BOPM Wacana

Namaku Alterasi

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi : Yael Stefany Sinaga

 

Oleh: Yael Stefany Sinaga

Perkenalkan sekali lagi namaku alterasi. Aku lahir bukan dari pencampuran sel sperma dan sel telur. Tapi muncul karena dia dan aku berbeda.

“Salam kepada yang kuasa. Salam kepada sang pembangkang. Salam wahai salam,”

Begitulah kira-kira aku memperkenalkan diriku di depan mereka. Padahal tak ada niat macam-macam. Hanya ada satu macam. Aku memantaskan diri berdiri di atas altar yang dipandangi ribuan makhluk terpintar di planet. Mereka diam. Atau mungkin jijik.

“Namaku alterasi. Kalian bisa memanggilku rubah. Atau kalian bisa memanggilku metamorfosis,”

Hanya dengungan tertawa yang kudengar.

“Sudah lah, Adinda. Hentikan cakap sampah ini. Apalah tujuanmu saat ini?,” pekik perwakilan itu.

“Perubahan,”

Semua diam. Saling memandang. Lanjut untuk tertawa.

***

Berjalan aku sendirian. Semua diluar kepala. Aku pikir akan menyenangkan. Ternyata tidak. Benar kata abang tak semudah itu. Tak sama dengan lingkunganku yang lama. Kata abang disini lebih kejam. Katanya kalau tidak tahan angkat tangan saja. Tanda menyerah.

Sepertiga dari perjalananku, ada suara memanggil. Semakin membesar dan semakin jelas ditelingaku. Aku menoleh ke belakang. Seorang pemuda brewok. Tidak jelek juga tidak tampan. Lari hingga sesak nafas. Rupanya ia mengejarku dari kejauhan.

“Sabarlah. Masakan tidak mau keliling dulu? Apa yang kau dapat di rumahmu?,” tanyanya tersengal.

Aku diam. Aku tak mengenalnya.

“Namaku Reflux,”

“Reflux?,”

Dia menarikku ke bibir jalan. Bodohnya aku menurut saja. Seakan sudah kenal lama. Padahal baru lima menit yang lalu. Dihembusnya bangku jalan dari debu kotoran. Mungkin maksudnya supaya aku terlihat nyaman. Dia mulai berbicara.

“Cerita buyutku namaku diambil dari pemberian abangku. Dahulu abangku sudah hampir tiada akibat demonstrasi. Saat itu harga minyak makan naik sehingga ibuku dulu tidak pernah masak. Kami hanya makan ubi rebus. Mungkin itu alasan abangku turun ke jalan. Agar tak makan ubi lagi,”

Aku tertawa kecil. Kurasa dia gila. Faktanya aku terus mendengar ceritanya. Manusia bodoh.

“Rupa-rupanya nasib abangku sial. Dia kena balok panjang. Kepalanya terluka parah. Di ditendang hingga muntah darah. Untunglah Tuhan berbaik hati. Seorang warga menyeret dia dan membawa dia ke rumah sakit terdekat. Terlambat saja sudah lewat,”

Kembali aku tertawa. Yakin dia hanya mengarang cerita. Tak mungkin ada manusia seperti itu. Aku tahu pergolakan itu. Tapi aku tak yakin tak seperti dia ceritakan. Menghargai saja.

“Saat itu ibu sedang mengandung aku. Menurut ceritanya dia sedih. Hanya abangku yang dia punya saat itu. Abangku yang berbaring sekarat masih berusaha untuk menghibur. Katanya agar ada keturunan pemberontak di keluarga kami. Dan ia ingin aku juga seperti itu,”

Aku diam. Entah kenapa ini tidak lucu atau klise. Seperti sungguhan. Terasa benar di hati.

“Setelah aku lahir, ibuku memberi kewenangan memberiku nama dari pemberian abangku. Maka jadilah namaku reflux. Artinya orang yang selalu melakukan perubahan besar,”

Aku memandangnya lama. Lama sekali. Kucoba meyakinkan diriku untuk memastikan kalimat terakhir itu. Dia bilang apa? Perubahan? Tak disangka-sangka. Senyum lebar menghiasi wajahku.

