Oleh: Rachel Caroline L.Toruan
Waktu Tuhan pasti yang terbaik/
Walau kadang tak mudah dimengerti//
Lewati cobaan, kutetap percaya/
Waktu Tuhan pasti yang terbaik//
Senandung itu dilantunkan dengan khidmat oleh jemaat Gereja Elim Kristen Indonesia (GEKI) Medan pada Minggu, 4 Juni 2023. Seakan penuh harap, lagu tersebut dinyanyikan dalam ibadah ke-25 kalinya di pinggir jalan pasca ditutupnya tempat ibadah GEKI di Suzuya Marelan pada Januari 2023. Setia, Jujur, dan Taat (SEJUTA) menjadi topik khotbah hari itu, sebagai penguat bagi jemaat untuk menghadapi rintangan yang sedang menerpa GEKI, meyakinkan bahwa setia pada Tuhan pasti membuahkan hasil walaupun harus menunggu waktu yang sedikit lebih lama.
Beralaskan tikar beratapkan langit, para anggota jemaat berkumpul tepat pukul 16.00 WIB setiap hari Minggu, tepat di seberang Kantor Walikota Medan. Irama piano, gitar, dan iringan tamborin sahut-menyahut memandu jemaat untuk mengagungkan lagu-lagu pujian dan penyembahan. Doa dan khotbah juga secara khusyuk mereka jalankan hingga akhir ibadah. Bisa dibayangkan, di antara kepulan asap kendaraan, polusi jalanan, dan hiruk-pikuk lalu lintas, tak mudah bagi jemaat untuk beribadah dengan tenang. Meskipun begitu, tak sedetik pun perhatian jemaat teralihkan dalam menjalankan ibadahnya.
Suzuya Marelan, gedung yang disewa jemaat GEKI sebetulnya sudah sempat digunakan sebagai tempat kegiatan ibadah dan pendidikan pemuda sejak 4 Desember 2022. Perayaan Natal 2022 pun masih bisa berlangsung dengan dihadiri oleh jemaat dari seluruh wilayah Sumatera Utara. Namun, setelah itu desakan sejumlah kelompok masyarakat muncul untuk membongkar gereja GEKI. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (Perkim) meminta pihak manajemen Suzuya membongkar tempat ibadah GEKI. Penolakan tersebut muncul karena adanya kekhawatiran sejumlah kelompok masyarakat bahwa jemaat GEKI melakukan kristenisasi atau penyebaran ajaran Kristen. Demi alasan keamanan, Manajemen Suzuya menyurati GEKI agar menghentikan semua kegiatan hingga waktu yang tak jelas.
Begitulah asal mulanya, jemaat GEKI berinisiatif melakukan kegiatan ibadah di trotoar karena sulitnya mendapatkan lokasi beribadah.
Kegiatan ibadah di jalan yang berlangsung sejak Januari- Mei 2023 kemudian mendapat protes Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Pada 24 Mei 2023, Satpol PP mengirimkan surat kepada GEKI yang menyatakan mereka telah melanggar Peraturan Walikota Medan No.9 tentang larangan mendirikan bangunan di atas saluran drainase, bahu jalan, trotoar, tanggul, dan garis sempadan sungai serta larangan menutup saluran drainase secara terus-menerus. Apabila tidak diindahkan, maka tim terpadu Pemerintah Kota Medan melaksanakan penertiban dan segala risiko dan kerugian yang ditimbulkan menjadi tanggung jawab GEKI.
Jemaat GEKI pun kian terombang-ambing dalam ketidakjelasan status lokasi peribadatan mereka.
“Kami bingung, kalau ibadah di trotoar tidak bisa, kok responsnya bukan memberi solusi, tapi malah membuat pernyataan yang membebani kami,” keluh salah satu jemaat.
Sulitnya Memperoleh Izin Gereja
Sudah lebih dari sepuluh tahun jemaat GEKI berjuang mendirikan rumah ibadah. Namun mereka sempat kesulitan dalam pemenuhan persyaratan yang ada di dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Di dalam PBM ini dinyatakan harus ada total 90 KTP jemaat dan 60 KTP bukan jemaat (warga sekitar), disahkan oleh lurah dan mendapatkan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Sekian lama GEKI hanya bisa beribadah di ruko yang ditempati salah satu pendeta, dengan kondisi yang sempit. Seiring waktu, lokasi itu makin tak memungkinkan dengan pertambahan anggota jemaat. Pengurus GEKI pun mengusahakan mencari gedung yang layak untuk mengakomodasi kepentingan ibadah jemaat. Pilihan jatuh pada Suzuya Marelan, eks gedung karaoke yang saat itu ditemukan dalam kondisi gelap dan kotor karena telah terbengkalai selama tiga tahun.
GEKI memutuskan menyewa gedung untuk dua tahun, dan manajemen Suzuya pun mulai merenovasi ruangan agar layak ditempati.
