Oleh: Putra P Purba
Riuh suara stadion negeri terus berkumandang. Di kala kesebelas pasukan dari tim yang mereka cintai memberikan hiburan di kala penat dan hidup yang kembali peluh. Walau kalah maupun menang, cinta itu tetap melekat dari generasi ke generasi.
Haringga Sirila tak menyadari apa yang akan terjadi pada Minggu, 23 September 2018. Kala itu, tim ibukota, Persija, mendatangi Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) tuan rumah, Persib, dalam lanjutan Liga 1. Kedua suporter sudah saling ejek bahkan sebelum kick off dimulai. Tensi memanas dapat terlihat sejak pada laga dimulai.
Sebanyak 44 pelanggaran terjadi, 26 di antaranya terjadi pada babak pertama. Di hadapan pendukungnya sendiri, Maung Bandung –julukan Persib Bandung– menang dramatis 3-2 atas Persija.
Suporter tim tuan rumah bersemangat dan bersorak ria. Mereka tetap di puncak klasemen di kala tim pengejar tetap memantau di pekan ke-23. Akan tetapi, kemenangan itu rupanya tak cukup baik untuk diri Haringga. Sebelum peluit kick off dimulai, tepat pada pukul 13.00 WIB terjadi kembali rivalitas antarsuporter kedua kubu. Korban kembali terjatuh. Suporter ini menghembuskan nafasnya.
Sebelumnya, pada bulan April 2018, dalam laga pekan ke-4 Liga 1, Micko Pratama, pemuda Sidoarjo, berusia 17 tahun yang merupakan anggota Bonek –suporter fanatik Persebaya–, meregang nyawa di tangan orang bersenjata saat selesai menyaksikan laga kandang Persebaya kontra PS Tira di Stadion Sultan Agung, Bantul.
Micko yang hendak pulang dari Bantul menuju Surabaya dihadang sekelompok pemuda bersenjata. Micko dipukuli, ditendangi, dilempar batu, dan jadi korban sikap yang seharusnya tidak dimiliki makhluk bernurani. Mendapat pukulan, tendangan, dan lemparan, nyawa Micko akhirnya melayang.
Miris, berdasarkan data dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Save Our Soccer (SOS) tewasnya Micko merupakan satu korban yang terdaftar menjadi korban ke-69 dari kejamnya sepak bola Indonesia sejak Liga Indonesia digulirkan pada 1994/1995.
Dua nama tersebut mewakili kondisi miris sepakbola Indonesia jika berbicara non-teknis. Sebab, suporter adalah bagian dari tim. Keberadaan mereka harusnya mendapat perlindungan tak cuma dari petugas keamanan, tapi juga dari klub bersangkutan. Pijakan legalnya tercantum dalam Club Licensing Regulation yang diterbitkan Federation de Internationale de Footbal Association (FIFA) pada tahun 2004.
Regulasi itu menginstruksikan setiap federasi sepak bola negara untuk menerapkan pengelolaan klub sepak bola yang profesional. Pun, syarat antara lain, berstatus badan hukum, infrastruktur, finansial yang sehat, pembinaan usia muda (sporting), dan manajemen. Hal senada juga tercantum dalam Satuta PSSI yang bertujuan mengikat dan menjadi pedoman bagi para klub profesional.
Kedua insiden itu “hanyalah” satu dari sekian banyak kisah rivalitas antarsuporter klub sepakbola. Di Indonesia, suka atau tidak, hal tersebut bahkan telah menjadi (semacam) identitas klub. Pertempuran rivalitas antarsuporter klub Indonesia berujung maut memang kerap terjadi sejak Liga Perserikatan lalu.
Sebabnya adanya Gemellaggio ala Indonesia. Dimana penalaran ala Gemellaggio kira-kira begini. “Lawanku (harus) menjadi lawanmu juga. Jika ada kawanku berusaha merintis perdamaian dengan lawanku, ini sulit aku terima,”. Tak bisa dipungkiri, hal ini lah yang seakan dipegang teguh bagi para pecinta klub sepak bola Indonesia.
Begitu juga dengan sikap Fanatisme dalam sepakbola yang diamalkan dalam sebuah lagu yang berisi ejekan rasis terhadap lawan. Hal itu juga menjadi salah satu upaya mematikan sepak bola. Lagu yang sejatinya merupakan bahan bakar bagi para pemain untuk terus semangat mengejar bola nyatanya menjadi bahan bakar menyulutkan api permusuhan.
Padahal PSSI sebagai induk organisasi sepak bola nasional sejatinya sudah memiliki perundang-undangan dalam tindakan buruk suporter yang tercantum dalam Kode Disiplin PSSI tahun 2008 pasal 59, pada ayat yang ke 3 berisi “Setiap penonton yang dinyatakan bersalah melakukan tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (2) Kode Disiplin PSSI ini dikenakan hukuman berupa sanksi tidak diijinkan memasuki stadion manapun selama masa 2 (dua) tahun.” peraturan itu jelas dan ada saksi yang tegas diberikan dari PSSI.
Selain itu, adanya peraturan untuk membentuk Departemen Khusus Area Fans dan Community Engagement guna bertindak untuk mengatasi hal-hal dan kejadian sekitar fans dan pendukung sepak bola Indonesia serta meminimalisir bentrok antarsuporter. Seharusnya peraturan ini semakin diperketat. Tak hanya sebagai peraturan tertulis saja, namun dampaknya benar-benar terasa.
Karena bagaimanapun jika isu Gemellaggio dibiarkan terlalu lama maka bisa saja Indonesia selalu dikelilingi konflik antarsuporter yang tidak ada hentinya. Disini mestinya pemerintah juga turut mengambil langkah dalam menindak lanjuti para pelaku yang menyulutkan kebencian antarsuporter. Tak hanya itu, adanya aturan tegas organisasi suporter ke jajarannya untuk melakukan upaya damai ke kelompok suporter lainnya. Karena dengan kegiatan itu akan menimbulkan langkah baik ke depannya.
Pada akhirnya, peristiwa kerusuhan, nyanyian atau seruan rasis, pembunuhan, maupun tindakan kriminalitas lainnya diharapkan tidak menjadikan suporter sepak bola Indonesia sebagai pendukung fanatik tanpa rasa kemanusiaan. Hidup dengan damai dan saling mendukung tim kebanggaan dengan atribut-atribut klub yang unik dan penuh kreatifitas koregrafi pastinya lebih indah daripada harus saling mencari darah untuk keegoisan semata.
Toh, fungsi pengawasan harus benar-benar dilakukan semua stakeholder sepak bola negeri. Masyarakat hanya ingin hiburan dan sepak bola berprestasi. Bukan sejumlah ‘dagelan’ yang akhirnya menyulut emosi dan mengorbankan nyawa terlalu murah.