BOPM Wacana

Superiority Complex, Merasa Segalanya demi Validasi Sekitar

Dark Mode | Moda Gelap
Illustrasi | Veruszhka
Illustrasi | Veruszhka

 

Berkoar-koar menonjolkan diri di hadapan orang lain, benarkah demi menutupi  ketiadaan semata?

Dalam hubungan interpersonal, kita tidak dapat menyangkal jika ada saja orang yang ingin lebih unggul serta melulu membahas mengenai dirinya dengan pendapat yang berlebihan.

Istilah superiority complex pertama kali disebutkan oleh seorang psikolog individual dunia, Alfred Adler melalui karyanya pada awal abad ke-20. Adler menjelaskan bahwa superiority complex merupakan bentuk defence mechanism bagi perasaan tidak mampu yang setiap individu perjuangkan.

Artinya, superiority complex tidak selalu ditunjukkan oleh mereka yang “unggul”, tetapi sebenarnya ada kecenderungan mereka sedang menyembunyikan perasaan rendah diri (inferior). Adler mengasumsikan bahwa perilaku ini ditunjukkan oleh orang yang tidak menerima kegagalan, dan sebagai bentuk menghadapi peristiwa tersebut, maka mereka berpura baik-baik saja demi harga dirinya terjaga.

Melalui Situational Awareness Matters Academy dijelaskan bahwa seseorang yang merasa superior akan alergi terhadap masukan, saran, ataupun kritik yang dilontarkan oleh orang lain.

Lantas, mengapa perilaku ini marak di tengah masyarakat?

Dewasa ini, perasaan superiority complex yang muncul cenderung lebih kompleks, bisa dilatarbelakangi oleh tekanan sosial, budaya, dan lainnya. Masyarakat kini sulit untuk mewajarkan kegagalan sebagai proses bertumbuh, padahal hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah terjadi. Akibat hal ini, maka individu mengkompensasi ketidakberdayaan tersebut melalui perilaku superiority complex. Dengan membual seperti ini, mereka belajar melepaskan diri dari perasaan inferior dan merasa terlindungi.

Selanjutnya, dalam konteks merasa lebih “unggul” dibanding orang lain, kecenderungan perilaku ini terjadi karena biasanya kita mengevaluasi diri melalui kacamata subjektif diri sendiri, tanpa mempertimbangkan perspektif di luar diri.

Individu masa kini juga haus akan validasi, sehingga membutuhkan mata orang lain sebagai penuntun kehidupannya. Alasan lainnya, individu dengan superiority complex cenderung senang menjadi pusat perhatian, merasa berkuasa, dan memiliki kadar keegoisan yang tinggi.

Urgensi Fenomena Bullying Bersinggungan dengan Superiority Complex

Kasus bullying masih menjadi isu krusial yang tentunya berkaitan erat dengan superiority complex. Pada awal 2022, terjadi bullying terhadap siswa SD di Bekasi yang ramai di jajak media sosial. Dalam video, didapati informasi bahwa anak SD tersebut ditendang bahkan diinjak oleh beberapa anak yang lebih tua darinya. Tak hanya itu, bahkan pelaku tak sungkan untuk merekam kejadian tersebut. Melalui kacamata penulis, para pelaku yang berada dalam kasus tersebut merasa memiliki wewenang untuk menindas dan mengerdilkan orang lain.

Superiority Complex dan Kaitannya dengan Penguasa Negeri

Masa pandemi menjadi ladang bagi penguasa negeri untuk memanfaatkan kedudukannya. Belum selesai dengan kesulitan selama pandemi, masyarakat juga ditekan oleh berbagai kebijakan dan peraturan yang digaungkan saat ini. Saat rakyat berteriak menuntut keadilan melalui protes dan demo, bukankah para pemangku kebijakan tak menggubris dan menganggapnya sebagai angin lalu?

Sesama rakyat malah ditekan, dan tentunya menimbulkan kesengsaraan yang baru. Para penguasa negeri hanya akan mementingkan diri sendiri, orang terdekat, dan kelompoknya, namun selalu berdalih mengatasnamakan rakyat. Siapapun pihak yang mencoba menghadang langkah dan kebijakannya, tentu akan mendapatkan kesulitan, hal tersebut terkesan superior sekali, bukan?

Penerimaan diri (Self-Acceptance)

Melalui penerimaan diri, perasaan maupun perilaku superiority complex dapat ditangani dengan tepat. Hal yang dapat dilakukan ialah menerima sisi lemah diri sendiri yang tentu saja manusiawi. Kedua, coba berempati terhadap diri sendiri, yaitu dengan mengidentifikasi perasaan lalu merasakannya. Tidak apa jika pengalaman dan kegagalan di masa lalu masih berbekas, asal tau mengambil langkah tepat kedepannya.

Ketiga, berhenti mencari validasi dari orang lain, sebab terlalu mengharapkan penilaian dari orang lain tidak sepenuhnya menggambarkan karakter diri kita, dan bukan tugas kita untuk membuat orang lain senang dengan pilihan sikap kita. Terakhir, ubah sikap arogan menjadi rasa percaya diri yang sehat, sebab seseorang yang superior sejatinya adalah orang yang insecure atas hidupnya.

Berpusat pada diri sendiri (Self-Centered)

Seseorang dengan superiority complex memiliki keegoisan yang tinggi. Cara terbaik untuk mengatasi perilaku tersebut ialah menghilangkan sentimen dengan membuat perubahan internal yang positif, bisa dengan mengintrospeksi diri, mengetahui bahwa dunia tidak hanya berputar pada kita saja, mencoba apresiasi dan mengakui keberadaan orang lain.

Dapat juga dibentuk dengan menciptakan pemikiran terbuka (open-minded), yaitu dengan bersikap tidak merasa paling benar dan menghargai pendapat orang lain. Selanjutnya, menganggap orang lain setara, sehingga dapat bersikap adil terhadap peran, hak, dan posisi orang lain.

Pada akhirnya, individu yang benar-benar mampu tidak membutuhkan pengakuan sana-sini untuk ‘menjustifikasi’ kemampuannya.  Perilaku superiority complex hanya menjadi penghambat untuk bertumbuh, sebab “gelas” kita sudah terlanjur terisi penuh oleh keegoisan dan rasa takut atas diri sendiri.

Komentar Facebook Anda

Veruszhka

Penulis adalah Mahasiswa Psikologi USU Stambuk 2021. Saat ini Veruszhka menjabat sebagai Staff Multimedia BOPM Wacana.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4