Oleh: Rati Handayani
Ini kisah kali pertama UKT diterapkan di USU.
Muammar Abidin mendatangi LayaPengadaan Secara Elektronik (LPSE) sekaligus kantor Helpdesk di lantai empat Biro Rektorat, Jumat 13 September. Ia ingin melaporkan kesalahannya dalam mengisi data Uang Kuliah Tunggal (UKT). “Saya salah mengisi data pendapatan orang tua,” tambahnya. Ia merasa uang kuliahnya lebih mahal. Di sana, ia bertemu salah seorang pegawai Helpdesk UKT dan diminta membuat surat laporan ke fakultas.
Mahasiswa baru (maba) Fakultas Kehutanan (Fahuta) ini bilang saat pengisian ia menulis pendapatan orang tuanya per bulan Rp 3 juta, padahal pendapatan ayahnya sebagai petani hanya Rp 1,5 juta per bulan, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga. Ia punya dua orang adik. Satu orang di sekolah dasar dan satu lagi di sekolah menengah pertama.
Muammar mengaku yang mengisi data UKT secara online bukan dia tapi pamannya karena saat itu ia berada di rumah pamannya. Sebelum diterima di Fahuta, Muammar tidak tahu UKT. Ia tahu UKT ketika pelaporan. Sebelumnya, ia kira pembayaran uang kuliah masih sama dengan sistem lama yaitu membayar Dana Kelengkapan Akademik (DKA) dan pembayaran SPP yang sama tiap mahasiswa, sehingga uang kuliah bisa dijangkau ekonomi keluarganya.
Saat pengisian data UKT ia tak mengkonfirmasi data yang diisikan dengan orang tuanya. Sekarang ia harus membayar UKT Rp 2,1 juta per semester dan ayahnya memintanya mengurus penurunan nilai UKTnya. Menurutnya, UKT tidak lebih baik dari sistem pembayaran uang kuliah lama. “Dengan adanya
UKT ini, uang kuliah justru semakin mahal, mendingkayak dulu,” katanya.
Begitu pun dengan Yahya Kurnia, maba Administrasi Perpajakan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). Ia baru tahu UKT ketika pelaporan berkas setelah dijelaskan seniornya. Saat itu pula, ia tahu ada dua macam UKT yakni UKT penuh dan berkeadilan. Merasa syarat-syarat UKT berkeadilan terlalu banyak dan merepotkan seperti harus ada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), ia memilih UKT penuh berharap mekanisme pengisian form UKT lebih sederhana.
Penghasilan orang tua Rp 13 juta per bulan, tak punya mobil, punya satu sepeda motor, satu rumah, satu kulkas, dan tak berlangganan PDAM. Akhirnya ia membayar UKT sebesar Rp 3,7 juta per semester. Awalnya, ia urung kuliah mengingat penghasilan orang tuanya, namun ia tetap melanjutkan kuliah. “Mau tak mau,” ujarnya.
Cerita lain datang dari maba Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Fahmi Adlyansyah Idris. Fahmi mengisi data UKT berkeadilan. Dari empat bersaudara baru ia yang kuliah. Tak memiliki mobil, punya dua sepeda motor, dan penghasilan orang tua sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Rp 5 juta per bulan. UKTnya sebesar Rp 3,8 juta per semester.
Melihat UKT-nya, Fahmi sempat ragu melanjutkan kuliah di USU dan memutuskan berdiskusi dengan orang tuanya karena harus segera membayar UKT sebelum mengikuti tes kesehatan. Mengetahui UKT yang cukup mahal di USU, ibunya meminta Fahmi untuk meninggalkan USU dan mengganggap universitas swasta seperti Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) lebih murah apalagi bisa dicicil.
Pupus sudah keinginannya kuliah di Etnomusikologi. Kini, Fahmi kuliah di UMSU. Di sana, setahun ia bayar uang kuliah Rp 3,7 juta dan bisa dicicil lima kali dalam setahun. Namun, di awal ia membayarkan Dana Kelengkapan Akademik Rp 5 juta. “Lebih mahal kuliah di negeri dari swasta,” keluhnya.
