Oleh: Nurhanifah
Kota Jakarta selalu identik dengan kemegahan dan kekinian. Namun, ternyata ada istana dari masa lalu yang tak kalah indah dari bangunan kekinian Ibu Kota.
Hari itu, panas matahari yang terik tak mengalahkan semangat saya untuk main ke istana ini. Istana yang lebih dikenal dengan Museum Fatahillah atau Gedung Balai Kota Batavia. Terletak di Jalan Taman Fatahillah No.1 Jakarta Barat, lokasinya yang mudah diakses dengan berbagai kendaraan umum—baik Trans Jakarta seharga 3500 rupiah maupun kereta api seharga 2000 rupiah—membuatnya selalu ramai dikunjungi. Harga tiket masuk juga murah, Rp3000 untuk mahasiswa dan Rp5000 untuk umum.
Tempat ini memperlihatkan sisi lain Kota Jakarta melalui foto-foto Jakarta tempo dulu. Masih berwarna hitam putih, gaya dan pakaian vintage, jalan yang lengang, jauh berbeda dengan Jakarta saat ini yang terkenal padat dan macet. Foto-foto itu disorot dengan lampu berwarna kuning, terkesan klasik.
Foto yang dipamerkan tak sembarangan, ini merupakan lokasi kekuasaan sang Gubernur Jendral Vereenigde Oost Indische Compagni (VOC) Hindia Belanda.
Selain itu, dipajang juga miniatur kapal klasik. Kapal Batavia yang digunakan Pemerintah Belanda ketika datang ke Indonesia. Pertama kali bersandar di Pelabuhan Kelapa, pelabuhan yang sempat berjaya dan sangat terkenal pada zaman itu.
Gedung ini dibuka untuk umum pada 30 Maret 1974 oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin untuk tempat penyimpanan benda bersejarah dan sarana edukasi masyarakat mengenai sejarah Jakarta. Terdapat 23.500 barang yang dipamerkan.
Tak hanya foto, prasasti juga melengkapi istana ini. Prasasti berisi perjanjian di masa lalu berupa prasarti asli dan duplikat. Salah satunya yaitu Prasasti Tugu berisi pembuatan Kanal Candrabhaga yang dilakukan Raja Punawarman untuk menangani banjir di Jakarta.
Selain itu, koleksi peninggalan prasejarah 1.500 tahun lalu masih tersimpan rapi. Seperti kapak batu, beliung persegi, kendi gerabah, dan barang-barang lainnya. Pun keramik-keramik dari abad-17 hingga abad ke-19 dalam bentuk piring, teko, dan cangkir juga melengkapi. Dari situ, kita bisa merasakan perpaduan budaya yang kental dari Eropa, Tionghoa, dan Indonesia.
Terdapat juga meriam Si Jagur, yang menurut kepercayaan masyarakat dapat membuat seseorang yang mandul menjadi subur ketika menyentuhnya.
Di lantai dua, dahulu merupakan ruang sidang Dewan Tertinggi Hindia Belanda. Layaknya ruang sidang, ruangan ini dilengkapi meja rapat berupa meja bundar dengan diameter 2.25 meter berbahan kayu jati, peninggalan abad ke 17.
“Di sini setiap keputusan dibahas secara panjang, dewan hakim pertimbangkan segala hukuman seadil mungkin. Mulai dari berapa lama tahanan ditawan di penjara, tanggal hukuman mati, serta bentuk hukumannya,” terang Putri Khairani, Pemandu Wisata.
Terdapat juga mebel-mebel antik peninggalan abad ke-17 hingga abad ke-19. Salah satu mebel yang menarik adalah schepenkast—lemari buku besar—dibuat tahun 1748 sebagai tempat penyimpanan arsip dan dukumen Dewan Hakim. Kayu dari lemari ini disepuh emas. Tak sembarangan, ukiran pada lemari memiliki makna sendiri. Seperti ukiran bagian kiri berupa Dewi Keadilan, bagian tengah empat belas lambang keluarga Dewan Pengadilan, dan bagian kanan ukiran Dewi Kebenaran. Ukiran tersebut berarti dewan hakim adalah titisan dari dewi keadilan dan dewi kebenaran.
Layaknya istana, sebuah ruangan memamerkan foto-foto sang raja, orang nomor satu di masa kejayaannya. Ya, yang dipamerkan adalah foto-foto Gubernur Jenderal VOC di tahun 1602-1942. Ada satu foto istimewa yang ukurannya lebih besar yaitu foto Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen, penggagas pembangunan Gedung Sejarah Jakarta pada tahun 1620.
Di pinggir ruangan, terdapat jendela-jendela besar yang menghadap ke lapangan. Lapangan sebagai tempat peradilan bagi tawanan kota dan tawanan negara yang dianggap berbahaya oleh pemerintah. Setiap tawanan dihukum mati, baik hukum pancung maupun hukum gantung. Mereka akan dihukum di hadapan seluruh masyarakat. Hal ini, merupakan cara agar masyarakat tunduk pada pemerintah.
Sebelum dihukum di lapangan, para tawanan ditahan di penjara bawah tanah. Penjara wanita dibuat tanpa penerangan, hanya dua jendela yang dibuka siang hari. Sel ini memiliki luas 6×9 meter dan tinggi 1 meter, dapat menampung dua puluh hingga tiga puluh orang. Penghuninya kebanyakan orang-orang yang melawan Pemerintah VOC. Salah satunya Cut Nyak Dien. Penghuni penjara wanita umumnya adalah tahanan yang sudah ditetapkan hukuman mati.
Tak hanya penjara wanita, bangunan juga dilengkapi penjara pria. Dengan lokasinya berbeda, di luar bangunan inti. Lebih berat, para tawanan pria kakinya diikat dengan meriam untuk mencegah mereka kabur sebelum dihukum mati. Meriam-meriam tersebut masih dapat anda lihat di penjara tersebut.
Rian Aldiansyah, salah satu pengunjung mengaku senang mengunjungi tempat ini. Ia bilang tak sia-sia datang dari Manado untuk mengetahui sejarah Jakarta, sebagai kajian skripsinya. “Ini benar-benar gaya bangunan Istana Eropa tapi isinya sejarah Jakarta, lengkap dan menarik,” ucapnya.