Oleh: Dewi Annisa Putri
Tahun 2016 resmi divonis sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah. Lantas, akan sepanas apa dunia—khususnya kota-kota di Indonesia pada 2100 mendatang?
Pada 10 Juni lalu, seorang wartawan bernama Lutfy Mairizal Putra menulis berita berjudul Musim Kemarau Tiba, Penduduk Indonesia Wajib Berterima Kasih di kompas.com. Dalam tulisan tersebut, Lutfy melaporkan Indonesia telah resmi memasuki musim kemarau Juni lalu. Meski belum di seluruh kota Indonesia, beberapa wilayah seperti bagian utara Jawa telah mengalami musim kemarau.
Mungkin musim kemarau memang memiliki manfaat bagi kehidupan manusia. Seperti mempermudah para petani garam yang menghasilkannya dengan metode penguapan air laut menggunakan sinar matahari.
Selain itu, proses penguapan air laut juga berfungsi untuk membentuk air hujan dan biasanya terjadi pada musim kemarau. Pun, sinar matahari dapat digunakan untuk sumber energi. Manusia pada umumnya lebih leluasa melakukan aktivitas luar ruangan pada musim kemarau dibandingkan musim hujan, bukan?
Namun, apa yang akan terjadi pada musim kemarau di Indonesia pada 2100 mendatang? Apakah penduduk Indonesia masih akan sanggup melakukan aktivitas luar ruangan nantinya?
Pada musim kemarau—atau musim panas di negara yang punya empat musim, tentunya suhu akan meningkat. Terutama di daerah perkotaan di mana polusi karbon yang dihasilkan akibat aktivitas manusia terus meningkat. Kini, sekitar 54% populasi hidup di daerah urban dan penduduk di perkotaan diperkirakan tumbuh sebesar 2,5 miliar orang pada 2050 mendatang.
Climate Central, kelompok riset yang berpusat di Amerika Serikat, dari hasil penelitiannya membuat model interaktif untuk menggambarkan seberapa panas kota-kota di dunia pada tahun 2100. Di sini, kita dapat melihat suhu kota di seluruh dunia pada musim panas saat ini dengan mengetikkan nama kota tersebut atau mengklik titik lokasi.
Lalu, setelah suhu kota tersebut ditampilkan, sesaat kemudian akan muncul garis merah yang menghubungkan kota tersebut ke kota kedua. Suhu di musim panas di kota kedua inilah yang diperkirakan menjadi suhu musim panas di kota pertama pada 2100 nanti. Dengan asumsi selama rentang waktu tersebut tak ada upaya signifikan untuk mengendalikan emisi karbon.
Selain itu, kita juga dapat membandingkan hasilnya dengan suhu musim panas di kota tersebut jika manusia melakukan upaya pengurangan emisi moderat. Di mana kata moderat digunakan untuk menggambarkan pengurangan emisi sekitar setengah dari yang ada saat ini dan tahun 2100 nanti.
Dalam model interaktif ini, Climate Central memang tidak menyuguhkan perkiraan suhu musim panas di setiap kota namun umumnya diwakili oleh beberapa kota besar di setiap negara. Untuk hasil di Indonesia, terdapat lima negara yaitu Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, dan Bekasi.
Untuk Jakarta, Bandung, dan Bekasi yang kini memilki suhu sama yaitu 29,90 C, pada tahun 2100 suhunya akan setara dengan kota Phnom Penh, Kamboja saat ini yaitu 32,50 C. Hasil itu jika tak ada pengurangan emisi moderat. Namun bukan ada pengurangan emisi moderat, suhu di dua kota ini akan sama dengan suhu Singapura yaitu 31,50 C.
Sementara di Medan, musim kemarau yang saat ini memiliki suhu 31,80 C akan meningkat menjadi 35,20 C seperti suhu musim kemarau di New Delhi, India saat ini. Namun jika ada pengurangan emisi moderat, kota yang terletak di Sumatera Utara ini akan setara seperti suhu Bangkok, Thailand yaitu 33,10 C.
Untuk kota terakhir yaitu Surabaya yang saat ini pada musim kemarau memiliki suhu 28,60 C, akan meningkat menjadi 320 C seperti suhu kota Kuching, Malaysia. Peningkatan sebanyak 3,4 derajat ini merupakan hasil jika tanpa pengurangan emisi moderat. Jika dikurangi emisi moderat, maka suhu Surabaya akan sama dengan suhu Bandung yaitu 29,90 C.
Melalui model interaktif ini, kita juga dapat melihat suhu kota di berbagai negara lainnya. Seperti yang diprediksi akan mengalami perubahan suhu terbesar pada 2100 nanti yaitu Kota Sofia di Bulgaria. Suhu di kota ini akan meningkat hingga 8,40 C sehingga akan terasa seperti musim panas di Port Said, Mesir, saat ini. Sementara Kota Kairo di Mesir yang terkenal panas akan terasa seterik Abu Dhabi.
Sekali lagi, peningkatan suhu global ini dipengaruhi oleh emisi gas yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Tentu kita tak ingin membiarkan anak-cucu lahir kita dan hidup di suhu panas luar biasa, bukan?