Bila kuliah di USU ia harus membayar Rp 7,6 juta per tahun. Apalagi tak ada pemberitahuan boleh dicicil atau tidak. “Jelas orang tua saya tidak mampu,” tambahnya.
Cerita UKT tanpa masalah dirasakan Rendi Annur, maba Teknik Mesin Fakultas Teknik. Ia tak mengalami kesusahan dalam pengisian karena telah membaca petunjuk yang dibagikan sebelum pengisian. Rendi merasa UKT yang dibayar Rp 3,1 juta per semester sudah sebanding dengan pendapatan kedua orang tuannya sebagai PNS walaupun ia punya dua saudara yang juga tengah kuliah. “Harapan saya, memang tidak ada lagi pembayaran lain di kampus ini termasuk perlengkapan lab,” katanya.
Lain lagi dengan Hasbi Aulia Siregar maba Akuntansi Fakultas Ekonomi. Hasbi tak percaya UKT yang dibayar hanya Rp 500 ribu per semester. “Padahal ekonomi keluarga saya mapan,” sebutnya. Ia heran, sebab saat mengisi UKT ia menulis pendapatan orang tua Rp 15 juta per bulan. Punya satu mobil, satu sepeda motor, dan rumah. Karena itu, ia tak menyangka mendapat UKT paling rendah. Ia memilih UKT berkeadilan, sebab tak paham beda UKT penuh dan berkeadilan. Orang tuanya curiga ada kesalahan pada perangkat lunak penghitung UKT.
Orang tuanya lantas menyuruh Hasbi untuk mengurus kembali UKTnya, karena merasa tak layak membayar Rp 500 ribu per semester. “Harusnya lebih,” Hasbi menirukan ayahnya. Saat pendaftaran ulang, Hasbi menanyakan perkara tersebut ke petugas. Namun, petugas tersebut malah menyarankan Hasbi untuk diam. “Bersyukur sajalah dapat segitu,” ujar petugasnya kala itu.
Merasa tak berhak dengan UKT tersebut. Rencananya, Hasbi akan melapor ke bagian keuangan untuk menentukan UKT yang seharusnya ia bayar berdasarkan kemampuan ekonomi orang tuanya.
Menanggapi permasalahan UKT yang dirasa tak sebanding dengan pendapatan orang tua, Staf Ahli Pembantu Rektor II Aulia Ishak bilang pihaknya akan melakukan evaluasi. Evaluasi akan dilakukan tiap semester. “Jika merasa keberatan dengan UKT yang dibayar, silakan mahasiswa baru melapor pada pihak fakultas kemudian nanti akan diverifikasi lagi,” ujarnya.
Pelaporan ke fakultas akan dibuka Oktober mendatang. Jadi, semester depan nilai UKT yang dibayar bisa berbeda. Aulia tak menampik waktu singkat dari kementerian untuk menerapkan UKT sehingga ke depannya perlu adanya perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaannya. Ia bilang tak ada aturan UKT bisa dicicil dari Direktorat JendralPendidikan Tinggi.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Bisru Hafi bilang sejauh ini tak ada laporan dari calon mahasiswa yang tidak kuliah di USU karena UKT. “Jika menduga-duga akan sulit karena beda dengan kenyataan. Namun ada indikasi karena biaya kuliah, lulus di prodi pilihan kedua atau mungkin lulus di seleksi lain,” jelasnya.
Cerita di Helpdesk
Bisru menyampaikan Helpdesk UKT sebagai pusat bantuan dibentuk melihat banyaknya maba yang bingung saat pelaporan dan orang tua yang protes tentang nilai UKT. “UKT adalah program baru, wajar jika dibentuk Helpdesk UKT,” tambahnya.
Baihaqi Siregar, Ketua Helpdesk UKT sekaligus Ketua LPSE beranggota empat orang. Tiga orang berasal dari LPSE yakni Mukhlis, MYusrizal dan Jefri Fauzul, dan Joko Susilo dari bagian keuangan bertugas menjawab setiap telepon yang masuk. Helpdesk mulai beroperasi 22 Juli hingga 28 Agustus kecuali Minggu dan harilibur, mulai pukul 09.00 hingga 15.00 WIB.
