Oleh: Dewi Annisa Putri
Dewi mana bisa sembunyikan segala gundah dalam jarak waktu kelewat lama hingga menahun? Tak ada putri dapat kubur semua luka tanpa merana. Dan, perempuan yang kau kata menarik dengan segala rahasianya yang dikunci rapat-rapat dalam peti hitam, tak mungkin lupa rasa meski peti itu dihempas jauh-jauh dari ruang ingatan. Nyatanya, ingatan gadismu lebih kuat dan berbahaya dari yang kauduga.
***
Emera setengah terbangun dari setengah tidurnya. Tiba-tiba tubuh setengah telanjangnya gerah meski hanya dibalut selimut pendek tipis. Selimut itu hanya sanggup menutupi dada hingga lutut. Sebenarnya, ia pun terlalu malas tidur dengan segala benang membelenggu tubuhnya. Keringat tipis mulai mengalir dari helai dan akar rambutnya ke leher dan terus turun mengelus punggungnya.
Jacques tiba-tiba keluar dari kamar mandi tanpa pakaian, bersiul-siul dan berjalan menuju cermin di sudut kamar. Siulan yang terdengar seperti kuku-kuku panjang iblis digoreskan di papan tulis. Emera memejamkan mata menahan rasa mata silet di gendang telinganya, lalu kembali pura-pura tidur.
“Aku akan cepat pulang hari ini,” bisik Jacques lalu segera mencumbui daun telinganya.
Emera melenguh berpura-pura. “Jangan lama, aku menunggumu,” desisnya pelan di pipi Jacques.
Ia tahu, sesaat lagi Jacques akan bergabung dengan orang-orang bodoh di luar sana. Berjalan menuju pabrik untuk membangun apartemen-apartemen kokoh. Kekasihnya itu juga kini turut dikelabui waktu dan menurut pada hal-hal abstrak yang membuatnya tak bisa menentukan hidupnya sendiri. Jacques sendiri sering bermanis-manis mulut berkata Emera adalah tujuan terakhirnya, tak mungkin lain lagi.
Namun, Emera sudah terlalu malas untuk mendebat ataupun merayu Jacques yang tak percaya. Ia takut disangka gila dan kembali diarak ke psikiater yang memuakkan itu. Hanya lantaran memintanya mencarikan kebahagiaan yang nyata bagi mereka. Ia putuskan kembali meringkuk dalam selimut tak berguna itu. Hangat suhu kamar mengantarkannya kembali ke ruangan semu yang terasa lebih nyata.
***
Emera tak lagi melihat apa-apa kecuali gelap. Ia memejamkan mata lebih lama, dan lamat-lamat akhirnya menemukan diri duduk di bangku dalam sebuah ruang bernuansa monokrom dalam benaknya. Di sebelahnya, sebuah bangku kayu yang biasanya diduduki Edith, diam mematung.
Ingin Emera menghampiri pintu kayu di ujung ruangan, mengetuknya, dan meminta Edith keluar menemani. Namun ia tahu sahabatnya itu masih terlelap di sana. Meringkuk kedinginan sambil meratap dalam mimpi setengah tidurnya.
Emera mematung di atas bangkunya. Merencanakan rencana demi rencana, kegilaan demi kegilaan. Namun, ia butuh Edith untuk bertukar pikiran. Emera, gadis yang sesuka hatinya selalu memainkan waktu dan orang-orang bodoh yang berlutut pada si empunya detik.
Pintu berderit. Edith keluar, menunduk lemah dan melangkah pelan ke arahnya. Emera, setengah senang dan setengah sedih melihat kondisi sahabatnya yang selalu seputus asa itu.
“Kau sudah lama datang?”
“Sejak Jacques kudengar mengunci pintu rumah,” jawab Emera.
“Mana pakaianmu?”
“Siang baru datang.”
Edith duduk dan terdiam di atas bangkunya yang lebih kusam dan lapuk lantaran sering diguyur air mata. “Larilah,” ujarnya lirih.
Sebenarnya, Edith hanya setengah sungguh-sungguh pada ucapannya. Ia tahu, jika mau, Emera pasti akan menemukan cara untuk pergi dari Jacques. Edith hanya ingin menyampaikan keinginannya sendiri; lari dari siapapun dan apa pun di dunia ini. Bahkan, lari dari tubuhnya sendiri.
“Kau selalu sebodoh itu, Sayang,” Emera merengkuh tangan sahabatnya. Keduanya diam untuk beberapa saat. “Tapi, baiklah, ayo.”