“Saat proses renovasi berlangsung, Kepala Lingkungan (Kepling) 28 Medan dan Lurah menanyakan tujuan dari renovasi tersebut kepada tukang-tukang yang merenovasi, dan dijawab akan dijadikan gereja, Perbincangan ini tersiar ke Kantor Kecamatan Marelan dan sejumlah pengurus GEKI pun dipanggil untuk klarifikasi,” tutur Budiono Simbolon, salah satu pengurus GEKI.
Pertemuan yang berlangsung pada Mei 2022 tersebut membahas persyaratan yang mesti dipenuhi untuk perpindahan kegiatan ibadah ke Suzuya. Karena GEKI sekadar menyewa tempat dan bukan mendirikan bangunan baru rumah ibadah, maka syarat yang diwajibkan saat itu adalah surat rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), rekomendasi Kelurahan, Kementerian Agama (Kemenag). Setelahnya pihak GEKI menunggu balasan dari Kelurahan tanah 600 untuk merekomendasikan penyewaan gedung sebagai tempat ibadah ke Pemerintah Kota Medan.
Namun hingga Oktober 2022 atau sekitar enam bulan kemudian, Kelurahan Tanah 600 menyatakan bahwa mereka belum dapat memberi rekomendasi kepada Pemerintah Kota Medan, tanpa penjelasan apapun. Seiring waktu berlalu, terjadi pergantian Lurah tanah 600 pada 13 Januari 2023, yang berdampak pula pada terhambatnya ijin bagi jemaat GEKI. Ketika surat rekomendasi dari kelurahan akhirnya terbit, kabar penggunaan gedung Suzuya sebagai tempat peribadatan jemaat GEKI telah beredar dan mengundang penolakan kelompok tertentu.
Pada tanggal 2 dan 10 Juni, penduduk setempat yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Kota Medan berbondong-bondong mendatangi Kantor Kelurahan Tanah 600 dalam rangka protes akan surat izin peribadatan GEKI.
“Mereka mendesak pencabutan surat rekomendasi dari kelurahan untuk peribadatan GEKI,” ujar Sekretaris Kelurahan Tanah 600, Muhammad Zaini.
Aksi penolakan dari sejumlah warga Kelurahan Tanah 600 kembali terjadi pada 16 Juni 2023. Surat izin peribadatan jemaat GEKI dianggap cacat hukum. Koordinator aksi unjuk rasa penolakan GEKI, Muhammad Ilyas, dalam unggahan media sosialnya menyatakan kesepakatan awal penggunaan gedung hanya untuk kepentingan kampus dan seminar bagi mahasiswa, dan bukan ibadah. Ilyas dkk. menilai lokasi beribadah GEKI kurang tepat dan tidak menghormati kearifan lokal dari masyarakat setempat yang 95 persennya beragama Islam.
“Pada awalnya di pintu masuk gedung itu ditulis “aula kampus”. Ini kami duga sebagai kamuflase,” ujar Ilyas.
GEKI memang menaungi lembaga pendidikan Sekolah Tinggi Teologi (STT) Misi William Carey di Medan sehingga pendidikan dan peribadatan adalah kegiatan GEKI yang terintegrasi dan tak bisa dipisahkan.
“Sebetulnya gedung Suzuya yang kami sewa ini tidak hanya ditujukan untuk umat Kristiani, kami sangat terbuka untuk masyarakat luar apabila ingin menggunakan,” ujar Pendeta GEKI, Fitrianus Telaumbanua.
Pihak GEKI dan manajemen Suzuya pun telah memastikan uji kelayakan gedung sebagai tempat ibadah dengan ruangan yang bersifat kedap suara sehingga tidak akan mengganggu lingkungan sekitar. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa sekelompok warga yang mengatasnamakan mayoritas bisa menghalangi hak beribadah kelompok minoritas? Di manakah posisi pemerintah yang semestinya melindungi hak-hak kelompok minoritas?
Peraturan Tidak Sensitif Minoritas Bisa Suburkan Intoleransi
Kebebasan beragama dan menjalankan ibadah merupakan non-derogable rights yang berarti hak-hak ini merupakan hak sipil yang bersifat absolut yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apa pun. Hal ini sudah dijamin oleh UUD 1945, khususnya pasal 29 ayat 2 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.
Namun bagaimana realisasinya?
Situasi masih memprihatinkan dan diskriminatif bagi kelompok minoritas beragama di Sumatera Utara. Pemerintah pun terkesan lambat dan kurang tegas dalam mengatasi kelompok-kelompok intoleran di masyarakat.
Tak hanya GEKI, Gereja Mawar Sharon (GMS) Binjai Sumatera Utara pun kesulitan memperoleh lokasi untuk beribadah. GMS beribadah di salah satu ruko di Kelurahan Setia, Binjai Kota. Sejumlah kelompok masyarakat kemudian menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak keberadaan GMS. Alasannya, penduduk di lingkungan sekitarnya beragama Islam. GMS dianggap melanggar peraturan karena tidak tercapainya syarat PBM 2 Menteri dan ruko yang disewa hanya memiliki surat izin tempat usaha, bukan tempat ibadah. Akhirnya sejak 19 Mei 2023, GMS tak lagi bisa memakai ruko tersebut. Sembari mencari tempat beribadah lain, mereka sementara beribadah di Aula Pemko Binjai dengan fasilitas terbatas.
