Oleh: Tantry Ika Adriati
Sherly Yang gadis Tionghoa kelahiran Sumatera Utara. Ia pernah mengenyam rasanya jadi kaum minoritas dan juga mayoritas. Punya ragam prestasi yang bisa dibanggakan sebagai mahasiswa USU.
Ketika tahun ajaran baru tiba, ia memutusan untuk pindah sekolah. Sherly Yang ingin sesuatu yang baru. Lantaran sejak duduk di taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama, Sherly selalu berada di lingkungan yang sama. Selalu dikelilingi masyarakat bermata sipit sepertinya. Orang-orang Tionghoa. Hingga akhirnya ia bersekolah di SMA Methodist-2 Medan.
Di sana Sherly mulai mengenal etnis berbeda. Ia bertemu siswa dengan etnis Batak. Namun Sherly tak begitu susah untuk berbaur dengan teman baru sebab masih banyak siswa Tionghoa di sekolahnya. Di sekolah pun siswa masih terkotak-kotak, siswa Batak selalu bermain dengan satu etnisnya, begitu juga dengan siswa Tionghoa.
Tatkala lulus dari SMA, Sherly memutuskan melanjutkan studi di USU mengambil jurusan Kimia di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Orang tua Sherly juga was-was karena khawatir dengan lingkungan yang akan dihadapi Sherly. “Mama sempat nanya berapa orang teman kuliah saya yang chinese.”
Lucu, pikir Sherly. Sikap orang tuanya malah membuktikan bahwa di Medan ternyata masih banyak orang yang memandang ras dan etnis. Padahal semua sama-sama rakyat Indonesia, bermukim di Sumatera Utara. Sherly berusaha mengerti orang tuanya. Kekhawatiran ini mungkin terjadi karena trauma kerusuhan pada Mei tahun 1998. Kekerasan terhadap kaum Tionghoa.
Sherly tak menampik mengalami culture shock saat memasuki tahun ajaran baru. Hal yang baru pertama kali dirasakannya; selalu saja mata mahasiswa tertuju padanya. Karena ia punya kulit yang lebih putih dan mata yang lebih sipit dibandingkan mahasiswa kebanyakan.
Sherly tertawa. Itu adalah pengalaman pertamanya merasakan menjadi kaum minoritas di kampus. Padahal biasanya ia yang selalu menjadi kaum mayoritas saat berada di sekolah. “Sekarang saya bangga bisa keluar dari comfort zone,” ungkapnya.
Beberapa bulan lalu, Sherly menggagas gerakan sosial toleransi bernama Medan Tanpa Kotak. Gerakan yang bergerak di bidang sosial seperti kampanye ke komunitas yang ada di Medan, menempel stiker di tempat-tempat ramai, hingga sosialisasi saat ada kegiatan sosial.
Ia ingin menanamkan dan menyadarkan betapa pentingnya sikap toleransi antarsuku dan etnis di Medan. “Ketika orang baca dan mendengar, pesannya akan tersampaikan.” Kegiatan ini ditujukan untuk menyadarkan seluruh masyarakat agar tidak mengotak-kotakkan Medan. Minimal orang-orang akan lekat dengan semboyan Medan Tanpa Kotak.
Sherly punya cita-cita suatu saat nanti masyarakat di Medan hidup tenteram tanpa ada kotak-kotak. Misalnya tak perlu ada perumahan etnis Tionghoa, India, atau Batak. Warga hanya perlu tinggal di daerah yang sama dengan menghargai budaya masing-masing. Tak perlu terkotak-kotak seperti sekarang yang dilihat Sherly.
Aulia Satria merupakan teman yang baru dikenal Sherly selama dua tahun belakangan semenjak bergabung di XL Future Leaders. Bagi Aulia, Sherly merupakan sosok yang gigih dan optimis. Gadis kelahiran Pematang Siantar itu partner yang asik diajak diskusi meski berasal dari etnis yang berbeda.
“Sherly punya visi yang bagus, tinggal disusun lebih rapi lagi agar lebih fokus,” ungkapnya. Menghabiskan waktu dengan Sherly membuat Aulia akhirnya memutuskan menggagas Medan Tanpa Kotak sebagai project bersama terakhirnya. Pesannya hanya satu, tetaplah jadi pribadi seperti adanya Sherly Yang.
Punya Segudang Prestasi dan Cita-Cita
“Saya senang ngomong,” ungkapnya ketika ditanyakan mengenai hobi. Maka saat kuliah di USU, ia menghabiskan waktu luangnya untuk mengajar les bahasa Inggris setiap harinya. Ia ingin mengimplementasikan fungsi dirinya dalam tri darma perguruan tinggi; belajar, meneliti, dan mengabdi.
Kemampuan bahasa Inggris Sherly membawanya berhasil lolos saat seleksi peserta Indonesia, Malaysia, Thailand-Growth Triangle (IMT-GT) Juli lalu. Setelah pulang dari Thailand, Agustus lalu ia berhasil membawa pulang medali emas sebagai peraih Best Presentation Award.
Sherly juga senang meneliti. Penelitiannya mengenai pemanfaatan limbah kopi sebagai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berhasil membawanya menjadi Mahasiswa Berperestasi FMIPA tahun 2015-2016. Kini ia juga sedang mempersiapkan penelitian yang dibiayai oleh Tanoto Foundation tentang partikel karbon yang dapat berfluoresensi.
Selagi menyelesaikan project dan penelitiannya, Sherly juga tak lupa mempersiapkan skripsi. Mahasiswa semester tujuh ini tak muluk-muluk, ia hanya ingin tamat di semester sembilan. Sebab kesibukannya kini tak hanya sebagai mahasiswa, masih banyak kegiatan lain seperti meneliti, mengajar, dan kampanye Medan Tanpa Kotak.
Ia banyak menemukan orang-orang yang lebih berprestasi. Hal itulah yang membuat Sherly tak lantas cepat puas. Jika ada perlombaan yang dibuka ia pasti selalu ikut. Tahun depan ia juga ingin mencoba lagi pemilihan mawapres tingkat universitas. “Mana tahu bisa jadi Mawapres USU 2017,” katanya optimis.