Oleh: Yulien Lovenny Ester Gultom
Bakteri kini tak hanya mampu mengurai sampah organik, tapi si Sakaiensis mampu mengurai sampah anorganik, yakni plastik.
Kantong plastik berbayar menjadi isu hangat yang tengah diperbincangkan, kebijakan yang mulai diterapkan sejak 21 Februari silam dianggap menjadi salah satu solusi untuk mengurangi produksi sampah plastik. Pernahkah Anda berpikir jika kebijakan ini berjalan dengan baik, sisa sampah akan terurai dengan cara apa? Atau sampah yang masih ada akan diapakan?
Plastik pada umumnya merupakan bahan yang tidak mudah terurai sebab beberapa komponennya merupakan polimer yang digunakan sebagai materi pembuat plastik.
Setidaknya untuk mengurai satu sampah plastik kita memerlukan waktu sekitar delapan puluh hingga seratus tahun. Bayangkan saja setiap tahun, manusia mampu menggunakan sekitar 220 juta ton plastik, bisa jadi kita tenggelam dalam lautan plastik.
Permasalahan sampah plastik ini menggugah para peneliti asal negeri sakura, Dr Sunshuke Yoshida bersama tim penelitinya dari Kyoto Institute of Technology. Mereka memberikan satu penemuan yang luar biasa. Tim Sunshuke menemukan enzim khusus penghancur plastik. Enzim itu dihasilkan oleh bakteri bernama Ideonella sakaiensis 201-F6.
Dr Sunshuke beserta timnya mengambil 250 sampel dari tanah, sedimen lumpur, dan air sumur dari pabrik daur ulang plastik Polytethylene Terephtalate (PET). PET biasa dijumpai pada botol plastik berwarna jernih atau transparan dan biasa digunakan pada botol mineral, jus dan PET hanya digunakan sekali saja.
Jika digunakan dalam waktu yang lama maka botol akan mengeluarkan senyawa karsinogenik yang mampu menyebabkan kanker. Saat ini penggunaan PET dalam industri makanan banyak digunakan. Selanjutnya PET tadi diuji menggunakan bakteri dan yang mengejutkan pencampuran bakteri dan plastik PET membuat lubang pada plastik hingga terurai.
Cara kerja Ideonella 201-F6 menurut Biokimiawan dari Universitas Greifswald di Jerman, Uwe T Bornscheuer-yang juga ikut melakukan penelitian-mengatakan bakteri mampu melubangi PET berkat enzim PETase dan MHETase.
Kedua jenis enzim inilah yang berperan penting dalam menguraikan plastik PET. Ideonella sakaiensis 201-F6 diduga muncul sebab proses adaptasi di sekitar limbah plastik PET dan Enzim ini kemungkinan terbentuk karena proses mutasi gen.
Sakaiensis mengubah bentuk polimer menjadi asam mono (2-hydroxyethyl) terephthalic atau MHET. Selanjutnya ketika sudah terbentuk MHET, MHET akan menjadi bahan pembuat PET kembali. Ini berarti sampah akan kembali ke bentuk asalnya. Intinya, bakteri ini mampu menghancurkan dan memisahkan polimer ke bahan pembuat asalnya.
Dari uji coba yang dilakukan pada lapisan tipis PET, Sakaiensis butuh setidaknya enam minggu untuk mengurai polimer tersebut. Dengan demikian, kita tak perlu menunggu seratus hingga delapan puluh tahun untuk mengurai sebuah sampah.
Saat ini, peneliti masih berusaha untuk memperbanyak jumlah bakteri dan memperoleh informasi genetik bakteri. Perlu diketahui bahwa Sakaiensis tidak hanya satu-satunya penghancur plastik oleh alam. Ada jamur, mikroba, laut, dan cacing yang dapat menjadi sebuah komposer plastik. Bedanya, tak ada yang dapat mengubahnya menjadi bahan dasar plastik.
Selain itu, masih banyak perbaikan yang dilakukan oleh peneliti untuk menyempurnakan kinerja bakteri untuk menghancurkan plastik seperti waktu penguraian.
Penemuan-penemuan tentang mikroba atau bakteri mulai banyak dilakukan dan masih akan terus berkembang. Beberapa waktu lalu, mahasiswa asal Universitas Padjajaran yang sedang meneliti jamur untuk menghancurkan limbah Styrofoam. Meski bukan sejenis plastik, keduanya cukup sulit diuraikan. Setidaknya butuh seratus tahun.
Mulai sekarang, kita juga harus membiasakan menggunakan bahan-bahan yang mudah diurai oleh alam. Walau bakteri sudah ditemukan, penggunaan plastik sebaiknya dihentikan.