***

Menjadi-jadi. Semakin banyak cacian. Sejak saat itu, aku dan dia terasa diasingkan. Katanya kami pengkhianat. Katanya kami tak pantas. Katanya kami hanya bermodal omong besar. Katanya kami hanya segelintir yang tak tahu apa-apa. Katanya lagi kami akan kalah.

Semakin besar pula kekuatannya. Semakin tidak terkontrol doktrinnya kepadaku. Diisinya kepalaku dengan ilmu-ilmu argumentasi. Diberikannya aku bekal makan siang yang tidak gratis. Disuguhkannya dengan konflik sosial. Semakin suka aku jadinya. Akhirnya aku bertemu dengan yang kuinginkan.

Dikenalkannya aku dengan tokoh-tokoh itu. Sebagian sudah kukenal baik sebagian tidak. Diberinya aku buku ilmu pengetahuan masyarakat. Diajaknya aku tinggal bersama petani dan nelayan. Dibukanya kesempatan untuk aku menjadi orang miskin. Katanya biar pernah.

Katanya jangan pernah takut. Jangan pernah ragu. Jangan pernah berjalan tunduk. Jangan jadi budak. Jangan menindas. Jangan ditindas. Jangan bodoh dan jangan ditunggangi. Katanya harus berani. Katanya harus terima resiko besar. Katanya lagi jangan jadi pemuda yang bertenak diri.

***

“Lalu bagaimana dengan mereka? Tidak kah kau takut?” tanyaku padanya.

“Aku hanya takut ketika ibuku marah saat aku tertangkap basah memakai ganja di belakang rumah,”

Aku tertawa. Kuakui ini sangat lucu. Bayangkan saja. Aku pikir dia akan mengatakan Sang Maha Esa.

“Sungguh lah. Kali ini tolong menjawab dengan serius. Aku tau kau takut kan?,” tanyaku lagi.

Dia diam. Dihisapnya batang rokok dalam-dalam. Dihembuskannya hingga menggumpal hebat. Sampai-sampai aku terbatuk menghirup asap rokok itu. Dia buang puntung rokok ke tanah dan menginjaknya. Ia memandangku lama. Lama sekali.

Dia tertawa. Semakin kuat. Bahkan sampai mengeluarkan air mata. Aku bingung. Kurasa dia gila. Tiba-tiba ia berhenti tertawa. Sungguh aneh tapi nyata.

“Kau tahu, aku tak percaya adanya Tuhan. Tapi entah kenapa aku sangat takut akan dosa. Itu sebabnya aku tak berani membuat ibuku marah. Kau punya prioritas. Kau punya sesuatu yang menjadikanmu modal untuk tetap bertahan hidup. Semua orang punya jalan masing-masing. Jadi apalagi yang kau takutkan wahai Adinda?,”

Aku membenarkan katanya dalam diam. Dipeluknya aku seketika. Terasa hangat. Seakan tak ingin lepas. Aku merasakan kenyamanan itu. Kenyamanan yang tak kutemukan lagi sejak 4 tahun lamanya. Saat aku kehilangan ayahku.

Dilepasnya secara perlahan. Dia mengelus kepalaku dengan sangat lembut. Digenggamnya bahuku erat. Dan kami saling menatap. Oh, Tuhan. Bisakah kau hentikan waktu sejenak saja?

“Dengarkan aku baik-baik. Tak perlu lagi kau gundah. Semua ada harganya. Bahkan untuk kencing saja kau harus bayar. Tak pelak lah dengan sebuah cita-cita. Kau harus terima. Mau atau tidak. Kalau tidak mending kau pergi sekarang. Karena seyogyanya hanya orang berani yang bertahan,”

“Berjanjilah untuk selalu disampingku apapun yang terjadi,” kataku dengan tegas.

“Untuk Adinda tersayang aku berjanji,”

Aku tersenyum. Tiba-tiba dikecupnya keningku untuk pertama kalinya. Mungkin sebuah tanda bahwa dia tidak akan mengingkarinya. Bahwa dia dan aku lahir karena perbedaan.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4