Oleh: Yulien Lovenny Ester Gultom
Kalau tidak sekolah, inilah yang akan dikerjakannya; menjadi buruh.
Syahdan, anak laki-laki berusia lima belas tahun itu sama seperti anak SMP pada umumnya. Ia hobi bermain usai pulang sekolah. Teman sebayanya tak hanya bermain, bahkan sudah belajar mencari uang. Sepulang sekolah teman-temannya pasti akan melancong ke kebun sawit untuk bekerja. Hal ini lumrah dilakukan anak-anak seusianya di Tebing.
Siang itu Suherman sudah tiba di rumah. Abang Suherman yang sehari-hari bekerja serabutan mengajaknya turut serta. Hari ini ia akan membantu abang untuk bekerja, memotong sawit, dan mengangkut buah sawit yang telah dipanen.
Mula-mula Suherman senang sekali diajak untuk bekerja. Tapi baru beberapa jam bekerja ia tidak kuat, panas membakar kulitnya, peluhnya berjatuhan. Tenaganya tak cukup kuat. Tak hanya bekerja di kebun kelapa sawit, kadang ia juga membantu abangnya bekerja sebagai tukang bangunan, tapi tetap saja hal serupa selalu dirasakannya. Lelah.
“Ah, tak betul kalau bekerja sampai seperti ini,” pikirnya dalam hati.
Tekadnya pun bulat, bahwa ia harus mengubah hidupnya. Tidak boleh lagi bermain-main untuk masa depannya. Ia iseng membuka lowongan pekerjaan di koran, dan ia heran kenapa lulusan sarjana mampu memiliki gaji yang tinggi, tidak seperti tukang bangunan atau pekerja di kebun.
Suherman kini semakin yakin untuk melakukan perubahan, sejak kelas dua SMA ia mulai fokus membuat target untuk hidupnya.
“Habis dari SMA aku harus ke mana?” pikirnya lagi. Satu mimpinya, ia harus ke perguruan tinggi.
Mula-mula untuk menggapai mimpinya ia meminjam buku SMA kelas satu yang tidak ia miliki dari salah seorang temannya. Dibukanya daftar isi, ditandai dan dipelajari bab mana yang belum ia kuasai. Pulang sekolah ia langsung belajar, usai makan ia langsung melanjutkan pelajarannya, begitu seterusnya.
Suherman kini menjadi anak yang tertutup. Ia jarang mau bergaul, tapi tak berarti ia pelit ilmu. Ia tetap mengajari kawan-kawan sekelasnya yang membutuhkan bantuan, tapi ia tak begitu aktif di kelas. Beasiswa pertama yang ia dapatkan bukan karena nilai tapi karena tak pernah ia absen.
“Yang dekat sama guru, mereka dapat beasiswa, saya kan tidak,” ceritanya.
Walau tak banyak bersosialisasi, nyatanya Suherman memperoleh nilai terbaik sehabis SMA, tiga pelajaran yang dalam Ujian Nasional mendapat nilai sepuluh, sisanya sembilan koma. Prestasi ini memantapkannya untuk lanjut ke perguruan tinggi.
Hendak lanjut ke jenjang yang lebih tinggi ia sempat minder sebab ayahnya bekerja sebagai tukang becak dan ibunya hanya berjualan makanan di depan rumah. Rasanya tak mungkin sekolah terlalu tinggi sebab biaya tak ada.
Suherman mencoba jalur Penerimaan Mahasiswa melalui Prestasi (PMP) sebab nilai ujian akhirnya cukup memuaskan. Ternyata benar saja, ia lulus di Teknik Elektro USU. Kecintaannya pada bidang fisika dan matematika mengantarkannya masuk ke USU.
“Sejak kecil saya suka otak-atik barang elektronik,” paparnya.
Masuk USU dengan jurusan Teknik Elektro tidak membuatnya senang. Pasalnya ia harus membayar biaya masuk USU sebesar delapan ratus ribu rupiah. Jumlah ini dirasa cukup besar. Beruntung saat itu abang Suherman memiliki rezeki untuk membiayai kuliahnya.
