Oleh: Retno Andriani
Laki-laki itu tak punya uang lain selain selembar uang sepuluh ribu dan dua lembar uang dua ribu. Kota kecil ini masih asing saja. Padahal, ia tahu beberapa kilometer dari sini jurang dan hutan ada. Bukan berarti ia Tarzan meski penampilan sama, tapi jalan untuk pulang ada di sana. Itulah sebabnya bagaimanapun caranya, ia harus tetap ke sana. Secepatnya, selamanya, meninggalkan kota sialan ini tentunya.
Ia terpisah dari rombongan ketika polisi memburu mereka. Kurang ajar sekali polisi-polisi itu! Mereka tak tahu apa masalah tiba-tiba diburu begitu saja. Sial dan bodohnya, mereka lari pontang-panting. Bukankah justru menambah kecurigaan aparat berseragam itu?
Entah bagaimana akhirnya hanya laki-laki itu saja yang tertangkap. Kelima kawannya tak tunjukkan batang hidungnya. Ia terpaksa diam saja ketika diseret dengan paksa meski kakinya menendang entah ke mana. Lututnya berdarah, keningnya ungu, air liur keparat menghiasi rambutnya yang gondrong.
Sampai di kantor yang banyak polisi-polisi cantik, ia ditelanjangi. Memalukan sekali! Waktu itu yang tertinggal hanya celana dalam. Warna merah jambu pula! Bertambah jatuhlah harga dirinya sebagai laki-laki sejati.
Setelah dipermalukan seperti itu, barulah ia tahu perkara apa sebenarnya. Ia tertuduh sebagai pengguna dan pengedar narkoba.
***
Setelah menunggu cukup lama, dari pagi hingga subuh lagi, akhirnya ada truk sayur yang bersedia ia tumpangi. Truk sayur itu dikendarai sepasang suami-istri. Mereka bilang sekarang sedang musim paceklik. Sayur mereka sedikit sehingga masih ada ruang untuk laki-laki itu di gerobak truk mereka.
Sebenarnya laki-laki itu tak perlu cerita-cerita paceklik dan sebagainya. Sebab dirinya sudah cukup paceklik sejak lama.
Lagipula, aneh sekali sepasang suami-istri ini. Mereka datang dari kota membawa sayuran yang entah akan dibawa ke mana. Pun, sayuran ini dari mana?
Tapi ini tak jadi persoalan khusus lagi bagi laki-laki itu. Yang terpenting ia bisa pulang dengan aman dan sedikit nyaman. Meskipun aroma kol busuk masih saja menggoyangkan bulu hidungnya.
Truk yang ia tumpangi sangat lamban sekali. Mereka kini berjalan menjauhi matahari yang bergulir mendekati barat. Langit sudah mulai remang, mereka sudah beberapa jam dikelilingi hutan. Laki-laki itu sudah berkali bangun, berkali pun tidur. Tapi tetap saja truk yang ia tumpangi berjalan lambat.
Lantaran bosan, laki-laki itu kembali memikirkan betapa malang nasibnya. Bersama kelima sahabatnya dari kampung, mereka nekat merantau ke tanah lain. Mereka berniat membuka hutan dan menjadikannya lahan. Tapi ternyata mereka salah terka. Hutan yang hendak dibuka bertanah rawa. Alhasil, mereka cuma belajar bertahan hidup di tengah belantara.
Bermacam hal sudah dilakukan. Menangkap ikan tanpa jala, tidur di atas pohon, sampai yang terparah; makan daging yang kata Darwin merupakan kerabat manusia. Menjijikan!
Sungguh, laki-laki itu merasa hidupnya lah yang paling sial. Tapi perasaan itu hanya ada sebelum rombongan laki-laki berlumuran darah menghadang truk yang ia tumpangi. Semenjak itu perasaannya berubah.
***
Si Istri histeris, si Suami terpaku, dan laki-laki itu membisu. Rombongan itu terdiri dari enam orang laki-laki. Dua lainnya terikat di kayu-kayu sebesar lengan yang dibentuk serupa tandu. Seorang di antara keduanya seperti batu; diam dan kaku. Sementara keempat yang lain berwajah pucat.
