BOPM Wacana

Potret Kenangan

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Yael Stefany Sinaga

 

Oleh : Yael Stefany Sinaga

Aku pikir semua baik-baik saja. Tanpa berkata banyak semua akan selesai. Ternyata tidak. Aku salah. Atau mungkin dia yang salah. Atau kami yang tak peduli. Awalnya manusia biadab itu. Semuanya jadi seperti ini.

****

Terdiri dari dua puluh empat kepala dalam satu komunitas yang didirikan sejak enam tahun yang lalu. Dengan mayoritas gadis dara nan elok rupawannya, sedangkan kaum jantan hanya seperempat bagiannya. Namanya juga zaman emansipasi wanita.

Sama rasa sama rata. Bisa dibilang ini hukum utama yang selalu menjadi perpegangan. Tak peduli kau dari bangsa mana, tak peduli dari keluarga konglomerat, kau tetap manusia. Semua punya hak yang sama.

We, dimana si Nia?” tanyaku saat aku turun dari sepeda motor.

Orang-orang yang lagi makan saksang melihat sana kemari mencari wujud yang kusebutkan namanya. Tak ada. Semua bingung. Sudah beberapa kali terjadi yang seperti ini.

“Daritadi  gak ada kami lihat dia disini,” kawanku paling culas menyahut.

“Alah, paling sama pangeran kudanya beli kebutuhan sehari-hari,” kutimpal dengan muka menjilat bokong.

“Mulutmu. Pikir pakai otak kalau mau ngomong. Di dengar dia mampus lah,” teriak salah satu kawanku bertubuh subur dan montok.

Sejak dua minggu yang lalu, makin risih aku melihat tingkah laku kawan perempuanku. Awalnya kupikir biasa saja, tapi semakin menjadi-jadi rasanya. Bayangkan saja, kemarin kulihat mereka berciuman mesra di semak-semak ujung jalan. Saat itu aku hendak membeli nasi goreng tempat langgananku.

Parahnya, si lelaki merangkul dengan penuh mesra seakan dunia milik berdua. Tak tanggung-tangung, tangannya liar menjalar, menjamah mulai dari perut hingga buah dada.   Mau muntah rasanya. Seketika bulu kudukku merinding hebat memikir ulang peristiwa itu.

“Kau kenapa?”

“Lama-lama aku aneh melihat tingkah laku kawan kita. Selalu si Nia berdua dengan si Andre. Kurasa udah dipegang-pegang dia.”

“Mulutmu. Kau memang enggak pernah pakai otak kalau ngomong. Kalau enggak ada bukti mending gak usah ngomong lah.”

“Kemarin kulihat mereka ciuman di semak-semak ujung jalan sambil rangkul-rangkulan mesra,”

Kuulang lagi peristiwa najis itu. Tanpa kusadari kubuka aib orang di depan umum. Beginilah kalau aku sedang kesal. Mulut sendiri tak bisa kutahan ucapannya. Tapi mau bagaimana lagi.

“Ah, serius kau? Bahaya kalau ngomong tanpa ada bukti. Kena pidana nanti kau,” sahut kawanku terkejut dan tidak percaya dengan ujaranku.

“Ya sudah kalau kalian gak percaya.”

Udah, balek lah kita. Daripada ngomongin orang mending tidur dirumah.”

Aku dibonceng kawanku, Sarah pulang kerumah dengan sepeda motor. Tapi diriku masih saja kesal. Selama perjalanan aku masih tak habis pikir. Kenapa orang-orang tak membenarkan. Jelas-jelas kulihat dua mahluk menjijikkan itu rangkul-rangkulan sambil ciuman. Bangsat. Seperti tak diajarin saja mereka. Mulutku tak berhenti mengumpat

Udah lah gak usah kau pikirkan kali. Kalau yang kau bilang itu benar, pasti orang-orang kita lambat laun sadar,” ujarnya memecah keasyikanku yang sedari tadi hanya memaki saja.

Aku hanya diam saja. Lelah sekali rasanya. Toh tetap gak ada yang percaya. Ya sudahlah. Capek.

Seperti biasa, setiap malam minggu kami berkumpul sekadar melepas penat dengan aktivitas masing-masing. Biasanya kami bergilir kerumah-rumah untuk tempat persinggahan. Kali ini rumah Feri yang menjadi giliran.

Tttttiiiiiiinnnnnnnnnn………………………………… tttttiiiiiiiiiiinnnnnnn………………….

