Oleh : Agung Kurnia Ritonga
Jika aku menikahimu nanti, haruskah aku menikahi Tuhanmu juga?
Bisu dinding-dinding sekolah, sekejap menjelma menjadi cermin, sekejap menjelma menjadi debar. Sebab umpatan orang-orang di sekitar kita ditumpahkan kepadanya saat kau berkali-kali berhasil memecahkan algoritma angka, problematika sosial, sesat ideologi, bahkan hingar-bingar estetika. Hari ini kau berdiri dengan mata layu, selayu pohon ara yang dikutuk juru selamat dari Nazaret yang terkenal itu. Di hadapanmu hanyalah retak-retak papan tulis yang teruk disurati dengan materi-materi berulang. Bermain di kedua tanganmu adalah tabun debu-debu kapur yang kerap kau gambarkan sebagai tinta-tinta perang para pemazmur saat menulis Septuaginta.
Selesai kau menggambar sesuatu yang sering kau katakan sebagai ‘peta pikiran’ di papan tulis, kau berbalik, sembari melemparkan kapur tumpul ke taris-taris keramik, tanpa membersihkan belang di tanganmu, kau menatap seisi kelas seperti iblis. Kali ini matamu dingin, sebagaimana tatap penguasa neraka beku kepada Dante, sebagaimana ombak laut Merah saat tentara Firaun memanjatkan doa di akhir nafas mereka. Kau menatap ke satu arah, tapi entah mengapa, bengismu dibawa angin, memantul ke arah dinding, ke kapa-kapa, lalu ke akal kami, sembari membawa bisik cerca yang menyandikan kami orang-orang pandir.
Jika aku mencuri peparumu nanti, haruskah aku menafasi Tuhanmu juga?
Pukul sepuluh malam aku menemukanmu di persimpangan, menggenggam tiang lampu jalan, menatap rasi-rasi bintang di langit yang sebentar legam, sebentar kemuning. Hari ini aku keluar untuk mencari Zubeneschamali di rasi Libra, menghitung seberapa lama dia bisa hidup sebelum ditenggelamkan oleh warna-warna kota. Kau yang tetap tegar seperti gunung Olympus yang tak boleh diperangi, melambaikan telunjukmu ke angkasa sembari bergumam “aku menemukanmu”. Aku yang kelewat polos mengikuti arah jemarimu, dan kutemukan kau mencari Antares di rasi Taurus. Lalu kau hilang seketika, seperti sihir, seperti loyalitas Judas, seperti peradaban di tepi sungai Hindus.
Sebelum deru lonceng sekolah bersikejar dengan langkah-langkah kaki, aku menyambang mejamu di sudut kelas. Sebagaimana biasanya, kau yang bahagia dalam kesendirian, tetap tenggelam dalam nubuat membaca. Hari ini kau membaca Slaughterhouse-Five dari Vonnegut, tak bergerak, seperti patung pualam David yang menjaga dosa-dosa di kota Florensia. Aku menanyakan perihal Antares, kau tetap tak bergerak, maka kukatakan padamu bahwa Antares sudah lama mati. Kau berhenti membaca, menyambar mataku dengan seruan perang, lalu deru lonceng sekolah bersikejar dengan langkah-langkah kaki. Di antara kebisingan, yang bisa kubaca dari bibirmu adalah “begitu juga dengan Zubeneschamali.”
Jika aku membaca puisi-puisimu nanti, haruskah aku menduaja pada Tuhanmu juga?
Hari ini sekolah berakhir secara mondial. Kiamat yang dinamatengahi dengan kelulusan. Kau berjalan ke arah gerbang yang sudah disetubuhi karat, tanpa sapa, tanpa tegur, tanpa ikut menari dalam hingar bingar suka duka yang kaku, tanpa orang lain yang menepuk punggungmu sembari memanjatkan keselamatan. Kau menjelma menjadi kabilah raja Aleksandria yang mencari di mana lautan berawal. Maka jalan keluar yang kau tapaki adalah jalur sutra. Akan kupapas kau sebagai pedagang rempah dari tanah Gujarat. Menawarimu kuma-kuma untuk kau makan atau kemenyan untuk menandaimu dengan kebijaksanaan.
Aku adalah kijang, yang menghindari pohon-pohon tua dalam rupa manusia, mengejar tunggumu yang tak pernah ada. Kita adalah kura-kura dan Achilles dalam dongeng sebelum tidur Zeno. Maka aku menyerah, punggungmu menjauh, kubiarkan kau hilang dalam pekik dan aroma keringat. Lalu kau juga menyerah, berhenti dalam tiba-tiba. Kau hentikan waktu agar aku bisa membaca sandimu untuk dikejar. Dan tatap adalah perjumpaan, mata itu suam, menyirat padanya adalah ketidaknormalan, bermirat padanya wajahku yang meminta dirangkumkan dalam pelukan. Bising kendaraan berputar di antara kami, namun kepada kami, kebisuan datang merajai. Dari gerak merah bibirnya, aku diselamati dengan, “jumpai aku jam sepuluh malam ini.”
Jika aku menjadi dirimu nanti, haruskah aku menafikan Tuhanmu juga?
Di persimpangan, aku tak menunggunya, dia tidak menungguku. Waktu bersisa sembilan menit lagi menuju jam sepuluh. Kami bersitunggu. Saat kala sudah diaminkan, hujan turun di tempat dia berdiri, di sebelah lampu kota, yang memaksaku untuk ikut basah, dan menikahi zarah cahaya. Aku meminta kami untuk berteduh, dia berbisik, “kau yang mendatangi basah”. Maka aku meminta kami untuk tidak berteduh. Dia tak bicara, aku juga tak bicara, namun tubuhnya berbicara, tubuhku juga berbicara. Erat rangkulku menyuarakan janji-janji pernikahan. Hangat peluknya menghantarkan ancaman persetubuhan.
Matanya kembali suam, seperti kobaran api yang membakar Roma. Aku yang tak pandai menyembunyikan takjub, kubakar Persepolis agar berseteru dengan matanya. Langit berkhianat, Hammurabi akan memenggalnya, sebab hujan telah berhenti. Dia akan pulang, membawa akalnya yang tak bisa kuselami, membawa tubuhnya yang tak sempat kukuasai, membawa selamat tinggal yang tak kunjung kuratapi. Maka dahiku dihias warna-warna mawar, sebab bibirnya mewartakan: “Aku akan mengajarimu menjadi lautan, dan aku yang akan memetakannya.”
Jika aku tak pulang kepadamu nanti, haruskah aku mengadu pada Tuhanmu juga?