Oleh: Alfat Putra Ibrahim
Judul | : Trilogi Soekram |
Penulis | : Sapardi Djoko Damono |
Penerbit | : PT Gramedia Pustaka Utama |
Tahun Terbit | : 2015 (Cetakan Kedua) |
Jumlah halaman | : 273 halaman |
Harga | : Rp 60.000,- |
Tokoh ini menembus batasan fiksi antara pengarang, pembaca, dan dirinya. Pengarang boleh saja mati, tapi tokoh novelnya, Soekram, tetap abadi.
Novel ini menunjukkan hubungan paling kompleks sekaligus paling sejati antara pengarang dan tokoh di dalam tulisannya. Sebab tak hanya sebatas mengisahkan tokoh Soekram, namun ada interaksi serta nilai sosial yang disampaikan di dalamnya.
Dalam novelnya kali ini, Sapardi Djoko Damono coba menyajikan kisah fiksi mengenai seorang tokoh yang sangat aneh. Soekram namanya. Dalam cerita, ia merupakan tokoh yang ditinggal mati pengarangnya sendiri. Ceritanya yang masih setengah jadi, membuat Soekram geram terhadap pengarangnya. Tokoh tersebut seolah-olah loncat keluar untuk menggugat pengarangnya.
Trilogi Soekram merupakan gabungan dari tiga buku milik Sapardi yang berjudul “Pengarang Telah Mati”, “Pengarang Belum Mati”, dan “Pengarang Tak Pernah Mati” yang telah diterbitkan pada 2012.
Pada bagian awal ceritanya berkisahkan erareformasi, tepatnya huru-hara di Jakarta pada bulan Mei ‘98. Mulanya kisah tersebut membuat kita terbius dengan semangat reformasi kala itu sembari diselingi kisah asmara serta kehidupan rumah tangga Soekram. Pada masa ini Soekram menjadi tokoh protagonis yang sangat digemari dan populer di kalangan kampus tempatnya mengajar.
Soekram mendukung perjuangan mahasiswanya untuk membela rakyat dalam pemerintahan yang otoriter kala itu. Di sisi lain, kisah cintanya juga menjadi momok yang cukup menarik untuk ditelusuri, di mana ada kisah cinta yang melibatkan istri, mantan kekasih, serta mahasiswinya. Ia mencintai istrinya, namun masih menyayangi sang mantan kekasih dan menaruh hati pada mahasiswinya. Namun belum usai pengarang menceritakan riwayat Soekram di masa itu, tak ada kelanjutan akan kisahnya.
Pada bagian kedua, cerita dilanjutkan oleh pengarang lain. Kini latar kisahnya berpindah ke masa lalu Soekram. Bergantinya pengarang dan latar cerita tak semata-mata mengubah konstruksi tokoh Soekram. Di sini, ia dirangkai dalam cerita mengenai asal-usul keluarganya serta bagaimana ia tumbuh dewasa.
Cukup menarik kisah yang ditorehkan pengarang dalam kisah Soekram di bagian keduanya ini. Namun, lagi-lagi pada bagian ini kisahnya tetap tak usai dijabarkan dan tanpa alasan yang jelas ia memutuskan untuk melanjutkan jalan ceritanya sendiri pada bagian selanjutnya.
Bila dalam beberapa cerita fiksi tokoh utama hanya menjadi sebuah subyek yang menjalankan cerita sesuai narasi yang dibuat pengarangnya, lain halnya pada Soekram. Tepatnya dalam bagian ketiga tokoh ini memutuskan untuk membuat jalan ceritanya sendiri.
Tak tanggung-tanggung, ia membuat latar mengenai kisah klasik di tanah minang mengenai riwayat Datuk Maringgih dan Siti Nurbaya. Di sana ia seolah menjadi tokoh yang berpengaruh pada riwayat yang sangat populer tersebut.
Dalam kisahnya, Soekram menemui tokoh Datuk untuk menelusuri ketenaran sosoknya. Pada pertengahan ceritanya, ia bertemu dengan Nurbaya yang sangat mengagumi sosok Datuk. Di sini ia seolah menjadi tokoh yang coba mempertemukan keduanya. Pun kisah ini seolah mengundang tanya pada akhirnya saat Soekram kembali ke masa depannya.
Soekram menjadi sebuah karya yang coba merombak logika. Secara hakiki, ia hanyalah tokoh khayalan penulis namun tak menjadikannya sebagai sekedar tokoh fiksi semata. Daya imajiner Sapardi telah membuatnya hidup dan abadi selayaknya mahluk hidup yang nyata.
Karya penyair kenamaan ini patut dinikmati terutama oleh para penggemar setia karyanya. Kisah tentang Soekram akan mengundang rasa penasaran pembaca mengenai kelanjutan tokoh tersebut.
Narasi sastrawi yang dikemas secara apik menjadi salah satu kunci karya Sapardi yang juga ditampilkan dalam novel yang berjudul Trilogi Soekram ini. Nyaris tak ada kekurangan dalam novel penyair ini. Namun, pembaca dituntut lebih mengeksplor makna yang disampaikan dalam setiap kalimatnya.
Akhirnya, Soekam menjadi sebuah karya fiksi yang menghubungkan dunia yang saling menjalin interaksi. Ia menyampaikan bahwa kehidupan manusia dan dirinya sangat jauh berbeda. Penulis yang merupakan makhluk ciptaan Tuhan akan tiada, sementara karya yang ditulis dapat abadi.
“Ciptaan manusia malah tidak mati, tetapi ciptaan Tuhan mati. Itu yang saya pikirkan (saat menulis Soekram),” tutur Sapardi yang dikutip dari www.antaranews.com saat peluncuran novel ini pada 22 Maret 2015 lalu.