
Oleh: Dinar Fazira Fitri
USU, wacana.org – Praktisi Kementerian Sosial (Kemensos) RI, Ade Zul Affandi, menguraikan skema program penanganan kemiskinan oleh pemerintah. Hal ini dipaparkannya dalam kuliah umum yang digelar oleh Ikatan Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial (IMIKS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Kegiatan dengan tema “Menimbang Etika, Efektivitas, dan Kemanusiaan dalam Kebijakan Publik” ini berlangsung di Ruang Teater FISIP USU.
Ade Zul Affandi, pada Selasa (27/05/2025), memaparkan materi tentang “Kebijakan Penanganan Kemiskinan”. Ia membandingkan data jumlah penduduk miskin menurut World Bank 2025 dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. “Orang yang berhak mendapatkan penanganan adalah fakir miskin, yaitu seseorang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian ataupun punya tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi dirinya dan keluarga,” jelasnya.
Ia juga menguraikan linimasa skema program penanganan kemiskinan yang digagas oleh kementerian yang berbeda. Dijelaskan, terdapat tiga program atau implementasi dari kebijakan penanganan kemiskinan tersebut. “Salah satunya program Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Masyarakat yang termasuk miskin tadi, diberi bantuan sebagai modal usaha atau sumber daya. Dalam satu kelompok yang berisi 10 Keluarga Penerima Manfaat (KPM), setiap orang mendapat bantuan sebesar Rp2 juta rupiah,” jelas Ade.
Setelah berakhirnya masa KUBE, program berubah nama menjadi Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan kemudian berubah lagi menjadi Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Disayangkan, saat audit ke masyarakat, pernah ditemukan bantuan tersebut bukan dimanfaatkan untuk membeli sembako. “Tetapi justru untuk membeli sampo, sabun, bahkan rokok. Maka pastinya dilakukan evaluasi kebijakan sosial-ekonomi untuk memastikan program pemerintah tepat sasaran, efektif, efisien, dan akuntabel,” sampai Ade.
Akademisi FISIP USU, Bengkel Ginting, melanjutkan materi dengan topik “Kemiskinan dan Pekerja Sosial”. Ia menyatakan angka-angka statistik sebenarnya sering dijadikan alat propaganda, karena ukuran kemiskinan masih saling bertolak belakang jika mengikuti World Bank maupun BPS. Bengkel menegaskan, program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah memang harus dipetakan.
Menurutnya, yang menjadi persoalan sekarang adalah etika dan pemerataan, sehingga ini akan menjadi tugas Sarjana Kesejahteraan Sosial jika nantinya terlibat dalam pemerintahan. “Mereka akan sangat terampil melakukan mendampingan program dengan melakukan pemetaan atau diagnosis, sehingga dalam implementasi akan tepat sasaran,” pungkas Bengkel.