BOPM Wacana

Menikmati Seks Sebagai Pembahasan Masa Kini

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi : Surya Artha Dua Simanjuntak

 

Oleh: Suratman

Memang benar semua telah berubah: adat istiadat, kebiasaan, budaya, bahkan hal-hal yang diangap tabu mulai diperbincangkan di khalayak ramai. Tak mau tertinggal seks diam-diam menyorot kepentingan ranah publik yang wajib untuk dibahas.

 Ranah publik sekonyong-konyongnya kini telah menyasar berbagai lini sudut kehidupan manusia. Dari halnya yang bersifat privasi menjadi ganyangan publik. Mengapa tidak, globalisasi sebagai arus utama perubahan gampangnya menenteng perbincangan di kamar tidur menjadi pembahasan ke rapat dewan.

Di arus utama globalisai pola-pola konsumtif masyarakat cenderung bercabang-cabang membentuk hal baru. Maka tak salah guna memenuhi konsumsi publik semua dilakukan agar kepuasaan tercapai.

Pada dasarnya, seks kini bukan sebatas kita berbicara nge-seks semata seperti masyarakat awam pikirkan. Lebih dari itu, Hendri Yulius seorang pakar gender, sexualitas, feminisme, sastra budaya, serta kajian pornografi dalam bukunya berjudul Coming Out mengatakan bahwa sex/sexualitas sangat berkaitan erat dengan konteks ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Cakupan yang luas menyangkut berbagai sektor jelas saja memengaruhi apa-apa yang sifatnya privasi harus dibuka selebar-lebarnya agar keran dapat mengalirkan kucuran informasi hingga menjadikannya sebuah regulasi. Tujuannya bukan semata kepentingan individu, tetapi ranah publik.

Pasalnya dewasa ini, ketabuan seks selayaknya benar-benar dibahas seserius mungkin. Mungkin hal ini akan sulit dimengerti dan dipahami oleh masyarakat yang sudah termanifestasi oleh doktrin normaltivitas dan normativitas. Wajar saja, dogma-dogma dari kepercayaan dan budaya terlebih di Indonesia terlalu kental dan kentara sekali hingga mendarah daging.

Pengantisipasiannya cukup pemahaman lalu pendekatan dan pembahasannya jangan sampai menimbulkan kerugian yang sifatnya pribadi. Karena selayaknya pembahasan ranah publik tentang ranah privasi harus tetap melihat aspek kenyamanan individu.

Mengingat dalam membahasa mengenai seks kita tentunya harus paham terlebih dahulu jika apa sebenarnya informasi yang dibutuhkan. Contohnya saja, publik tidak boleh mengikut campuri perihal orientasi seksual suatu individu. Tidak ikut campur dalam artian adanya pembatasan-pembatasan dalam memilih pilihan orientasi seksualnya. Sedangkan pembahasan publik menyoal orientasi seksual hanya boleh sebatas bagaimana cara melindungi, memberikan kenyamanan, agar individu-individu yang beragam orientasinya tetap terhindar dari penyakit dan terjamin atas keselamatan hidupnya.

Sebab orientasi seksual berbicara bagaimana cara individu atau kelompok menikmati kebutuhan seksualnya dengan caranya sendiri. Maka hal itu tidak boleh dibatasi dan digangu gugat. Pelanggaran terhadap individu berupa pembatasan orientasi seksual bisa dikatakan tindakan kriminalisasai dan pelanggaran hak asasi manusia. Ini sama juga dengan bagaimana individu bebas memilih dan menjalankan ibadahnya.

Oleh karena itu, Jeffrey Weeks dalam bukunya yang berjudul Sexuality mengutip dari sejarawan sekaligus filsuf kenamaan Perancis Michael Foucalt memetakan seks/seksualitas menjadi dua bagian.  Pertama, subjektivitas kita terkait dengan apa dan siapa kita. Dari sini, penggambarannya jelas bahwa apa yang mau diperbincangkan benar-benar harus mengerti siapa dan sejauh apa kita membutuhkan tentang kebutuhan tersebut untuk dipahami.

Memang dalam arus globalisasi keran air semestinya dibuka selebar-lebarnya agar informasi dapat dinikmati dan didapat dengan mudah. Tetapi penyebar informasi juga harus paham mengenai kebutuhan yang akan disebarkan. Dan jangan sampai mengalirkan informasi berakibat merugikan pribadi individu demi memuaskan kebutuhan beberapa pihak saja. Tidak hanya menyoal penyebaran informasinya saja, regulasi kebijakan yang dicetuskan demikian tidak boeh ada ketimpangan dan kepentingan.

Kedua, pertumbuhan masa mendatang (future growth), kesehatan, kesejahteraan, dan kemajuan populasi secara keseluruhan. Jika sampai sekarang dan kedepannya pembahasan seks masih ditabukan tentu dampaknya sangat fatal. Ekonomi, sosial budaya, politik, hukum maupun lainnya akan mengalami dampak buruk jika ketabuan seks dijunjung tingi.

Dalam bidang kesehatan, pembahasan seks dilakukan guna untuk pembuatan prosedur atau untuk  menginisiasi masyarakat agar paham bagaimana seks yang tidak terjaga dan terkontrol berakibat penyakit bahkan kematian.

Kelanjutannya tidak hanya itu, perihal kesejahteraan dan kemajuan populasi secara keseluruhan sekelumit masalah pelik harus ditentaskan. Adanya program keluarga berencana (KB) contohnya,  pengaturan seks di sini dilakukan bukan untuk pelarangan orang melakukan hubungan badan tetapi bagaimana dari aktivitas seks tersebut tidak menimbulkan pertumbuhan penduduk meningkat.

Maka dari itu, kebisuan atas pembahasan seks tidaklah mungkin dibatasi dan ditabukan secara berkelanjutan. Sebab seks dibahas untuk merumuskan regulasi kebijakan, informasi yang berdampak baik, mengedukasi dan menginisiasi masyarakat demi kepentingan segala pihak.

Karena seks bukan semata  tentang desahan di ranjang dan kenikmatan area selangkangan saja!

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik Stambuk 2015. Saat ini Suratman menjabat sebagai Bendahara Umum dan Kepala Litbang SUARA USU.
Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4