Agaknya, menjadi perempuan sama seperti masuk ke maze dalam film The Maze Runner.
Dalam dunia yang memanjakan dan mengagungkan laki-laki, peran perempuan dianggap debu dan figuran saja. Sikap ekspresifnya dilabeli seakan-akan “tidak pantas”, perempuan harus begini, harus begitu, harus bisa ini, harus bisa itu, gak boleh begini, gak boleh begitu. Kehidupan sosial yang judgemental memberi sinyal bahwa perempuan haruslah tunduk pada laki-laki karena laki-laki tidak pernah salah. Ini bukanlah omongan semata, bisa dilihat dari banyak kasus di luaran sana yang melibatkan kedua gender tersebut ketika sedang dalam masalah. Apa yang terjadi? Kolom komentar yang suportif di pihak perempuan rasanya langka, mamun sebaliknya untuk laki-laki.
Kasus di atas timbul karena stigma bahwa laki-laki memiliki pikiran yang lebih bijak dan dewasa, mereka dominan berpikir dengan logika dan perempuan dominan berpikir dengan perasaan. Stigma ini sudah sangat berkembang di masyarakat. Sehingga kita sering melihat pembenaran atas apa yang dilakukan oleh laki-laki.
Beberapa hari yang lalu sempat mengehebohkan dunia Twitter ketika salah satu akun besar di Indonesia dengan pengikut lebih dari 100 ribu, @txtdrkaumbengek membuat cuitan dengan bunyi, “Untuk kalian semua yang suka K-POP atau yg b aja ama kpop, Kalo ampe kaya gini wajar atau lebay sih? (dua emotikon menangis)”, cuitan ini dibarengi dengan unggahan 4 gambar berisi foto dari fans Malaysia dan negara lainnya yang mengoleksi bekas bungkus makanan yang ada sangkut pautnya dengan idola mereka.
Lalu, cuitan ini ramai menjadi perbincangan. Cuitan tersebut seakan menyudutkan perilaku fans dengan admin yang meminta validasi bahwa perilaku mengoleksi bekas bungkus makanan tersebut tidaklah wajar dan lebai. Sedangkan di kolom komentar ada seorang laki-laki yang mengaku bahwa dirinya mengoleksi bekas bungkus hotweels, dan tidak ada sama sekali yang merasa bahwa itu lebay atau tindakan yang tidak wajar. Ini merupakan salah satu contoh patriarki: laki-laki selalu diutamakan daripada perempuan.
Ada satu istilah yang mendukung isu ini, bisa disebut dengan mentrification. Apa sih mentrification itu?
Menurut informasi dari pengguna sosial media Twitter @peachyfraise, istilah mentrification pertama kali dibicarakan oleh pengguna sosial media Tumblr @thelilithnoir dan diunggah kembali tahun 2019 dalam artikel yang ditulis oleh jurnalis Van Badham di The Guardian. Mentrification diartikan sebagai sistem di mana apa yang dikembangkan dan dicapai perempuan oleh lingkungan sosial akan diklaim laki-laki, sehingga laki-laki yang mendapatkan apresiasi atas kerja yang dilakukan oleh perempuan.
Istilah ini lahir atas rasa kekecewaan yang dirasakan oleh @thelilithnoir terhadap lingkungan sosial yang mengagungkan laki-laki atas kerja yang sebenarnya telah lama dilakukan oleh perempuan. Lingkungan seakan-akan selalu memvalidasi apa yang dilakukan oleh laki-laki adalah sebuah kewajaran, sedangkan apa yang dilakukan oleh perempuan dianggap awam dan menjijikkan.
Untuk memudahkan, akan dilampirkan contoh nyata dari mentrification. The Beatles merupakan band beraliran rock asal Liverpool yang memulai berkarir dari tahun 1960an. Pada awalnya The Beatles dianggap sebagai wabah, di mana saat itu penggemarnya didominasi oleh perempuan. Fenomena ini dianggap merusak moral anak-anak dan perempuan karena pada masa itu perempuan dituntut bersifat feminin, dilarang ekspresif seperti berteriak, dan menyalurkan rasa suka mereka terhadap sesuatu.
Fans yang memang dominan wanita kerap dilabeli sebagai remaja hormonal dengan sikap ala anak-anak, perilaku fanatik, dan obsesi yang berlebihan. Label ini terus berkembang dari dahulu dan tidak pernah padam, bahkan pernah dijuluki sebagai female historia.
Istilah female historia sendiri sudah digunakan sejak tahun 1900an sebagai diagnosa medis yang dilakukan dokter untuk perempuan. Pada masa itu dokter percaya bahwa perempuan itu secara biologis sebagai makhluk yang tidak bisa diandalkan, sehingga seperti sebuah kewajaran jika perempuan mendapatkan label female historia. Sehingga menunjukkan rasa suka perempuan terhadap The Beatles dirasa salah dan menjijikkan. Mereka harus melewati stigma itu untuk sesuatu yang mereka sukai. Hingga ada pada masa di mana laki-laki juga mulai menyukai The Beatles dan beranggap bahwa mereka cocok untuk mendapatkan teriakan-teriakan akan karya mereka.
Akhirnya, The Beatles semakin banyak dinikmati orang dengan demografi lebih luas setelah mendapat validasi dari kaum laki-laki saat itu. Sejak saat itu, The Beatles mulai dikenal sebagai band aliran rock paling legendaris.
Perempuan-perempuan dan rasa sukanya terhadap The Beatles barulah dianggap sebuah kenormalan baru.