Kepala Jemaat, Pdt. Octavianus bersikeras memperjuangkan hak beribadah GEKI dan tidak terima dengan tekanan dari kelompok mana pun. Octavianus didampingi kuasa hukumnya yang juga Ketua Forum Kebhinekaan Indonesia Bersatu, Ustaz Martono membuat pernyataan publik usai peribadatan ke-25. Pihak GEKI mengadukan unggahan Muhammad Ilyas yang dinilai menimbulkan keresahan masyarakat dan dapat dijerat pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Saya berharap kepolisian dapat menindaklanjuti laporan ini. Jangan karena perbedaan dan oknum-oknum intoleran, kita menjadi terpecah belah,” ujar Ustaz Martono.
Pada 8 Juni 2023, Pemuda Batak Bersatu (PBB) Sumatera Utara menunjukkan dukungan kepada Jemaat GEKI dengan mendatangi Kantor Wali Kota Medan. Mereka menyatakan menolak radikalisme dan intoleransi di Kota Medan seperti yang terjadi pada jemaat GEKI.
“Pemerintah harus menjadi fasilitator dari kasus jemaat GEKI,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PBB Medan, Dolly Sinaga.
Pada aksi PBB tersebut, Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution yang sudah lama dinanti untuk bersikap tegas akhirnya muncul. Dalam kesempatan itu, Bobby mempersilakan Jemaat GEKI untuk beribadah di Aula Kantor Wali Kota, ruko yang disewakan Pemkot Medan, atau kantor FKUB, sembari menunggu surat izin Pemko Medan. Jemaat GEKI bergeming, sebab bukan itu yang mereka harapkan.
“Berulang kali Pak Wali kota menawarkan opsi tempat-tempat lain, tetapi GEKI di sini hanya ingin menunggu respons Wali Kota atas surat izin untuk Suzuya saja, sebab relokasi bukan solusi bagi umat yang ditolak,” tegas Pendeta Octavianus.
Adanya kasus-kasus dalam konteks minoritas ini memperlihatkan bahwa PBM 2 Menteri cenderung menyuburkan intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas beragama. Human Rights Watch telah menyatakan bahwa peraturan bersama dua menteri ini adalah salah satu bentuk hukum yang paling signifikan menghambat kebebasan beragama di Indonesia. Peneliti dari Komnas HAM RI, Agus Suntoro juga menyatakan, komponen persyaratan pendirian rumah ibadah dalam PBM 2 Menteri membatasi hak kebebasan beragama dan berpotensi menimbulkan diskriminasi.
“Syarat mendapatkan persetujuan 90 jemaah dan 60 non-jemaah mungkin tidak masalah bagi agama mayoritas, tapi akan merugikan umat agama minoritas. Celakanya peran pemerintah untuk memfasilitasi kelompok minoritas kerap tidak dijalankan secara maksimal,” tegas Agus dalam Peluncuran Kajian Komnas HAM RI atas PBM 2 Menteri pada 2020 silam.
Setelah sekian lama menuai protes dari berbagai pihak, pada Juni 2023 Kementerian Agama pun menargetkan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) yang mungkin bisa menjadi solusi bagi kelompok minoritas beragama untuk terbit tahun ini. Beberapa hal yang berubah di aturan itu adalah pendirian rumah ibadah hanya cukup dengan satu rekomendasi dari kepala kantor Kemenag di daerah setempat. Dan tidak lagi memerlukan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), melainkan cukup diberikan dari kepala kantor Kemenag di daerah setempat. Kita masih menunggu terbitnya Perpres dan realisasinya di lapangan..
Surat izin dari Pemerintah Kota Medan yang dinanti-nanti jemaat GEKI akhirnya terbit juga. Sejak 18 Juni 2023, GEKI dapat kembali melaksanakan ibadah di Gedung Suzuya Mall Marelan. Di hari itu, anggota jemaat dan pihak-pihak pendukung GEKI dengan teratur memasuki ruangan usai bersama melaksanakan pemotongan pita sebagai simbol peresmian kembali tempat ibadah. Beberapa pihak dari gereja lain dan ormas-ormas turut hadir merayakan momen penting bagi GEKI.
Akhir yang bahagia bagi jemaat GEKI setidaknya untuk saat ini. Namun belum jelas apakah oknum-oknum intoleran akan tetap diproses secara hukum dan mendapat sanksi setimpal. Jaminan perlindungan yang lebih baik bagi kelompok minoritas kota Medan dan Sumatera Utara masih menjadi pertanyaan besar.
Selama persyaratan yang ada di PBM 2 Menteri belum disesuaikan dengan kondisi di lapangan, selama itu pula kelompok minoritas beragama tetap rentan mengalami diskriminasi, terpaksa beribadah dengan keadaan tak layak, bahkan merapalkan doa-doa mereka di trotoar berdebu.
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.