BOPM Wacana

Penggugatan Konsep PEMA

Dark Mode | Moda Gelap

Konsep Pemerintahan Mahasiswa (Pema) sebenarnya mengandung makna yang kontradiksi. Pertama, pemerintahan kita maknai dengan lazimnya sebagai organisasi yang mampu menyelenggarakan hajat hidup basis konstituennya. Sedangkan Pema, sejatinya tidak pernah melakukan fungsi-fungsi demikian. Pema hanya melakukan fungsi-fungsi perlindungan, pendampingan atau advokasi terhadap kepentingan anggota-anggotanya, yakni mahasiswa. Penyelenggaraan hajat hidup mahasiswa secara keseluruhan lebih diperankan oleh Fakultas atau Universitas sebagai penyelenggara pendidikan. Jadi, kata pemerintahan lebih tepat diarahkan pada dua organisasi besar itu, Universitas atau Fakultas sebagai sub organisasinya.

Kedua, sangatlah kontradiktif bila Pema masih bergantung pada otoritas struktural di atasnya, yakni universitas dan atau fakultas sebagai sub bagian yang berkesinambungan. Ketergantungan ini bukan hanya pada titik legal-formal, melainkan sampai pada ranah infrastruktur organisasi. Kontradiksi di atas tentunya berimplikasi pada pola relasi yang dibangun antara Pema dengan universitas dan atau fakultas. Pola relasinya menjadi ambigu. Satu sisi Pema mambutuhkan universitas atau fakultas untuk keberadaannya. Pada sisi yang lain, Pema mendudukkannya dalam hubungan vis-a-vis. Dalam analogi umum, kita sebut pola relasi demikian sebagai ‘benci tapi cinta’ atau sebaliknya.

Opini ini sendiri sebenarnya berangkat dari ambivalensi pola relasi. Lantas, pada titik yang lain berusaha mengajukan terminologi yang lebih tepat untuk digunakan dalam konteks keorganisasian atau lebih jauh, gerakan mahasiswa agar tidak berada pada posisi yang ambivalen dan seakan tidak konsisten itu. Pema dalam tulisan ini mengacu secara khusus pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau istilah sejenisnya. Pada sisi lain, Lembaga Mahasiswa secara luas mengacu pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau sejenisnya dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau sejenisnya.

Dalam pembentukannya, Pema  khususnya Pema FE USU dilandasi oleh semangat keberpihakan terhadap mahasiswa. Keberpihakan yang dimaksud adalah keberpihakan yang proporsional bukan keberpihakan yang membabi-buta. Secara historis Pema lahir dari sebuah kondisi keprihatinan terhadap unsur represifitas dan dominasi negara yang semakin kental. Meskipun terjadi dengan cara-cara laten dan tersublimasi terhadap entitas mahasiswa itu sendiri. Dominasi ini menjadi signifikan mengingat bahwa mahasiswa merupakan kelas menengah masyarakat yang berpotensi melakukan perubahan sosial. Tidak salah jika untuk mengapresiasi entitas ini sebutan agent of change, agent of study dan agent of control yang sering disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Mengkaji Pema, secara historis juga tidak dapat dilupakan sejarah Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang lahir di masa Soeharto dan masih berlaku hingga saat ini. Tragika NKK/BKK secara etimologis merupakan perseturuan antara klaim kebebas-nilaian ilmu pengetahuan dan kebernilaian ilmu pengetahuan pada sisi yang lain. Ditumpangi jaring kuasa saat itu, NKK/BKK dikeluarkan sebagai bentuk menara gading para mahasiswa dari realitas kehidupan. Mahasiswa dilarang melakukan tindakan-tindakan politis, dalam konteks awal lahirnya, mahasiswa dilarang melakukan kritik terhadap pemerintahan atau negara. Pada sisi yang lain, seruan mahasiswa agar ‘kembali ke kampus’, belajar sebagaimana mestinya seorang siswa terjadi secara progresif. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, dibentuklah Badan Koordinasi Kampus (BKK) yang isinya adalah lembaga-lembaga mahasiswa bentukan negara (dalam praktiknya dilakukan oleh Universitas dan atau Fakultas). Lembaga-lembaga tersebut tentu saja lembaga mahasiswa yang telah disekularisasi dari kehidupan nyata. Lembaga itu hanya berada pada wilayah artikulasi minat dan mahasiswa, tidak lebih dan tidak kurang. Meskipun, pada kenyataannya, beberapa lembaga mahasiswa tertentu sudah melakukan ideologisasi lembaga menjadi alat perjuangan.

Lahirnya lembaga mahasiswa resmi ini pada akhirnya telah mengebiri hak-hak politik mahasiswa untuk melakukan kritik terhadap jalannya pemerintahan. Tidak heran, jika di masa awal, banyak mahasiswa memilih gerakan mahasiswa di luar kampus untuk menyalurkan bakat terpendamnya. Sebutlah GMNI, HMI, PMII, KAMMI, PMKRI, Gema Pembebasan dan lain-lain, sebagai wadah artikulasi politik dan perjuangan mahasiswa. Sekulerisme menjadi semakin nyata, antara lembaga intra-kampus dan pada sisi yang lain, lembaga ekstra kampus.

