Oleh : Thariq Ridho
”Gerangan apa yang terjadi padamu? Makhluk astral apakah yang telah hinggap ditubuh wanita ini. Seluruh jiwanya berseru untuk ceria,”
Tangisnya tak henti-henti. Ia lampiaskan seluruh energinya hanya untuk air mata. Kadang ia marah, memaki sesaat lalu memohon ampun pada pencipta. 15 dari 24 jam harinya dihabiskan untuk menangis dan marah. Kakaknya tak bosan dan henti-hentinya memberinya petuah. Sebagian diterima sebagian ia murka. Sabar dan kuat pribadi sang kakak yang buatnya tabah pada adik semata wayangnya.
Kepergiannya sang ibu dihadapannya yang menjadikan dirinya manusia setengah gila. Jiwanya mengambang hampir tenggelam di laut kegilaan. Mata lentiknya berubah menjadi hitam lebam tanda menangis sepanjang malam. Ia tak lagi mengenal siang dan malam. Tubuhnya tak lagi montok dan berisi. Kurus hingga rusuk tampak jelas menopang tubuh.
Sukasih masih saja berteriak. Menyebut-nyebut nama ibunya. Sang kakak Sri mencoba memadamkan adiknya. Kesabarannya sebagai seorang kakak sungguh di uji. Ketelatenan sangat dinilai saat-saat seperti ini. Adiknya kian meronta-ronta. Sri mulai kewalahan dan tanpa pikir panjang ia tinggalkan adiknya seorang diri didalam bilik.
“Kalau kau tetap begitu kau tak akan aku urus lagi, cari sana orang yang mau mengurusmu,”
Ia tak bermaksud untuk menyakiti hati adiknya. Bukan hanya Sukasih yang harus kehilangan orang tua tapi dirinya juga.
***
Pagi itu seorang datang kerumah. Pria berperwakan tinggi dengan pakain jas sambil menenteng tas. Seorang wanita menjamunya dengan baik, sopan dan bertata krama. Ia tak mengobrol panjang dengan wanita itu. Mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikan kepada wanita itu. Lelaki itu hanya mengeluarkan map kuning dan memberikan padanya. Lelaki itu mempersilahkannya untuk membaca. Ia menolak. Tak perlu pun dibaca ia sudah tau persis isinya. Sekarang ia paham tujuan dan motif lelaki ini menemuinya.
“ada lagi yang perlu disampaikan?”
“Tidak ada. Hanya itu” katanya menjawab.
.Dibalik tirai tamu telah berdiri dua orang perempuan muda. Keduanya memilih untuk menunggu suara ibunya berkisah tentang pertemuan itu. Mereka kembar yang terlahir yatim. Ibunya mati-matian mengandung meraka, tanpa suami yang menafkahi. Ia harus banting tulang menghidupi tiga nyawa yang ada ditubuhnya. Menjual jasa kepada semua orang. Dibalik semua pengorbanan yang ia lakukan timbul perkara baru. Bukan ulahnya tapi suami yang telah tiada.
Dulu sang suami hanyalah buruh pabrik pembuatan ikan asin. Berpenghasilan hanya bisa untuk makan sekali untuk sehari. Berangkat kerja pagi karena harus mengangkat ikan-ikan yang mau diolah dari dermaga. Pulang sore dengan upah ditangan yang tak seberapa. Terkadang ia membawa beberapa ikan asin yang telah diolah pabrik, itupun diperoleh dari hasil ikan-ikan yang tak layak jual dari sortiran pasar. Ia pungut untuk jadikan lauk pauk dirumah. Begitulah setiap harinya. Hingga tubuhnya tak kuat dengan beban pekerjaan dan pergi selamanya.
Makan malam. ibu tidak memasak. Hanya tempe sisa kemarin yang ada serta nasi yang cukup sepiring untuk bertiga. Ibu membuka pembicaraan.
“Tadi orang yang datang dari kota. Jauh-jauh kemari ngasih surat punya ayah dulu,” kata ibu.
“Apa isinya Bu,” sambut Sri. Masih diam. Hingga ia menjelaskan bahwa keduanya tidak perlu tahu dulu. Tidak ada protes dari kakak beradik itu. Mereka percaya sepenuhnya dengan ibunya.
Enam bulan kemudian seseorang yang dulu pernah ke rumah datang lagi. Kali ini tidak sendiri tapi bertiga dengan dua orang lainya. Perawakan besar beserta tato di kedua lengannya. Ibu langsung datang menjamu. Ketiganya berbicara diruang tamu. Ada sedikit bentakan yang diluncurkan pada ibu. Ibu diam saja. Mereka bertiga pun meninggalkan rumah.
***
Mendengar perkataan kakaknya ia berhenti meronta. Kesadaranya mulai terangkat perlahan-lahan. Akal sehatnya mulai bisa bekerja. Meski belum seutuhnya. Perlahan-lahan mulai bisa diterapkanya. Hanya saja melamun dengan tatapan kosong yang belum bisa hilang darinya. Namun itu sedikit meringankan beban sang kakak untuk mengurusnya.
Malam itu. Sukasih bermimpi. Ibu datang padanya. Mengelus dahinya yang mulai berkerut.
“Sih, sudah saatnya kau sadar. Tidak seharusnya kau begitu, kasian kakakmu. Ikhlaskan ibu yang gagal mengurus kalian,” bisik ibu padanya.
***
Ibu mulai sakit-sakitan. Ia tak lagi bekerja. Hanya Sri yang bekerja. Sedangkan adiknya mengurus ibu yang terbaring diranjang bilik. Tiga bulan setelah kejadian tiga orang itu. Ibu mulai sakit-sakitan. Ibu memanggil Sukasih. Diisyratkan padanya untuk duduk di pinggir ranjangnya. Ia mengarahkannya untuk mengambil amplop yang ada dibawah baju dalam lemari.
“Berikan amplop ini pada tiga orang yang dulu datang marah-marah. Itu adalah hutang ayahmu. Belum sempat terbayarkan hingga ayah meninggal dunia. Dan semua hutang tertimpa pada ibu,”
Isyarat selanjutnya datang. Ia mulai susah untuk berbicara.
“Aku sudah tak kuat lagi. Semua beban hidup kita telah aku lunasi untuk masa depan kalian. Aku tak ingin kalian terbebani. Jaga hidup kalian,” ucapan yang perlahan beriringan dengan kolopak mata yang tertutup bersamaan. Akhirnya pergi selamanya.