Edith tak ingin melepaskan genggaman yang hangat itu. Sesungguhnya, ia ingin selamanya berada pada posisi itu. Biarlah tak ada yang bangun untuk selamanya. Namun ia tahu, orang-orang bodoh di luar sana akan berpikir mereka gila, koma, bahkan mati. Ia tak ingin membunuh Emera; tak orang lain selain dirinya sendiri.
Keduanya larut dalam pembicaraan dan persekongkolan dan rencana-rencana. Sesekali tertawa dan menangis bersama dalam genggaman masing-masing.
***
Sepotong tangan terasa membelai-belai rambut hitam lebatnya dan mengecup ubun-ubunnya. Emera masih merasa berat untuk terjaga. Berat meninggalkan percakapan panjangnya dengan Edith yang lebih nyaman. Terlebih, karena ia tahu bahwa sepeninggalnya, Edith akan kembali masuk dalam kamar dingin dan kembali membeku oleh kehampaan hatinya. Padahal, selama satu jam terakhir Edith telah mengembangkan senyum meski hanya pada sudut bibir yang ditarik dengan susah payah.
Sampai Jacques kembali dari ritual mandinya yang panjang dan kembali menghempaskan tubuh di tempat tidur, Edith akhirnya bangun. Sebelum Jacques menyentuhnya, ia melingkarkan selimut tipis itu di sekeliling tubuhnya dan menghambur ke lemari lalu ke kamar mandi.
“Keparat!” teriak Edith yang keluar pakaian lengkap.
Jacques berang. Pulang-pulang dari pekerjaannya yang melelahkan, ia hanya berharap dihibur dengan tubuh Emera dan nafsunya terpuaskan.
“Kenapa lagi kau ini? Dasar perempuan gila. Kau jalang!” umpatnya.
Edith hanya tegak di depan pintu dan menatap tajam ke arah Jacques. Kalau bukan karena Emera, ia memang tak ada apa-apanya. Jacques tak bisa mengurus diri sendiri. Pekerjaannya sehari-hari hanya menghisap mariyuana dan menenggak bourbon, usai kalah berjudi, lalu makin banyak kehilangan uang karena haus perempuan. Maka, Jacques terlalu lemah dan hancur untuk melepaskan Emera.
“Ulangi sekali lagi,” sahut Edith datar.
Sedangkan Emera, sejak pertama bertemu Jacques di bar—saat pertama kali Edith frustrasi dan merasa mati, ia merasa damai. Malam itu hanya mereka habiskan untuk berbincang dan menceritakan kekacauan hidup masing-masing. Beberapa hari setelahnya mereka memutuskan tinggal bersama dan sama-sama memperbaiki diri.
Tak butuh waktu lama bagi Jacques meninggalkan segala pelariannya selama ini dan memalingkan semua energinya untuk Emera. Hidupnya jadi jauh lebih baik dan kekacauan berangsur padam.
Namun, Edith yang ditemuinya malam itu masih tetap gadis yang sama meski telah tiga tahun hidup dengannya. “Aku mau bunuh diri,” katanya sering kali. Edith, si gadis frustrasi dan tak terjangkau, cukup membuat Jacques kewalahan.
Kali ini ia tak tahan menghadapi gadis-gadisnya. Ia murka seberang-berangnya. Terlalu lelah untuk kemudian disulut percikan emosi hingga sejumput kemudian mengobar.
Kamar biru itu seketika dimurkainya. Segala barang diluluh-lantakkan oleh tangan-tangan kekarnya, ditendang dengan kaki-kaki besar yang tampak urat-urat birunya. Matanya merah.
Edith masih mematung dan hanya memperhatikan setiap detik kemarahan itu. Jangan hiraukan. Kali ini kau yang harus kuat. Ia mendengar Emera berbisik dalam kepalanya, dari atas kursi di ruang monokrom itu.
Sebenarnya, Jacques merasa tak sanggup memurkai gadisnya. Namun, ia tak tahan lagi. “Sebentar kau riang, tapi sedetik kemudian kau tak mau kusentuh. Kau ini sakit!” bentak Jacques tanpa bernapas di sela kata hingga terbatuk di akhir ucapannya.
Ia membanting pintu rumah dan meninggalkan semua yang dimilikinya di rumah itu; seluruh barang yang telah ia cicil kumpulkan dalam tiga tahun dan dua gadis yang dipuja sedalam-dalamnya.
***
Malam hari, Emera mendapati pemandangan kamar yang jauh berbeda dari terakhir kali memejam siang tadi. Namun, ia tak terkejut lagi. Edith telah menceritakan semua yang terjadi senja tadi. Segala yang ia lihat dan segala yang Emera dengar samar-samar dari kursinya.