Dalam wadah lembaga ekstra-kampus, mahasiswa dapat berteriak nyaring dalam menyuarakan aspirasinya (mahasiswa atau masyarakat luas). Sedangkan di dalam lembaga intra-kampus, mahasiswa harus tunduk pada aturan di atasnya. Dipaksa menyesuaikan dengan kondisi yang dimaklumatkan. Mungkin, bila penjabaran ini tepat, mahasiswa yang mengalami dua pengalaman ini sekaligus (aktif di lembaga intra dan ekstra kampus pada saat yang bersamaan) akan mengalami double personality. Bisa dikatakan, dari dua kepribadian itu, kepribadian untuk melakukan kritik,counter hegemoni dan sejenisnya adalah kepribadian yang lebih dominan. Kepribadian ini mengalahkan ketundukan, kepatuhan, ketaatan pada otoritas negara melalui Universitas.

Lantas apa relevansi double personality ini bagi Pema? Saya sudah menyinggung pola relasi yang dibangun antara Pema dengan Universitas cenderung ambivalen dan inkonsisten. Satu sisi Pema mengakui adanya otoritas di atasnya, pada sisi yang lain dengan adanya frasa Pema, lembaga mahasiswa mengalami kompleks psikologis yang mendua, ia ingin memisahkan diri dari Universitas. Tentu saja hal ini menjadi sangat ambivalen bahkan kurang tepat bila Pema kita maknai sebagai pemerintahan yang mampu menyelenggarakan segala kebutuhan basis konstituennya.

Alih-alih untuk melindungi, mendampingi basis konstituennya, Pema justru mendapat resistensi dari mahasiswa itu sendiri. Kecenderungan untuk melakukan resistensi menjadi mungkin ketika kita melihat pola hubungan pemerintahan lebih bersifat struktural. Secara sederhana, frasa Pema mengandalkan adanya pemimpin yang memerintah dengan massa yang diperintah. Artinya, dalam konteks ontologisnya, Pema memang kontradiktif, ia tidak mampu melampai apa-apa yang ia suarakan. Pada praktiknya, Pema menjadi lebih disibukan untuk mengatasi polemik di aras mahasiswa daripada menyalurkan atau melindungi kepentingan-kepentingan mahasiswa itu sendiri.

Menurut pengamatan saya, konsep ‘Pemerintahan Mahasiswa’ perlu ditinjau ulang. Hal ini berdasar eksplorasi di atas, baik secara akademis, rasional dan logis dapat dipertanggungjawabkan. Pemetaan saya berdasar kerangka sistemik di atas menemukan bahwa konsep Pema lebih tepat diganti dengan ‘Serikat Mahasiswa’.

Dalam pengamatan saya, kategori yang lebih tepat untuk dilekatkan pada fungsi-fungsi Pema adalah fungsi Serikat Mahasiswa. Pertama, bahwa adanya Serikat Mahasiswa berangkat dari kerangka keberpihakan terhadap basis konstituennya. Serikat Mahasiswa tidak menyelenggarakan pemerintahan, ia justru mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan asumsi berjalannya pemerintahan baik-buruknya akan berpengaruh pada terwujud-tidaknya kebutuhan-kepentingan basis konstituennya. Layaknya di sebuah sistem usaha, serikat pekerja tidak menyelenggarakan manajemen usaha. Fungsi itu sudah diselenggarakan oleh pihak manajemen atau manajerial terkait. Kedua, Serikat Mahasiswa mengandung pesan bahwa lembaga ini segaris dengan massa. Tidak menguasai mahasiswa, melainkan bergerak bersama untuk mengartikulasikan aspirasi-aspirasinya. Fungsi-fungsi pemberdayaan secara ontologis tidak bermasalah dengan fungsi struktural yang harus ia jalankan. Ketiga, konsep Serikat Mahasiswa akan menjawab masalah double personality yang saya ajukan. Ketika berada di luar kampus, mahasiswa dengan mudah menyuarakan aspirasi-aspirasinya. Saat berada di dalam kampus, kondisinya akan cenderung sama. Ia adalah organisasi non pemerintah yang berfungsi menyuarakan aspirasi-aspirasi anggotanya. Sehingga, konsep serikat Mahasiswa jika kita jeli akan menghancurkan logika NKK/BKK itu sendiri.

Pada titik pendekatan, Serikat Mahasiswa adalah lembaga yang berdiri dengan logika bottom up (dari bawah ke atas). Berbeda dengan konsep Pemerintahan Mahasiswa yang menggunakan model pendekatan top down(dari atas ke bawah). Serikat Mahasiswa universitas mungkin ada dengan disusun dari seluruh Serikat Mahasiswa Fakultas. Dan Serikat Mahasiswa fakultas disusun dari seluruh Serikat Mahasiswa Jurusan. Fungsi kontrol atau check and balance berangkat dari Serikat Mahasiswa paling bawah, dan bergerak naik ke atasnya (tingkat universitas).

Adanya Kelompok Aspirasi Mahasiswa (KAM), mengisyaratkan satu hal, bahwa di tingkatan mahasiswa telah terjadi perebutan kuasa atas suatu lembaga. Ketika kita disibukkan dengan perebutan kuasa, saat itulah kita lupa untuk apa sejatinya lembaga mahasiswa ada (raison d’etre). KAM itu sendiri adalah adalah konsep teknis dari Pema.

Terakhir, usaha pencurahan pemikiran secara sungguh-sungguh meskipun pada akhirnya berakhir dengan cacat di sana-sini merupakan usaha dengan itikad baik yang harus dilakukan manusia. Untuk itu saya berharap agar tulisan ini dapat diapresiasi dengan baik melalui kritik-saran guna penyempurnaan konsep ‘Serikat Mahasiswa’ itu sendiri.

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen angkatan 2009

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus