Oleh: Adinda Zahra Noviyanti
Pramoedya Ananta Toer bilang, “Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri,”
“Bubarlah kelen, buat macet,” bentak tukang becak pada massa aksi.
“Kami menyuarakan kalian Bapak tukang becak,” balas seorang mahasiswa.
Kutipan tersebut menunjukkan kondisi di mana ternyata rakyat yang diklaim mahasiswa sebagai perjuangannya tidak merasa terwakili. Apa yang sebenarnya terjadi pada pergerakan mahasiswa sebagai penyambung lidah masyarakat ?
Mahasiswa seyogyanya harus menjadi penyambung lidah rakyat. Dalam buku Gerakan Mahasiswa: Pilar Ke-5 Demokrasi, Hariman Siregar bahkan menyebutkan hal tersebut sebagai “kutukan”. Kaum muda terutama mahasiswa menjadi tumpuan sekaligus harapan bagi rakyat dalam memperbaiki tata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di negara-negara terjajah, pemuda dan mahasiswa hadir lebih awal untuk menolak ketidakadilan. Penjajahan yang berkepanjangan kerap menimbulkan rasa apatis dan ketakutan mengambil resiko oleh rakyat.
Di Indonesia sendiri sejarah membuktikan mahasiswa punya andil yang besar. Mulai dari gerakan perjuangan kemerdekaan yang diawali para mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) atau dikenal dengan sekolah untuk pendidikan dokter pribumi—sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tokoh nasional seperti Soekarno dan Muhammad Hatta juga memulai perjuangannya sejak berstatus mahasiswa.
Tak bisa dipungkiri, institusi pendidikan punya peran penting dalam menyumbang penyampai suara-suara rakyat. Paulo Fiere dalam buku Sekolah Kapitalisme yang Licik menyinggung mengenai institusi pendidikan menyumbang dua jenis kaum intelektual: intelektual organik dan intelektual akademik.
Kaum intelektual organik yang dimaksud Paul yang punya peran penting dalam menyampaikan suara rakyat. Sebab, mereka tidak sekadar belajar teoritis seperti intelektual akademik namum mereka punya kedekatan langsung dengan masyarakat dan mengetahui penderitaan rakyat.
Sayangnya, insting mahasiswa dalam meyampaikan suara masyarakat kian tergerus. Dan salah satu penyebabnya tidak terlepas dari sistem pendidikan itu sendiri saat ini. Mahasiswa dituntut untuk tamat dalam beberapa tahun saja—saat ini maksimal 7 tahun. Ini menyebabkan mahasiswa tidak lagi bergairah untuk mengikuti organisasi. Padahal, dalam organisasi lah, mahasiswa diberikan pemahaman dan turun langsung untuk mencari akar kemelaratan masyarakat.
Orientasi mahasiswa saat ini berpatok pada kuliah, indek prestasi kumulatif yang tinggi, agar cepat wisuda. Walhasil, suara-suara rakyat pun terabaikan oleh pendidikan mereka. Mahasiswa memang manyadari perannya di masyarakat sesuai dengan tridarma perguruan tinggi yaitu pengabdian masyarakat. Namun, secara tegas saya katakan pengabdian masyarakat dari mahasiswa sekadar formalitas untuk memenuhi nilai. Ya, memang pengabdian masyarakat bukan wadah untuk mendengarkan suara mereka.
Tidak hanya itu. demonstrasi kerap dijadikan wadah mahasiswa dalam meyampaikan aspirasinya kepada penguasa. Inilah yang akhirnya menjadi pagar. Mahasiswa saat ini sudah tidak semilitan terdahulu kita (mahasiswa—red). Kita tidak lagi kebal pada ancaman ‘diteror’, ‘diracun’, ‘diracun’, atau sekadar di-drop out karena menyampaikan kebenaran. Dan kita akan tetap terkurung dalam dunia perguruan tinggi jika tak berani besuara kawan.
Isu yang dibawakan oleh mahasiswa juga tak jarang yang berpotensi menjadi tunggangan partai politik. Bukannya menyampaikan aspirasi masyarakt malah demonstrasi mahasiswa menguntungkan oposisi. Sudah cukuplah berdemonstrasi karena ada partai politik di belakangmu. Sudah cukuplah berkoar ikut-ikutan karena uang Rp50.000 ataupun nasi bungkus.
Masih banyak suara rakyat yang harus kita analisis dan sampaikan pada penguasa. Perampasan lahan misalnya, pelanggaran hak asasi manusia yang tidak kunjung usai penangananya, ataupun masyarakat yang dibodoh-bodohi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sebagai penyambung lidah masyarakat harusnya kita mahasiswa lebih kritis. Analisis mendalam harus dilakukan untuk mendapat solusi atas masalah rakyat. Ingat! Itu bukan hanya tugas legistlatif dan eksekutif, mahasiswa juga punya peran penting.
Jangan turun ke jalan jika kalian tidak punya analisis tentang klaim membawa suara rakyat! Contoh pendahulu kita. Salah satunya, Tan Malaka. Ia memberikan analisis mendalam mengenai permasalahan negaranya. Lalu memberikan rancanagan program proletar di Indonesia. Meski hingga ajal menjemput, programnya tidak diterapkan. Setidaknya dia punya analisi mendalam. Ketimbang saat ini, mahasiswa turun ke jalan, minta presiden di turunkan. Tapi, ketika ditanya apakah ada solusi, jawabannya, “Kita pikirkan itu nanti”.
Ya, kita harus sadar wan-kawan, sebagai mahasiswa, harusnya kita lebih dekat pada rakyat, dengarkan suara mereka. Bukan tugas kita untuk mengabulkan suara-suara mereka namun tugas kita untuk menyampaikannya pada penguasa bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja. Kita tidak bisa sekadar mengharapka partai politik sebagai wadah aspirasi masyarakat.