah delima, tanpa gincu buatan.
Kakinya jenjang, mirip kaki noni-noni Belanda. Tubuhnya sintal, tak seperti putri-putri Melayu lain yang mulai gendut karena kue-kue impor dari Belanda yang terbuat dari keju dan mentega paling berlemak sedunia.
Tiap pria yang melihatnya, muda-tua, bujang-beristri, renta-belia, selalu mengences tapi hanya bisa membawa Nirmala sebatas fantasi sebelum tidur. Sebab, Nirmala memanglah salah satu putri dari Sultan Tuanku Panglima Gocah, sultan pertama yang membangun Kesultanan Deli. Ia bergelar Putri Nan Beluan, namun punya panggilan kecil bernama Nirmala yang berarti suci atau tanpa cacat, persis dengan kesempurnaan fisik yang dimilikinya sejak lahir.
Namun, di balik kecantikannya yang luar biasa, Nirmala ternyata dikutuk sejak lahir. Kata dukun beranak yang menangani persalinan Sang Permaisuri, putrinya memang akan terlahir cantik jelita, tapi di balik kecantikannya nanti, umur sang putri akan berhenti di usia 17 tahun.
Lepas beberapa detik mengatakan itu, sang dukun malah tewas mendadak tersedak napasnya sendiri.
Meski enggan percaya, tapi Sang Permaisuri menangis sepanjang malam mendengar ucapan si dukun. Seumur hidupnya tak pernah sama lagi, ia akan selalu menangis ketika memandangi putrinya, Nirmala. Bahkan Sang Permaisuri mangkat saat Nirmala berusia tujuh tahun. Ia wafat karena kesedihan yang menggerogoti jantungnya.
Nirmala memang tumbuh sempurna sebagai gadis cantik jelita.Puja-puji memang tak pernah absen mengisi harinya.Ia senang jadi gadis jelita, tapi di balik itu semua ia juga merasa terbebani atas kematian ibunya. Pun, ketakutan atas kutukan yang lahir bersamanya.
Atas ketakutan itu pula, akhirnya Nirmala diputuskan akan menikah di usia 16 tahun. Ia sebenarnya tak senang, tapi tak baik melawan raja. Lagi pula, sebelum meninggal Nirmala juga ingin mencicipi jadi seorang istri.
Maka ia dipersunting oleh seorang Raja dari Negeri Melayu di Pulau Borneo yang sudah kepala lima, jadi istri ketiga.
Mendekati ulang tahunnya ketujuh belas, Nirmala makin ketakutan. Tapi ia akhirnya mengikhlaskan segalanya pada Tuhan. Di malam terakhir ia berusia enam belas, Nirmala berdoa pada Tuhan. “Ambillah nyawa hamba, wahai Engkau pemilik jagat raya.Tapi hamba mohon, Engkau bersudi kira memberi hamba keturunan. Agar orang-orang pernah ingat, bila sorang subang bertajuk[1] Nirmala pernah hidup.” Lalu ia menangis sejadi-jadinya.
Esok hari tiba, dan akhirnya berakhir. Tapi Nirmala ternyata tak wafat di hari itu. Bahkan setahun lewat, dan ia berulang tahun kedelapan belas, sembilan belas, lalu dua puluh sembilan. Kutukan itu ternyata bukan tentang berakhirnya hidup Nirmala. Ia ternyata tak mati. Tapi, umurnya memang berhenti di angka tujuh belas.
Nirmala dikutuk untuk hidup abadi.
Semua orang mulai menyadarinya ketika ia berulang tahun yang ketiga puluh. Tapi tubuhnya masih cantik bak gadis belas berusia tujuh belas tahun. Padahal ia sudah beranak empat kali. Hamil pertamanya ia ketahui di ulang tahunnya ketujuh belas.
Kecantikan Nirmala ternyata juga abadi seperti tubuhnya. Membuat Raja Negeri Melayu di Pulau Borneo akhirnya menceraikan lima istri lainnya, karena bangga beristrikan Nirmala seorang.
Dan di sanalah kutukan Nirmala mulai terasa. Kelima mantan istri Sang Raja yang ditikam patah hati, akhirnya bersekongkol mencelakai Nirmala. Ia berusaha dilempar ke jurang. Tiga dari empat anaknya tewas karena insiden itu. Tapi Nirmala tetap tak bisa mati. Ia telah dikutuk hidup abadi dengan kecantikan tiada tara sejagat raya.
Kutukan itu kembali terasa seperti kutukan yang sebenarnya, saat orang-orang yang dicintai Nirmala mulai wafat dimakan usia. Ayah, kakak, adik, suami, dan bahkan anak serta menantunya.
Saat anaknya meninggal di usia tujuh puluh, bersama menantunya dalam sebuah perang, Nirmala benar-benar terpukul berat. Ia merasa kecantikan yang abadi di tubuh imortalnya mulai menyiksa. Ia mulai merasakan kesendirian dan kesepian yang akut. Sesuatu yang selalu jadi mimpi buruknya setiap malam. Menjalani hidup sendiri dalam sunyi dan sepi.
***
“Jadi, Nek, Nirmala masih hidup sampai sekarang?”
“Tentu saja,” kata nenek dengan muka yang sumringah, benar-benar beda dengan ekspresinya saat kutanyakan pertanyaan pertamaku tentang Nirmala.
“Wah, keren sekali. Tapi di mana sekarang dia, Nek?” aku juga tersenyum, tapi tiba-tiba sebuah pertanyaan tambahan meloncat dari mulutku yang penasaran alang kepalang. “Eh, memangnya nenek kenal dengan Nirmala?”
Nenek tertawa dulu sebelum menjawab, “Tentu aku kenal dia. Dia nenek buyutku, Sayang. Dan kalau kau mau tahu dia di mana, coba ke kamar Nini sana. Minta foto Nirmala padanya,” kata Nenek.
Foto Nirmala? Wah, aku tak perlu lagi membayangkan kecantikan Nirmala, nenek buyut nenekku itu. Aku bisa melihat fotonya. Aku langsung berlari ke kamar Nini. Meminta foto Nirmala.
Saat Nini tersenyum, kemudian merogoh-rogoh lipatan baju di lemarinya, karena permintaanku, aku menyadari sesuatu.
Bibir Nini penuh, rambutnya wangi dan sehitam jelaga kendi… tubuhnya juga ramping dan sintal. Jangan-jangan dia…
[1]Seorang gadis bernama