Oleh: Sri Wahyuni Fatmawati P
Pernikahan adalah hak dasar manusia. Sekalipun yang menikah berbeda agama. Namun, Indonesia perlu cukup kuat menjaminnya.
Topik pernikahan beda agama kembali mencuat setelah alumni Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) perihal Undang-Undang (UU) Tahun 1974 tentang Perkawinan Nomor 1 Pasal 2. Isinya perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
Para penggugat—Anbar Jayadi, Rangga Sujud Widigda, Damian Agatha Yuvens, Varida Megawati Simarmata dan Luthfi Sahputra—menginginkan UU tersebut direvisi. Mereka beranggapan pernikahan tak lagi terpaku dengan nilai-nilai luhur agama dan kepercayaan tiap warga. Pun ini juga yang menyebabkan pernikahan beda agama tidak sah di mata hukum.
Pro dan kontra bertebaran. Ragam organisasi masyarakat (ormas) Islam mengecam kalau rujukan ini dikabulkan. Dianggap menyimpang, tak punya agama.
Namun, bukan tak ada yang sepakat. Sebagian ormas Kristen dan Buddha malah tak masalah. Dilansir dari Kompas.com, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) mengatakan mereka sebisa mungkin akan mengikuti UU yang ada. “Yang nikah kan orangnya, bukan agama,” kata Suhadi Sendjaja, Ketua Bidang Ajaran Walubi.
Kalau ditelisik, sebenarnya tak ada larangan pernikahan beda agama menurut hukum nasional.
UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 Tentang Perkawinan menyebutkan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Semua orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah begitu disebut pasal 28b ayat 1 UUD 1945.
Peneliti Human Right Watch (HRW), Andreas Harsono, dilansir dari Kompas.com mengatakan, UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 mengakibatkan diskriminasi terhadap pasangan beda agama. Menurutnya, pasal tersebut membuat warga yang ingin menikah beda agama harus mengorbankan agama dan kepercayaan demi mendapat status hukum yang sah.
Apalagi diperkuat dengan pasal 8f yang menyebutkan pernikahan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agama atau peraturan lain berlaku, dilarang nikah.
Pun salah satu prinsip dasar dalam pernikahan adalah kerelaan kedua orang yang terlibat dalam pernikahan. Ini sudah ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights.
Sebenarnya isi UU yang sama di pasal 6 ayat 1 menyebutkan, pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, sudah sesuai. Namun, bunyi pasal ini tak sejalan dengan pasal 2 ayat 1-nya.
Ini berhubungan juga dengan pencatatan pernikahan di Indonesia.
Pencatatan pernikahan dari mereka yang melangsungkan pernikahan menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat, sedangkan yang melangsungkan pernikahan selain agama Islam dicatat oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan di Kantor Catatan Sipil.
Ini tercantum di Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 2 ayat 1 dan 2.
Lembaga pernikahan non-Islam atau lembaga pernikahan di luar Kantor Urusan Agama (KUA), secara yuridis dianggap belum sah, karena itu pernikahan di luar KUA harus mencatatkan pernikahan di kantor Pencatatan Perkawinan.
Bagaimanapun UU ini menjadikan masyarakat Indonesia yang menikah beda agama tak punya pilihan. Sebenarnya punya, pertama, harus memilih siapa yang “berserah diri” menganut agama pasangannya. Kedua, melangsungkan pernikahan di luar negeri dan “merelakan” pernikahannya tak tercatat di Kantor Catatan Sipil.
Ini berarti tak ada payung hukum melindungi pernikahan mereka. Atau memilih memoduskan hukum dengan menjalankan pernikahan secara adat. Miris!
Ini penting diperhatikan karena pernikahan beda agama di Indonesia adalah permasalahan hukum. Sedangkan yang terjadi adalah penafsiran agama. Karena Indonesia bukan negara agama, yang menjadi acuan adalah hukum nasional.
Hukum nasional harus berdasarkan semboyan bangsa Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, semua pembentukan dan pembuatan hukum serta UU di Indonesia harus berdasarkan keragaman masyarakat Indonesia.
Apalagi, setiap warga negara berhak dijamin kebebasan beragama, keyakinan dan kepercayaan dengan jaminan keamanan dan perlindungan dari negara, disebut dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1. Itulah kenapa setiap pembuatan UU harus sudah mempertimbangkan negara untuk mempromosikan, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat.
Secara singkat, ada dua permasalahan HAM yang muncul akibat UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2. Pertama, sah atau tidaknya sebuah pernikahan beda agama. Kedua, pencatatan pernikahan beda agama.
Bagaimanapun, penolakan terhadap pernikahan beda agama baik dari segi pelaksanaan maupun pencatatan jelas bertentangan dan melanggar prinsip HAM, terutama hak beragama dan berkeluarga.
Sekarang, hanya satu yang harus dilakukan. Ialah, pemerintah harus merombak ulang regulasi negara ini berdasarkan HAM dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.