Oleh: Amir Fadli Nasution
Kami anak negeri yang hidup di masa kini
Masih juga ramai-ramai mendekam di bui
Dijerat rimbunan masalah yang katanya sudah jadi tradisi
Segelintir yang cerdas dari kami, dikerangkeng miskin yang menjalari
Segelintir yang berani dari kami, dikerangkeng aturan anti anarki
Segelintir yang ikhlas dari kami, dikerangkeng rayuan memikat hati
Segelintir yang muda dari kami, dikerangkeng kaum tua yang mengebiri
Dan segelintir lagi yang berjuang dari kami, dikerangkeng tekanan bertubi-tubi
Dari semua itu akhirnya kami sadari
Sesungguhnya kami cuma GENERASI NAPI
Yang coba merangkak membangun mimpi
Untuk sekedar punya arti bagi negeri
“Generasi napi”, maaf jika julukan itu amat kasar bagi mereka yang dituju dalam tulisan ini. Yakni mereka yang merasa diri bagian dari generasi muda anak cucu negeri. Karena sengaja dia terlahir, hanya agar aku, kawan-kawanku, juga abang, kakak, serta adik-adikku dapat kenal diri sendiri. Sebab kita tak lagi mampu menyanggah, dia adalah identitas resmi generasi terkini.
Kita para generasi napi tengah dipaksa keadaan masuk dalam bubu yang berupaya mengekang mental dan pikiran. Tidak selalu tampak jelas memang, karena sebagian bubu itu dipasang tersembunyi di balik “semak-semak” senyum hangat beriming hasrat hedonis yang tersirat. Atau di bawah permukaan “telaga” kenyamanan hidup pragmatis yang banyak diajarkan generasi tua. Coba tarik kembali, sederet realita yang akhir ini seringkali mendera kita generasi muda. Yang berstatus pelajar dihimpit lonjakan biaya pendidikan tak beranak tangga. Yang disemat gelar aktifis harus berulang kali berurusan dengan segumpal pasal dan antek kepatuhan yang cenderung menuju represifitas kebebasan. Yang merasa diri anak baik lagi penurut sudah cukup senang jika dapat kuliah teratur, menyabet nilai bagus, lalu menyelingi hidup dengan euforia hura-hura. Dan jika sudah sampai masanya, sebagian besar dari kita ini akan dihujani “galau” tingkat tinggi tentang nasib hidup masa depannya akibat penolakan lamaran kerja yang tak perlu kita hitung lagi. Semua itu perangkap nyata yang amat bengis. Sebagian di antara kita mungkin bisa bertahan atau mungkin juga lolos berkat keteguhan hati dan katakanlah berbagai sebab lain. Tapi sebagian lain?
Sekali lagi, bubu yang menjerat kita amatlah kuat berlapis-lapis. Hingga nanti, lambat laun kita lengah, lelah, bahkan mungkin pasrah dalam cita-cita agung yang dahulu berkobar-kobar dalam darah. Dan akhirnya nyali pun menciutlah, idealisme pun gugurlah, kreatifitas pun mandullah, semangat pun rapuhlah, juga konsepsi pun mandeklah. Kita cuma bisa meringkuk kaku. Sebuah kutipan dar Benedict Anderson atas fenomena ini, “Masa kacau sudah kembali, itulah suatu zaman ketika orang-orang bodoh memperoleh keuntungan dari kebodohan mereka, dan orang-orang arif menderita karena kearifannya.”
Walau diakui, sejarah beberapa kali (di masa awal kemerdekaan, di masa akhir orde lama dan orde baru) memihak kita generasi muda untuk menang melepas panggulan si “generasi napi”. Namun masa-masa romantisme itu seringkali begitu cepat berlalu. Tak lebih lama dari 2-3 bulan saja. Tentu tak cukup waktu itu untuk menikmati peluk cium indahnya mimpi-mimpi kita tentang kehormatan, kebebasan, dan penjunjungan atas harga diri kita sebagai tulang punggung bangsa. Bahkan kini, masa dimana telah 83 tahun sesungguhnya kita sadar pada arti dan peran besar kita bagi bangsa dan Negara, kita masih juga dibui. Oleh mereka yang sebenarnya tak kalah sadarnya pada power, ability, authority, and responsibility kita para pemuda. Sebab sebagian dari mereka setengah mati takut, kalau-kalau kita akan merubuhkan kecongkakan mereka, membongkar tipu muslihat mereka, menguak hipokrisi mereka, atau merobek senyum-senyum sandiwara mereka.
Karena itu, jangan ragu lagi bagi kita generasi napi untuk tetap merajut mimpi-mimpi kita, merintis jalan juang kita, menciptakan karya-karya agung kita, dan mengunjukkan jati diri kita. Tapi untuk semua itu kita butuh tatanan fundamen “grondslaag” yang kokoh, yang darinya kita mulai seluruh langkah perjuangan. Dan apa lagi yang lebih baik dibai’at dalam hal ini selain daripada Independensi dan Persatuan kita, para generasi napi.
Bagian mana dari sejarah yang mengingkari statements itu?. Sungguh, apa jika tanpa independensi dan persatuan yang teguh sumpah pemuda akan lahir? Proklamasi akan dibacakan? Kemerdekaan dan NKRI akan bertahan? Juga Orla dan Orba akan ambruk? Dengan tegas kita dapat mengatakan “TIDAK”.
Independensi menempa kita mandiri dan Persatuan membuat kita tak tertandingi. Pemuda, terlebih “generasi napi” mesti punya arah sendiri, langkah berani, yang tak boleh diutak-atik siapa saja diluarnya, entah itu parpol, ormas, birokrasi, instansi, atau kaum tetua sekalipun. Ketergantungan itu hanya akan menjadi boomerang yang menikam perjuangan kita, melencengkan cita dan mimpi-mimpi kita, dan mengubur semangat gigih kita. Sebab jika begitu nyatanya kita tak lebih menjadi alat yang diperalat, yang lambat laun bermetamorfosa menjadi penjilat, lalu bangga hidup sebagai pengkhianat, maka mudah-mudahan onggok-onggok seperti ini segera mendapat kualat.
Juga persatuan adalah harga mati bagi upaya perwujudan mimpi-mimpi kita. Tak peduli apa sukunya, yang mana agamanya, dari mana asalnya, atau golongan apa keluarganya, kita cuma harus berikrar bahwa kita semua “putra-putri yang bertanah air, berbangsa, dan berbahasa Indonesia”. Mari, tanggalkan segala beban atribut kita, dan gandeng tangan-tangan berlumuran peluh di sekelilingmu. Hanya persatuan yang punya daya ledak raksasa yang sanggup membangun atau merubuhkan hal besar sekalipun. Dan jelas tak ada yang mampu membui ini kekuatan massa yang dimotori para pemuda
Akhirnya, inilah sekilas pandangan dari, untuk, dan oleh kita para generasi napi yang dikekang tradisi. Ada saat “airnya pasang” dalam kehidupan. Kalau berlayar pada waktu itu, usia akan menuju kebahagiaan. Tetapi kalau terlambat, dan airnya sedang surut, seluruh perjalanan hidupnya pasti kandasdalam malapetaka. (Shakespeare).
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi 2009