“Kami dulu lebih parah loh dek” sebuah pembelaan diplomatis yang tak ada habisnya
Masih hangat di relung ingatan kita kasus dimana seorang mahasiswi dipermalukan saat kegiatan penerimaan mahasiswa baru di Universitas Negeri Surabaya perkara gesper oleh seniornya atau yang berita paling baru mengenai tewasnya seorang mahasiswi di Universitas Muslim Islam Makassar saat perkaderan senat di kampusnya. Dugaan kelelahan begitulah terang Kapolsek setempat, bagaimana tidak? Mulai dari jalan jongkok, merayap di kali, dan berendam di kolam menjadi serangkaian kegiatan yang dilakukan.
Kejadian-kejadian ini menjadi segelintir dari banyaknya bukti, betapa masih masifnya senior-senior melanjutkan tradisi konyol. Dengan alasan karena itu sudah menjadi tradisi atau adat istiadat tahunan yang kerap dilakukan.
Saya memahami senior-senior tersebut pastilah tidak langsung memiliki sebuah ilham atau kepikiran untuk melakukan hal-hal nyeleneh tersebut, pastilah dimulai dari para pendahulu kemudian melalui proses yang sangat panjang sehingga bisa dinormalisasi. Peran-peran senior pendahulu bermain besar di ajang ini. Tidak lupa! Rasa ingin membalas apa yang sudah dialami harus diwariskan juga kepada generasi lanjut.
Dengan dalih agar menumbuhkan rasa kedekatan atau bahkan persaudaraan juga menjadi argumen yang sering diucapkan mengapa tradisi dengan jalan kekerasan mental maupun fisik masih kerap berjalan hingga saat ini. Bagus Muljadi seorang ilmuwan diaspora pun beranggapan bahwa tradisi kegiatan yang masih menggunakan kekerasan dianggap sebagai alat interaksi atau kupon masuk seseorang untuk diterima dalam suatu komunitas.
Proses yang terus berjalan secara kontinyu ini terkadang tidak disadari bahkan tidak diketahui oleh pelaku dan korban. Normalisasi dan pembelaan bahwa mereka juga mendapatkan hal yang sama dulunya, bagaikan lingkaran tanpa ujung.
Seperti saya sudah singgung diatas peran senior pendahulu bermain besar dalam lingkaran ini, atau istilahnya disebut adanya relasi kuasa antara kelas dominan yaitu senior terhadap kelas bawah.
Kelas dominan kerap sekali merekayasa dan memanipulasi sehingga menimbulkan pemahaman pada kelas bawah bahwa hal ini memang wajar dan dibenarkan keadaannya. Bahkan tidak menutup kemungkinan senior kelas atas justru mewajibkan agar melanjutkan tradisi-tradisi nyeleneh. Mungkin sebuah kebanggaan bagi pencetus tradisi karena tradisi yang diciptakan masih berlanjut.
Relasi kuasa adalah hal yang cukup berhubungan dengan kekerasan bahkan Bordieu seorang filsuf perancis dalam perspektifnya tentang kekerasan beranggapan bahwa dominasi kelas atas terhadap kelas bawah membuat rangkaian budaya kekerasan ini menjadi sebuah habitus. Kelas bawah dipaksa untuk menerima, menjalani dan mempraktikkan bahkan mengakui.
Melansir dari apa yang coba diungkapkan oleh Bordieu tentang habitus, yang terjadi bukanlah sesuatu yang natural atau memang sudah kodratnya begitu, tetapi ini terjadi atas peran senior pendahulu yang menelusupkan bahwa tradisi konyol ini memanglah sudah kodratnya dan harusnya begitu.
Hal ini dianggap sebagai bentuk pendisplinan atau cara pendekatan personal yang mereka inginkan. Padahal ini adalah kontruksi, dibangun dengan menormalisasi sebuah kekeliruan.
Kontruksi yang telah dibangun kemudian dijalankan dan melebur menjadi sebuah kebiasaan (habitus) sehingga para senior sebagai kelas yang mendominasi menerapkan suatu makna kepada para juniornya sebagai suatu hal yang absah.
Terlepas bagaimana kontruksi ini dibangun dan diinternalisasikan, wawasan yang benar menuntun pada tindakan yang benar begitulah yang dikatakan Socrates. Saya tidak memahami wawasan apa yang diilhami sehingga menghasilkan tradisi konyol seperti ini. Sudahlah konyol berujung kekerasan lagi.
Cukup! Akui sajalah, bahwa tradisi konyol ini sudah tidak relevan lagi saat ini, tidak ada pembenaran bahwa sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan menahun merupakan hal yang baik dan harus tetap dilanggengkan terus menerus.
Berhentilah membodohi diri terlebih-lebih melakukan pembelaan bahwa tradisi konyol adalah hal yang wajar. Apalagi sampai-sampai dendam kesumat untuk orang lain harus merasakaan apa yang dialami dulunya harus terealisasikan. Jika memang pernah mengalami, silahkan berhenti di diri anda saja. Tak perlu harus memaksakan orang mengalami apa yang anda alami.
Gunakanlah citra dominasi yang kental untuk mendominasi hal yang baik. Banyak cara untuk melakukan pendekatan lebih elok dan lebih pantas untuk diterapkan, pelanggengan tradisi konyol hanyalah sebuah bentuk manifestasi keegoisan semata yang tak ada faedahnya.
Dan sekali lagi semua yang menahun belum tentu baik.