Laki-laki itu tetap di gerobak. Ia tak mau ikut nimbrung pada pembicaraan mereka—suami-istri dan rombongan itu. Mereka seperti melakukan negosiasi. Berkali-kali si Suami menggelengkan kepala. Berulang kali rombongan itu menjelaskan. Si Istri tampaknya mulai menyerah, ia masuk lagi ke dalam mobil. Si Suami juga begitu. Samar-samar laki-laki itu melihat si Suami mengangguk kecil.
Seketika rombongan itu mulai mengangkat dua tandu yang tadi diletakkan di pinggir jalan. Mereka membawanya menuju truk. Laki-laki itu terkejut.
Tak salah lagi, sekarang laki-laki itu tak sendirian sepanjang perjalanan. Ia akan ditemani enam orang penumpang baru. Empat orang yang berwajah pucat, seorang yang entah bernyawa atau tidak, dan satu lagi… seorang mayat.
Sepanjang perjalanan mereka hanya bungkam. Mereka tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Tak seorang pun dari mereka yang tampak bersemangat. Padahal pemandangan di sekitar mereka sungguh memikat; bukit-bukit hijau dan jurang-jurang yang gelap.
“Kau tahu tidak…” salah satu dari rombongan itu memecah keheningan. “Kami datang dari jauh, meninggalkan kampung untuk menebang hutan dan menjadikannya lahan. Kami membayangkan seandainya hutan yang kami tebang bisa kami jual kepada orang yang belum punya lapak untuk membangun rumah mereka atau orang miskin yang membutuhkan tanah untuk menanam saham. Haha.. kami akan kaya. Tapi, nyatanya yang terjadi sangat menyedihkan. Bukan kami yang menebang pohon, leher teman kami yang ditebang pohon.”
Laki-laki itu terperangah. Mirip sekali dengan kisah ia dan kelima kawannya. Hanya saja ia lebih beruntung, setidaknya bukan mati konyol seperti mayat itu. Bagaimana mungkin pohon bisa memegang gergaji?
Laki-laki itu tidak menjawab barang sepatah kata pun. Ia bukan wartawan yang lantas dengan mudah bisa meluncurkan pertanyaan jitu, ia hanya membisu. Laki-laki itu menatap orang yang baru saja berbicara. Alisnya hampir menyatu.
“Ya, kau pasti tak akan percaya. Sulit dipercaya memang. Aku pun sebenarnya tak ingin percaya,” orang itu melanjutkan kata-katanya. “Dia—si mayat—waktu itu ingin menebang pohon kedondong yang buahnya lumayan lebat. Waktu itu mungkin sedang zuhur. Tak ada kumandang yang terdengar memang, tapi matahari tepat di atas kepala. Kami sudah memperingatkan; tak baik bekerja di waktu salat. Tapi mereka—dua orang yang terikat di tandu—ngeyel, mereka tetap ngotot untuk menebang pohon itu. Entah bagaimana jadinya, tiba-tiba terdengar suara teriakan dan derit batang pohon yang patah. Kami hanya mendapati teman kami yang mati seketika dengan leher yang hampir lepas, dan teman kami satu lagi yang pingsan seperti hampir kehabisan napas.”
Demi apa pun, laki-laki itu merinding. Nyaris tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan peristiwa itu. Mau dikata kejam, toh pelakunya hanya pohon.
Sepanjang perjalanan, hanya itu percakapan mereka. Bukan, bukan percakapan; hanya monolog saja. Selanjutnya mereka diselimuti perasaan masing-masing. Berkali-kali laki-laki itu menyebut nama Tuhan, berkali-kali ia memuji syukur—di dalam hati.
Truk itu masih berjalan lamban. Mimpi buruk bagi suami-istri, sayuran mereka bau darah. Mungkin mereka tak jadi menjual sayuran itu. Mereka akan mengantarkan para penumpangnya ke tempat tujuan. Duh, betapa mimpi buruk itu mengundang burung gagak berkoak-koak.