Oleh: Franky Febryanto Banfatin
Banyak fakta memaparkan bahwa mahasiswa—yang merupakan cikal bakal pemimpin bangsa—mayoritas masih enggan untuk berwirausaha. Mereka enggan melakukan aktivitas atau kegiatan yang menghasilkan nilai lebih berupa keuntungan dengan berani dan mandiri.
Secara kasat mata, hal ini dapat dilihat dari minat mahasiswa berwirausaha baik di lingkungan kampus atau lingkungan tempat tinggalnya. Ya, kalaupun ada, perbandingannya belum melebihi batas ekuilibrium. Bila mencapai level 50:50 saja, ini sudah dapat dikatakan prestasi besar walaupun sifatnya sporadis.
Desakan keadaan ekonomi yang terlalu menghimpit ditambah hasrat akan pencapaian kesejahteraan masa depan dengan cara aman dirasakan menjadi salah satu faktor pembentuk pola pikir ‘pegawai’ bagi sebagian besar mahasiswa di negeri ini. Pola pikir yang cenderung konservatif dan mewabah. Lihat saja para ‘sarjana muda’ ataupun ‘sarjana tua’ yang dengan bangganya turut berbondong-bondong mengantri ribuan panjangnya untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) setiap kali penerimaan pegawai pada instansi pemerintahan dibuka. Pun terjadi pada perusahaan swasta.
Inilah yang saya maksud dengan pola pikir ‘pegawai’. Polanya standar, kerjaannya relatif jelas (walaupun yang tidak jelas sering dipaksa agar terlihat jelas), lebih terjamin dari segi finansial karena ada jaminan hingga tua bagi PNS dan gaji yang relatif besar bagi pegawai swasta perusahaan besar maupun asing. Sedikit banyak aroma pikir ini mungkin juga sudah dibumbui oleh pemikiran orang tua yang sudah merasakan asam garam atau pahit kehidupan untuk olahan jenjang masa depan si anak. Lebih baik cari jalan aman, cari kerja yang pasti-pasti saja, pikir mereka.
Menjadi pegawai itu sah-sah saja dan tidak salah. Namun, realita daya tampung tenaga kerja di Indonesia ini ibaratnya seperti mengambil air laut dalam sekali gayung. Orang-orang di dalam gayung itulah yang akhirnya mendengar kalimat “Selamat, anda terpilih! Silahkan bekerja”, sisanya mendapat kartu bertuliskan “Maaf, anda belum beruntung” atau “Coba lagi!” Mereka pun akhirnya menambah keanggotaan sekelompok massal dengan label pengangguran.
Kalau sudah begini lantas siapa yang salah? Pemerintah yang seharusnya menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk rakyatnya atau rakyatnya yang memang kurang kreatif untuk lepas dari belenggu antrian ‘menagih hak kerja’ dan mencari solusi mencari jalan lain?
Keinginan mahasiswa yang kelak ingin bekerja menjadi pegawai sedikit banyak telah mencitrakan sikap calon penerus bangsa yang kurang kreatif, inovatif, pro aktif, dan belum berani mengambil risiko. Bagi yang sudah memiliki kecerdasan tujuan hidup yang jelas, motivasi kuat, keinginan serta tekad besar untuk merintis dari awal, pilihan menjadi pegawai tidak menjadi soal karena sudah memiliki modal kuat untuk melangkah maju menjadi seorang kepala pemerintahan atau perusahaan ke depannya. Bagi yang masih keblinger, ragu-ragu, mengambang, atau bahkan tidak tahu arah tujuan sama sekali, mungkin berwirausaha dapat menjadi pilihan.
Pentingnya Pendidikan Wirausaha
Mahasiswa memang belum cukup identik dengan wirausaha namun beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia yang bekerja sama dengan pemerintah sudah banyak yang menyuntikkan mata kuliah kewirausahaan dan usaha kecil menengah pada beberapa fakultasnya.
Hal ini dirasa cukup penting sebagai modal anti pengangguran. Satu hal yang menggembirakan adalah bahwa pemerintah telah berupaya meningkatkan kapasitas wirausaha mahasiswa dengan membentuk 300 pusat kewirausahaan mahasiswa pada perguruan tinggi-perguruan tinggi yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Pusat kewirausahaan mahasiswa tersebut akan dibangun di seluruh perguruan tinggi negeri dan sekitar 120 perguruan tinggi swasta di Indonesia. Bahkan sudah banyak kegiatan universitas yang mendanai program wirausaha mahasiswa begitupun perusahaan-perusahaan swasta. Secercah harapan.
Berwirausaha berarti siap mengambil risiko dengan apapun yang terjadi dan berani tampil beda. Stereotip mahasiswa menyayangkan ilmu yang mereka dapat di bangku kuliah tidak akan berguna atau terpakai apabila berwirausaha. Ini tentu saja tidak benar karena modal intelektual yang kita dapatkan di bangku kuliah itulah yang justru dapat kita olah, kelola dan jual dalam berwirausaha. Wirausaha tidak harus berbentuk barang tetapi bisa juga berupa jasa konsultasi atau wirausaha sosial. Apapun bentuknya intinya tetap kreativitas dan pengelolaan modal intelektualitas.
Seakan telah dikeraskan pemikiran, kita cenderung mengatakan bahwa mahasiswa kuliah untuk lulus mendapat ijazah lalu bekerja. Benar, kuliah memang persiapan dunia kerja. Namun, tidak salah juga apabila kita sudah mulai bekerja saat kuliah. Berwirausaha dirasa lebih aman dibandingkan menjadi pegawai saat kuliah karena sistemnya tidak terikat dan fleksibel. Kunci suksesnya adalah kemampuan merumuskan tujuan hidup, kemampuan memotivasi diri, inisiatif diri, dan kemampuan memanajemen waktu. Jadi jangan takut berwirausaha.
Mahasiswa sesungguhnya menuai sukses wirausaha tanpa mengabaikan pendidikannya di perguruan tinggi. Misalnya, mahasiswa Ilmu Politik dengan modal intelektual politiknya dapat membuka usaha pelatihan pemikiran politik dasar bagi pelajar SMA, atau mahasiswa Ilmu Komunikasi yang dapat membuat in house training atau pelatihan jurnalistik dasar kepada pengurus klub jurnalistik SMP atau SMA di daerah seputar kampus, mahasiswa Fakultas Pertanian dapat menciptakan pupuk baru dari hasil penelitian dan dibuatkan gerai pupuk organik rakyat, atau mahasiswa Ilmu Sejarah yang dapat membuat sanggar histori nasional bagi kaum muda, dan wirausaha lain yang dapat diciptakan secara kreatif sesuai modal keilmuan masing-masing mahasiswa.
Sebagai mahasiswa yang dicap sebagai agen perubahan, kegiatan wirausaha dapat kita jadikan sebagai akses implementasi Tridharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Yang terakhir ini secara langsung dapat kita terapkan karena kita selaku mahasiswa sudah dapat mencipta lapangan pekerjaan yang otomatis mengurangi jumlah pengangguran. Dengan keilmuan yang kita pelajari itu sudah cukup menjadi modal awal wirausaha selain motivasi dan kreativitas. Istilahnya learning by doing (mempelajari sambil mempraktekannya). Harus ada kegigihan dan keseriusan untuk belajar dan berusaha. Mencari ilmu di luar kampus sebanyak mungkin pun sangat penting. Jangan sampai yang kita kelola menjadi wirausaha bahaya atau malpraktik.
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial angkatan 2009 dan staf Bagian Penelitian dan Pengembangan Pers Mahasiswa SUARA USU