Oleh: Guster CP Sihombing
Sudah sejauh mana kita bisa menghargai atau saling menghargai? Atau sejauh manakah kita memaknai perbedaan? Ini merupakan pertanyaan refleksi bagi setiap orang, memerlukan waktu dan pemahaman untuk menjawabnya.
Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengikuti pelatihan yang khusus membahas mengenai isu ini dari Aliansi Sumut Bersatu (ASB). Pluralisme. Banyak orang yang bertanya kenapa harus isu ini yang menjadi bagian materi pelatihan.
Sebenarnya, apa itu pluralisme? Pluralisme adalah paham yang menghargai cara pandang yang berbeda terhadap agama, etnis, budaya, orientasi seksual, pilihan politik, dan lain-lain untuk membangun kesepakatan bersama sesuai dengan prinsip-prinsip universal yang humanis.
Berarti pluralisme adalah sikap saling menghargai antar kelompok dan terbuka untuk saling mengkritisi pemikiran masing-masing dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada didalamnya. Sederhananya: Menghargai perbedaan.
Indonesia terdiri atas beragam suku, agama, budaya, dan hal-hal lain yang berbeda. Kita perlu pluralisme karena ada kecenderungan kelompok mayoritas memaksakan kehedendaknya pada pemerintahuntuk membuat kebijakan yang berdampak timbuknya kotak-kotak dalam masyarakat dan semakin menguatnya semangat primordialisme sebagai cikal bakal lahirnya politik identitas.
Diatas, saya menyebutkan orientasi seksual sebagai bagian dari keberagaman. Yang diketahui selama ini bahwa laki-laki harus berpasangan dengan perempuan dan sebaliknya. Ini disebut heteroseksual. Sementara itu, diluar sana ada banyak kawan-kawanLGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transeksual) yang merasakan ketidakadilan atas heterosentrisme yang diciptakan masyarakat.
Kita tak boleh menutup mata akan beragamnya orientasi seksual tadi. Bukankah konsep laki-laki dan perempuan juga sebagai hasil dari konstruksi masyarakat? Orang yang lahir dengan kelamin penis disebut laki-laki dan orang yang lahir dengan kelamin vagina disebut perempuan. Atas perpaduan konstruksi masyarakat yang dicampur adukkan antara agama, kebudayaan, dan pilihan politik, timbulah konsep gender laki-laki dan perempuan masa kini.
Laki-laki menyukai sesama laki-laki disebut gay. Perempuan menyukai sesama perempuan disebut lesbian. Laki-laki atau perempuan yang menyukai keduanya disebut biseksual. Laki-laki atau perempuan yang memilih mengganti alat kelamin dan peranannya disebut transeksual atau transgender. Laki-laki atau perempuan yang tidak menyukai keduanya disebut aseksual. Laki-laki atau perempuan yang memiliki dua alat kelamin sekaligus disebut interseksual, dan laki-laki atau perempuan yang tidak menyukai keduanya disebut queer.
Seseorang dengan orientasi seksual gay, dalam kehidupan dan peranan sosialnya tentu bisa menyesuaikan dengan kehidupan sehari-hari. Ia juga sekolah, bekerja, dan beribadah, tak ubahnya seseorang dengan orientasi seksual hetero. Nah, apa yang harus dipermasalahkan dengan perbedaan ini? Ini hanya masalah ranjang belaka.
Kalau ini masalah ranjang saja, kalau begitu sebaiknya media bersikap bijaksana dalam melaporkan berita yang sedang terjadi. Sebagai contoh,Detik.com pada Selasa, 14 Februari 2012 menulis berita dengan judul:Cemburu, Seorang Homoseksual Habisi Nyawa 4 ‘Pacar’ Sang Majikan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah ketika ia seorang heteroseksual tidak akan membunuh? Artinya tak ada korelasi antara seksualitas dan peranan sosial seseorang. Bukan hanya media yang bias akan orientasi seksual. Masyarakat umum juga berperan penting akan ketidaknyamanan kehidupan orang dengan orientasi seksual LGBT.
Dalam pekerjaan pun mereka tetap didiskriminasi. Waria distigma hanya bisa bekerja di salon dan mengamen atau menjual dirinya di jalan raya. Seandainya seluruh instansi melihat dari keutuhan manusia secara keseluruhan, pastilah waria bisa bekerja di perusahaan, instansi pemerintahan, swasta dan lainnya. Hanya karena ia adalah waria, maka ia tak diterima bekerja.
Apa yang harus ditakutkan dengan keberagaman orientasi seksual ini?Dalam UU No. 39 tahun 1999 dijelaskan mengenai hak asasi manusia di Indonesia. Mereka juga sama seperti manusia pada umumnya yang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Juga, hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Tak ada alasan seseorang ataupun kelompok untuk tidak menghargai itu, apalagi hanya karena ia adalah seorang homoseksual.
Pada tahun 1993, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) ke-III yang menyatakan homoseksual bukan sebagai gangguan kejiwaan. Orientasi homoseksual, biseksual, dan heteroseksual sebagai bagian dari keberagaman ataupun variasi seksualitas manusia. Sudah jelas bukan?
Saya apresiasi pada ASB yang jeli melihat permasalahan kompleks yang ada saat ini. Orientasi seksual memang sebagai bagian dari pluralitas. Banyak orang yang berkoar-koar bahwa semua agama, suku, budaya layak untuk dihargai dan dihormati, namun ia tak mampu menghargai variasi seksualitas manusia. Tak usahlah kita bicara tentang dosa dan akhirat, biarkan itu menjadi urusan individu dan penciptanya. Mari saling berefleksi melihat kembali kedalam diri kita sejauh mana kita memanusiakan manusia.