BOPM Wacana

Pemilu USU, Semoga Tak Hanya Pepesan Kosong

Dark Mode | Moda Gelap

Sejak pertama kali menjejakkan kaki di USU sebagai mahasiswa, saya tak pernah merasakan peran signifikan adanya Pemerintahan Mahasiswa (Pema) USU.  Saya masuk Agustus 2007 dan saat itu pema di bawah kepemimpinan Aulia Rahman sudah mulai vakum menjelang masa berakhir.

Tahun 2008 pemilu yang pada waktu itu masih bernama pemira (pemilihan umum raya) digelar untuk memilih pengganti Aulia. Hasilnya? Terjadi dualisme kepemimpinan. Majelis Mahasiswa Universitas (MMU) melantik Diki Altrika sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) melantik Fritjen Harianja. Presiden tak jelas, KPU justru diduga “bermain” dengan dana pemilu yang digelontorkan rektorat (Tabloid SUARA USU Edisi 66). Belum genap setahun, Diki memilih wisuda dan Fritjen di-DO.

Setelah hampir dua tahun terjadi kekosongan pemerintahan di USU, Tahun 2010 pemilu kembali digelar. Lima pasangan bersaing. Namun kursi presiden USU tetap kosong. KPU sebenarnya sudah menetapkan MMU dan presiden. Kali ini KPU dan MMU satu suara untuk melantik Paidi. Namun usai dilantik ia justru tak mendapatkan legitimasinya. Salah satu pasangan calon yakni Herianto Sihotang–Marthin Fernando Siahaan serta pema sekawasan tak terima pelantikan itu. Rektorat pun bersikap mendua, mengakui Paidi tapi juga mengakomodir keinginan pema sekawasan untuk menetapkan status quo dan menggelar pemilu ulang.

Lalu apakah Paidi dihitung sebagai Presiden USU? Sahkah pelantikannya? Kelompok Aspirasi Mahasiswa (KAM) Rabbani yang mengusungnya lebih memilih untuk mengikuti pemilu ulang itu daripada mempertahankan legitimasinya. Bersikap senada dengan pema sekawasan tentu sama saja dengan tidak mengakui Paidi sebagai Presma USU.

Rabu, 4 Mei 2011 Pemilu USU kembali akan digelar. Pemilu kali ini sebenarnya pemilu ulangan dari 2010 lalu karena dianggap tidak menghasilkan apa-apa. Jika ditotal berarti hampir empat tahun kita kehilangan fungsi dan peran Pema USU. Rektorat senang, mahasiswa menjadi korban.

Tak ubahnya sebuah negara, pema memiliki peran yang besar di “negaranya”. Berdasarkan Tata Laksana Ormawa (TLO) USU, Pema USU sebagai lembaga eksekutif  tertinggi berfungsi untuk melaksanakan berbagai aktivitas mahasiswa USU. Seluruh organisasi intra seperti Himpuanan Mahasiswa Departemen dan Unit Kegiatan Mahasiswa berada di bawah koordinasi pema. Artinya pema memiliki pengaruh besar dalam kehidupan mahasiswa di kampus.

Saat mahasiswa di berbagai daerah lain menjalankan perannya sebagai agen perubahan, saat mereka menyadari betapa pentingnya peranan mahasiswa bagi masyarakat, betapa berharganya peran mahasiswa mengkritik apa yang salah dari pemerintah, kita masih berpolemik di antara mahasiswa sendiri di dalam kampus.

Jangankan mengkritisi negara, vakumnya pema sebagai wadah resmi aspirasi mahasiswa juga menumpulkan kekritisan mahasiswa terhadap rektorat. Saat mahasiswa Universitas Gadjah Mada berjuang habis-habisan menolak parkir berbayar di dalam kampus mereka, pada waktu yang sama mahasiswa USU hanya pasrah menerima beberapa fakultas di kampusnya mulai memberlakukan parkir berbayar.

Itu hanya satu contoh kecil. Belum lagi soal transparansi keuangan, fasilitas, dan banyak lagi. Rektor USU Prof Syahril Pasaribu saat audisi calon rektor pernah mengatakan kepada saya akan merangkul mahasiswa, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan Pema USU. “Mahasiswa saat ini justru saling gontok-gontokan, ke depannya harus dijembatani agar mahasiswa bersatu,” katanya ketika itu. Setelah terpilih? Mungkin ia justru tersenyum melihat kehidupan politik mahasiswanya. Yah, paling tidak bebannya berkurang karena tidak ada tekanan dari mahasiswa. Mungkin.

***

Saat ini mahasiswa USU “kembali” mengalami masa-masa penting untuk menentukan masa depan kehidupannya sebagai mahasiswa. “Kembali” karena kita sudah dua kali merasakan hal yang sama dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Tapi benarkah penting? Saya tak yakin. Kata “penting” di atas sebenarnya sengaja di buat paling tidak untuk meyakinkan diri saya sendiri.

Seorang gadis yang selalu dikhianati oleh kekasih hatinya pada akhirnya akan kehilangan rasa cinta pada pria itu. Begitulah kira-kira yang dirasakan sebagian besar mahasiswa USU saat ini. Antusias mengikuti pemilu karena merasa penting perlahan berubah apatis, setelah hasilnya justru antiklimaks menjadi tidak penting.

Saat ini mahasiswa justru merasa bosan dengan datangnya pesta demokrasi terbesar di kampus USU ini. Hal itu terlihat dengan rendahnya tingkat partisipasi mahasiswa dalam pelaksanaan pemilu.