Kehidupan kuliah Suherman mulai berjalan, ia masih tetap serius dan fokus. Sadar jika ia bermain-main sedikit masa depannya terancam. Pulang kuliah ia selalu singgah ke perpustakaan kemudian ke kos begitu seterusnya.
Meski tetap belajar rutin, biaya hidup di Medan pun harus ia pikirkan sebab dana terbatas, Suherman mulai memanfaatkan ilmunya, ia pun mengajar privat SD. Menjadi guru membuat Suherman mampu membiayai hidupnya dan bertahan hingga lulus kuliah. Sebelum lulus kuliah, ia kembali berpikir akan kemana saya setelah ini?
Ia masih tetap khawatir dengan masa depannya dan sadar ada satu lagi kekurangan yang ia miliki. Ia tak mampu untuk berbahasa Inggris. Suherman lalu mengambil les bahasa Inggris untuk menunjang masa depannya ketika masuk semester lima.
“Saya masuk green class, isinya anak SD,” ujarnya sambil tertawa.
Ia tak malu, bahkan ia semakin semangat untuk belajar. Kemampuannya kembali diasah setelah ia mendapat tawaran untuk mengajar Fisika dengan bahasa Inggris di salah satu kelas internasional. Dengan bahasa Inggris yang tidak begitu lancar, ia tetap fokus.
“Baru kali itu saya stres mengajar,” kenangnya lagi.
Tamat kuliah, ia mulai mencari pekerjaan dan surat lamaran ke berbagai perusahaan semua dimasukkannya. Ada beberapa tawaran di luar pulau Sumatera, bahkan ia ditawarkan untuk berangkat ke Cina tapi ia menolak, masih masalah biaya.
Perjalanan yang panjang menghantarkan Suherman bekerja sebagai dosen di USU, ia sebelumnya mengajar di Politeknik di daerah Riau, lalu pindah ke USU sebab ditawari untuk mengajar.
Di USU, Suherman kembali merencanakan masa depannya, ia mulai mencari beasiswa untuk melanjutkan jenjang pendidikannya ke S-2. Ada dua negara yang menjadi targetnya, Jerman dan Australia.
Ia mengaku jika sudah memiliki target, ia akan serius menggapainya. Benar saja, dua beasiswa didapatnya Jerman dan Australia. Ia lebih memilih Australia karena tak perlu report-repot belajar bahasa selain bahasa Inggris. University of Melbourne di bidang IT cita-cita selanjutnya.
Baru berjalan dua semester, Suherman tidak merasa puas belajar. Di sana semuanya harus mencari sendiri dan tidak ada kelas-kelas pendahuluan untuk mengisi diri. Memang ia akui University of Melbourne sangat baik dalam hal riset. Ia bernegosiasi untuk pindah universitas. Upayanya berhasil. Royal Melbourne Institute of Technology University menjadi tempat Suherman menyelesaikan S-2.
Sebelum usai menamatkan sekolah di RMIT, Suherman kembali menggaungkan pikiran yang sama, habis ini aku kemana?
Suherman kembali membuat target, ia memutuskan untuk melanjutkan S-3. Kebetulan ada beasiswa pendidikan tinggi untuk melakukan penelitian. Dengan berbagai pertimbangan biaya dan waktu, Suherman memutuskan untuk melanjutkan S-3 di Inggris.
Sebelum melanjut ke S-3 ia memutuskan untuk balik ke Indonesia mempersiapkan segala hal. Ia sempat diminta tidak pergi dan mengajar dahulu. Namun hal itu tak jadi penghalang. Suherman tetap berusaha dan berhasil meyakinkan dekan agar ia bisa berangkat. Izin diperolehnya. Ia akhirnya memboyong anak dan istrinya untuk tinggal di Inggris.
Kesulitan masih tetap ia alami, masih kendala biaya. Di Inggris biaya hidupnya cukup tinggi, ia pun menyewa apartemen dengan biaya yang murah, tak hanya itu ia coba bekerja sama dengan dosennya agar ia langsung mengambil riset untuk penelitian tanpa mengambil mata kuliah lagi.