Layanan yang diberikan Helpdesk meliputi reset password, reset data dan input data ke uktdatareg.usu.ac.id tapi Helpdesk tak bisa mengurangi besaran UKT. Jefri Fauzul, pegawai Helpdesk UKT pun membenarkan hal itu. Data penelepon dan pengunjung Helpdesk tak bisa diberikan Baihaqi atau Jefri. “Kami (Helpdesk UKT -red) tak punya data berapa jumlah maba yang menelepon. Rata-rata ada seratus mahasiswa yang menelepon. Kalikan saja empat, begitulah jumlah rata-rata dalam sehari,” jelas Jefri.
Jefri bilang Helpdesk UKT hanya dibekali telepon genggam sederhana untuk melakukan tugas. “Enggak canggih. Cuma telepon jadul Flexiitu. Jika dilihat panggilan dihandphone itu sekarang, otomatis sudah terhapus sendiri,” ujarnya. Masalah yang banyak ditanyakan penelepon yakni teknis pengisian data UKT. “Padahal petunjuk pengisian sudah ada di situsUSU dan bisa di-download. Juga sudah dibagikan saat pelaporan,” tambahnya.
Sebenarnya, maba atau orang tua yang protes UKT tak boleh langsung datang ke Helpdesk, namun masih ada yang datang. Perihal jumlah yang datang tak bisa dipastikan karena tak ada catatan. Jika dihitung hitung, maba program DIII yang paling banyak mendatangi Helpdesk dibandingkan maba jalur lain. Kebanyakan dari maba DIII salah mengambil UKT.
Ketua Front Mahasiswa Nasional Ranting USU Thariq Tsaqib mengatakan masalah UKT bukan
hanya masalah teknis. Ada masalah fundamental yakni pemerintah perlahan melepas tanggung jawab di bidang pendidikan. “Kuota kategori satu dan dua UKT juga dibatasi. Sejak awal kita melihat adanya komersialisasi pendidikan,” ujarnya.
Jika dibandingkan dengan uang kuliah lama, uang kuliah dengan sistem UKT naik 30 hingga 100 persen. Terkait masalah teknis penerapan UKT, Thariq meminta transparansi agar tak ada penggelapan. Selain itu peran Helpdesk pun harusnya proporsional. “Sesuai dengan kemauan mahasiswa,” tambahnya. Setelah UKT ini diterapkan, Thariq meminta agar pemungutan liar benar-benar tidak ada.
Mutsyuhito Sholin, dosen Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan (Unimed) yang juga pengamat pendidikan menilai, adanya UKT bagus untuk menata manajemen keuangan universitas. “Jelas berapa proyeksi pendanaan mahasiswa dan pengutipan bisa ditiadakan,” katanya. “Mutu biasanya sama dengan harga.”
Artinya semakin tinggi harga yang dibayarkan hendaknya semakin baik mutu universitas.
Mutsyuhito menjelaskan UKT di Unimed sendiri, untuk fakultas noneksak yakni Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Ekonomi, Fakultas Bahasa dan Seni, Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Fakultas Ilmu Sosial masingmasing terdiri atas lima kategori. Masing-masing membayar per semester Rp 500 ribu untuk kategori satu, kategori dua Rp 800 ribu, kategori tiga Rp 1,2 juta, kategori empat Rp 1,3 juta dan kategori lima Rp 1,6 juta.
Dengan adanya UKT, seharusnya proses belajar-mengajar dan kebutuhan sarana prasarana menjadi perhatian utama. “Jika mahasiswa sudah bayar UKT mahal, mahasiswa juga bisanuntut,” tambahnya. Sisi negatif UKT pun diakui Mutsyuhito. “Mungkin mahasiswa merasa tak sanggup,” ungkapnya.
Karenanya analisis data harus kuat dan benar sehingga tidak ada kesalahan dalam proyeksi pendanaan. Ia menyadari partisipasi masyarakat untuk membayar pendidikan juga masih rendah.
Koordinator Liputan: Rati Handayani
Reporter: Apriani Novitasari, Erista Marito O Siregar, Ridho Nopriansyah, dan Rati Handayani
Laporan ini dimuat dalam Tabloid Mahasiswa SUARA USU Edisi 94 yang terbit Oktober 2013