Suara klekson motor bergantian membuat keributan di gang tersebut. Sampai-sampai kami di maki seorang bapak yang lagi duduk di lapo tua yang tak jauh dari rumah kawan kami.

“Woi, jangan buat ribut kalian disini. Kalian pikir ini rumah nenek moyang kalian. Kayak gak diajarin kalian. Kimak,” teriak bapak itu dengan muka garang.

“Oke, Pak. Minta maaf kami sekeluarga,”

Dan bodohnya sudah di maki seperti itu pun kami hanya ketawa saja seperti tak terjadi apa-apa. Dasar tidak tahu diri.

“Syalom, Feri, Feri, Feri,” panggil kami bersahutan.

Hampir lima menit kira-kira kami memanggil sang tuan rumah. Akhirnya keluarlah sosok pria tinggi, kurus, dan hitam dari dalam rumah. Dia lah Feri sang empunya rumah. Dengan celana boxer kotak-kotak serta kaus oblong berwarna putih, ia membuka gerbang rumah dan mempersilahkan kami masuk ke singgahsananya.

Kami masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Tak asing lagi bagi kami untuk masuk ke dalam rumah tanpa ijin sang pemilik. Sudah seperti rumah sendiri.

Tiba-tiba seorang ibu separuh baya datang menghampiri kami. Beliau Ibunya Feri.

“Eh, kalian. Sudah makan? Mau minum apa?”

“Aduh, Inanguda –panggilan dalam bahasa batak toba– gak usah repot kali. Bisa kami ambil sendiri di dapur nanti,” jawab kawan perempuanku, Sarah.

”Betul nih? Ya sudah. Jangan sungkan kalian ya. Anggap saja rumah sendiri.”

Ibu Feri pun pergi dan masuk ke dalam kamar tidur. Begitulah beliau. Sangat ramah. Dianggapnya kami seperti anaknya sendiri.

Sebagian dari kami pun pergi ke dapur untuk membuat minuman dan mengambil cemilan untuk dihidangkan. Seperti dalam adat batak toba, ini menjadi tugas kaum perempuan. Setinggi apapun perempuan bersekolah pada akhirnya akan ke dapur juga. Begitulah filosofi perempuan yang selalu kuingat.

Kami yang tinggal di ruang tamu memulai pembicaraan hangat. Inilah kesempatan kami untuk saling berbagi cerita yang kami alami selama seminggu beraktivitas. Mulai dari masalah kuliah, keluarga, teman sampai ngomongin anak orang. Ini memang tabiat kami.

Tiba-tiba handphone aku  berdering.

Kring………… kring…………. kring…………

Aku rogoh tas sandangku. Kuambil handphone dan kulihat gerangan yang menelepon. Nomor baru.

“Halo.”

Ku dengar suara perempuan menangis terisak-isak. Suaranya tak jelas. Samar-samar ku dengar juga suara lelaki yang menangis.

“Halo, ini dengan siapa?”

“Halo, Nak. Ini mamanya Nia,” jawabnya sambil terisak-isak menahan tangis.

“Oh, ada apa bou –panggilan dalam bahasa batak toba– bou kenapa menangis?”

“Nia, Nak. Nia meninggal,”

Aku terdiam. Jantungku seketika lemas. Air mata pun mengalir di kedua pipiku. Masih ku dengar Ibu Nia menangis sejadi-jadinya. Pikiranku berkecamuk.

“Putri, kau kenapa? Kok kau nangis? Siapa yang menelepon?” tanya Feri bingung.

“Nia. Dia udah pergi meninggalkan kita semua. Selamanya.”

Banyak orang berkunjung di dalam rumah. Semua serba hitam. Tandanya sedang berkabung. Kami masuk dan melihat jasad kawan kami yang terkujur kaku. Tangis kami pun pecah.

Nia bunuh diri. Bou yang lihat pertama kali di dalam kamar mandi. Dari mulut keluar banyak busa. Mungkin overdosis. Dia stress karena dia hamil. Apalagi lelaki biadab itu tak mau bertanggung jawab. Mau mati saja rasanya.

    Kalimat itu selalu terngiang di kepalaku. Tak kusangka kawanku akan melakukan hal seperti itu. Tak hentinya aku memanjatkan doa untuk ketenangannya. Ku taburkan bunga kembang di atas tanah yang masih basah itu. Air mataku mengalir lagi. Kawan-kawan yang lain memelukku. Kami menyatu dalam kesedihan.

Selamat tinggal Nia. Kau sudah tenang disana. Percayalah kau akan mendapat tempat yang paling indah. Maafkan aku. Maafkan kami.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4