Ia berhasil, dosen mengizinkan dengan syarat ia harus mampu mempublikasikan sebanyak tiga hasil penelitiannya. Masih dengan tekad yang kuat Suherman berhasil menyelesaikan kuliahnya selama setahun. Barulah ia kembali ke Indonesia.
Suherman kini terikat kontrak dengan USU, ia harus mengabdi tujuh tahun untuk USU. Kini, ia merupakan salah satu dosen yang mampu memotivasi siswanya untuk meneliti. Mahasiswa pun dekat dengannya.
Salah satunya Junaidi Teguh Siregar, mahasiswa Teknik Elektro 2012 yang menjadi mahasiswa bimbingannya untuk skripsi. “Salut kalilah nengok Bapak itu,” ujarnya.
Junaidi merasa sebagai dosen, Suherman mampu menjadi motivator untuk mahasiswa agar tetap semangat kuliah. Di kelas, Suherman bahkan tak pernah marah atau memaksa mahasiswa untuk kuliah. Ia hanya berpesan untuk bertanggung jawab pada orang tua yang telah menyekolahkan sebab ia sudah merasa sulitnya kuliah dengan biaya terbatas.
Tak hanya itu, menurut Junaidi semua materi kuliah yang diberikan Suherman benar-benar mendalam, semua diberikan Suherman untuk mahasiswanya. Pribadinya pun dianggap asyik oleh mahasiswa, seperti anak muda, enak diajak bercanda tapi jika sedang serius Suherman benar-benar serius. “Walau dia dosen muda, dia yang paling disegani, disegani karena ilmunya,” papar Junaidi.
Kini, dosen sekaligus Ketua Departemen Teknik Elektro ini masih gemar memotivasi mahasiswa untuk meneliti dan memberikan masukan untuk judul penelitian tak jarang ia juga memberi tips untuk berkuliah di luar negeri. Berbagai target dan impian sudah dicapainya.
Hanya, ada satu penyesalan Suherman dalam hidupnya, ia terlalu serius menjalani kehidupan. Belajar tanpa henti, dan lupa untuk berorganisasi. Menurutnya ini penting, sebab dalam kehidupan tak bisa dilepaskan dari orang lain. Suherman berpesan agar mahasiswa harus berani ke luar melihat dunia, jangan cepat puas dan fokus pada tujuan karena masa depan perlu untuk diperjuangkan.
Biodata
Nama: Suherman
Tempat/Tanggal Lahir: Tebing Tinggi/2 Februari 1978
Alamat: Komplek GIM B6 Jl. Nusa Indah Asam Kumbang, Medan
Pekerjaan: PNS
NIDN: 0002027802
Pendidikan Formal:
S3: De Montfort Universiy, Leicester-UK (2010-2013) disponsori DIKTI
S2: Royal Melbourne Institute of Technology, Melbourne-Australia (2008-2009) Disponsori Australia Development Scholarships
S1: Teknik Elektro, USU (1996-2000)
SMA Negeri 2 Tebing Tinggi (1993-1996)
SMP Negeri 1 Tebing Tinggi (1990-1993)
SD Negeri 165730 Tebing Tinggi (1984-1990)
Pendidikan Non-formal:
Short course bidang Bioinformatics, European Bioinformatics Institute, Cambridge-UK (2011)
Summer Academy bidang Mobile Communications, TU-Ilmenau, Jerman (2010) disponsori DAAD
Riwayat Pekerjaan:
Universitas Sumatera Utara (2004-skrg)
Politeknik Caltex Riau (2003-2004)
Quasar Cipta Mandiri (2001-2003)
Riwayat Penelitian:
Hibah Bersaing (2014, 2015, 2016)
Penelitian Fundamental (2015,2016)
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (2016)
Penelitian BP-PTN (2016)
Iptek bagi Masyarakat/IbM (2016)
Pengabdian Masyarakat BP-PTN (2016)
Publikasi:
https://www.researchgate.net/profile/Suherman_Suherman/publications
Tulisan ini pernah dimuat pada Rubrik Profil Tabloid SUARA USU Edisi 108, Oktober 2016.