Jumlah pemilih di FISIP pada pemilu 2010 lalu hanya 670 orang dari 2600-an mahasiswa fakultas itu, bertambah sedikit dari tahun 2008 yang hanya 17% mahasiswa. Setali tiga uang, hanya 406 mahasiswa FKG yang menggunakan hak pilih dari 1057 mahasiswa, serta 896 pemilih dari 3073 mahasiswa FMIPA. Sehingga golput seharusnya keluar sebagai pemenang pada 2010 lalu.

Kenapa dua kali penyelenggaraan pemilu terakhir selalu gagal? Karena tidak ada kesadaran bersama atas nama mahasiswa USU. Pemilu  hanya menjadi ajang untuk merebut kekuasaan, mengutamakan kepentingan pribadi dan eksistensi kelompok.

Slogan “Siap Menang Siap Kalah” yang dideklarasikan saat debat kandidat pemilu 2010 oleh seluruh calon ternyata hanya lip service. Saya justru mempertanyakan apa gunanya masing-masing calon menandatangani pernyataan itu jika hati, pikiran dan tangan tak seiring sejalan.

Yang menarik, pada debat kandidat pemilu 2011 kali ini deklarasi itu ditiadakan. Saya tidak tahu alasan pastinya. Apakah karena deklarasi sebelumnya dianggap tidak efektif atau mungkin karena hal lain. Ada atau tidak pernyataan itu bukan suatu masalah sebenarnya. Toh, debat kandidat atau pun deklarasi hanya menjadi seremonial, yang terpenting pernyataan dari hati mereka.

Saat debat kandidat kedua pasang calon sama-sama berjanji untuk menerima kekalahan secara fair. Janji itulah yang harus kita pegang. Saat KPU mengumumkan hasil pemilu nanti, apapun hasilnya kedua pasang calon harus berani keluar. Beri dukungan pada pasangan yang menang dan sampaikan pada pendukung anda untuk secara gentle menerima hasil tersebut.

Kedua pasang calon, KPU, Pema sekawasan, organisasi intra dan ekstra kampus, serta seluruh elemen mahasiswa harus memiliki tujuan bersama untuk membenahi Pema USU atas nama kepentingan mahasiswa USU.

Jangan mengaku sebagai mahasiswa jika berperilaku tak ubahnya para elit politik negeri ini. Secara etimologis mahasiswa berarti siswa yang di-maha-kan, siswa yang dihormati dan menjadi  panutan. Mahasiswa sebagai kaum intelektual dengan idealisme yang dimilikinya harus berfungsi sebagaidirector of change (pengarah perubahan). Jika nanti ada permasalahan yang muncul saat pemilu, sampaikan protes sesuai aturan yang berlaku. Selesaikan masalah dengan forum-forum dialog berdasarkan petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang sudah disepakati. Jangan justru berlagak bak preman di dalam kampus, sengaja membuat rusuh karena kepentingannya tak tercapai.

Sudah cukup kita membuang waktu yang begitu banyak untuk konflik yang tak ada hasil. Jutaan uang, tenaga dan pikiran habis sia-sia. Sementara persoalan mahasiswa USU terus menumpuk. Pemilu kali ini harus menjadi yang terakhir dalam kisruh panjang yang dialami mahasiswa USU. Jika kembali gagal, saya sarankan lebih baik bubarkan saja Pema USU!

***

Mahasiswa USU akan kembali memilih besok (Rabu, 4 Mei). Kondisi apatis sebagian besar mahasiswa amat rentan dimanfaatkan untuk “digiring” menuju kotak suara, terutama mahasiswa angkatan 2009 dan 2010 yang belum banyak paham kondisi politik kampus.

Saya yakin kawan-kawan mahasiswa lebih cerdas untuk menentukan sikapnya sendiri. Jangan mau seperti lembu yang dicucuk hidungnya, memilih hanya berdasarkan petunjuk orang lain atau ancaman senior. Anda punya hak untuk menentukan sikap anda sendiri.

Ingat, dana penyelenggaraan pemilu ini juga berasal dari anggaran mahasiswa. Pemilu 2008 mencapai Rp 52 juta, 2010 sekitar Rp 25 juta dan kali ini hampir mencapai Rp 30 juta. Pengeluaran yang tak sebanding dengan hasil yang didapat. Tahun 2008 dan 2010 terbuang percuma. Lalu 2011? Saya hanya berharap jumlah total uang yang terbuang tak menyentuh angka 100.

Ada dua capres yang kini bertarung. Nomor urut 1, Mitra Nasution merupakan mahasiswa co-ass FKG. Terakhir ia menjabat Ketua Himpuanan Mahasiswa Islam Fakultas Kedokteran Gigi. Sementara nomor urut 2, Riko Putra merupakan mahasiswa Fakultas Teknik. Ia juga Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia fakultasnya. Kedua orang ini berasal dari dua organisasi yang memiliki pengaruh besar di USU. Dua organisasi Islam yang kerap berseteru saat pemilu fakultas maupun universitas.

Akan menjadi pepesan kosong atau tidak seyogianya ada di tangan mereka berdua. Apa pun sikap mereka menyikapi pemilu nanti, akan mempengaruhi harapan itu. Tak perlu berpikir terlalu jauh apa yang bisa dilakukan pema ke depan. Tapi yang pertama bagaimana pemilu berjalan fair dan menghasilkan presiden dan wakil presiden mahasiswa yang “sebenarnya”. Saya kenal Mitra dan Riko, mudah-mudahan mereka bersikap atas nuraninya seperti yang sudah dijanjikan.

Apakah besok suara kita juga ikut menentukan? Hmm…  Saya tak menganjurkan untuk memilih tapi juga tak mengharapkan golput menjadi pemenang. Masing-masing kita punya hak untuk bersikap. Selamat menentukan pilihan!

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU angkatan 2007 dan Pemimpin Redaksi SUARA USU 2010.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4