Judul | Luca |
Sutradara | Enrico Casarosa |
Penulis Skenario | Jesse Andrews, Mike Jones |
Pemeran/dubbers | Jacob Tremblay, Jack Dylan Grazer, Emma Berman, Saverio Raimondo,
Maya Rudolph, Marco Barricelli, Jim Gaffigan |
Rilis | 18 Juni 2021 |
Durasi | 95 menit |
Genre | Animasi, Petualangan, Komedi |
Tersedia di | Disney+ Hotstar |
Luca bukan hanya film tentang persahabatan. Lebih luas lagi: film ini coba menyadarkan penonton pentingnya melestarikan keragaman hayati untuk keberlangsungan bumi dan segala isinya.
Alkisah, di daerah pesisir Riviera, Italia, terdapat sebuah pulau kecil tempat berdiri mercusuar tua yang sudah ditinggalkan. Dari gunjingan para nelayan, tersebar kabar bahwasanya di bawah pulau itu tinggal para monster laut menakutkan yang siap memburu manusia.
Benar memang, jauh di bawah permukaan air laut yang tenang, terdapat dunia yang sangat berbeda: dunianya para monster laut. Di situlah kita bertemu dengan Luca (Jacob Tremblay), tokoh utama film ini. Luca adalah monster laut. Namun, ia masih bocah. Rasa ingin tahunya tentang dunia sangat besar.
Hari-hari, Luca sibuk mengembala ikan-ikan peliharaan keluarganya. Namun, suatu ketika, ia menemukan objek-objek aneh di dasar laut. Rupanya, itu adalah barang-barang dari dunia manusia, yang tak sengaja dijatuhkan para nelayan. Penasaran, Luca terus mencari barang-barang serupa yang ternyata tersebar di mana-mana. Saat itulah ia bertemu Alberto (Jack Dylan Grazer), seekor monster laut lain sebaya Luca. Alberto mengklaim sebagai pemilik barang-barang itu.
Setelah mengambil barbagai barang yang dikumpul Luca, Alberto langsung berenang menjauh. Luca mengejar. Ternyata, Alberto berenang ke daratan. Luca yang kepalang kaget tak sempat menghindar ketika Alberto menariknya ke daratan. Alhasil, Luca berubah wujud jadi manusia. Ya, rupanya para monster laut punya keahlian mengubah diri—secara otomatis—jadi manusia ketika berada di daratan.
Luca syok bukan main. Namun, ketika ia benar-benar membuka mata dan memandang sekitar, Luca tertegun. Belum pernah ia menyaksikan panorama seindah saat itu: biru ombak nyaring menghantam bibir pantai, hijau dedaunan menari mengikuti gerak angin, dan burung-burung beterbangan di bawah langit cerah.
Namun—sekali lagi, Luca sadar. Ia tak seharusnya dirinya berada di daratan. Kedua orang tuanya sudah mengingatkan: daratan itu berbahaya! Para manusia tak akan segan mencincang monster laut ketika ketahuan wujud aslinya.
Dilema hadir dalam hati Luca. Di satu sisi, ia sangat penasaran dengan daratan, di sisi lain Luca takut ketahuan orang tuanya juga dengan manusia. Ia memutuskan kembali ke dalam lautan. Namun, esoknya rasa penasaran Luca menaklukkan rasa takutnya. Ia kembali ke daratan dan bertemu Alberto. Saat itulah Alberto pamer pengetahuan tentang daratan dan dunia manusia. Luca makin tertarik. Sampai suatu ketika, Alberto mengajak Luca ke desa tempat para manusia tinggal.
Di sinilah petualangan dua monster laut—Luca dan Alberto—di dunia manusia dimulai.
Premis yang menarik. Selanjutnya, sepanjang film disuguhkan aksi persahabatan Luca dan Alberto. Bahkan, Luca dan Alberto juga akan bersahabat dengan seorang gadis manusia. Menit demi menit berlalu, intrik-intrik seperti penghianatan antarsahabat, kekuatan persahabatan, dan merelakan sahabat pergi meraih keinginannya akan sangat kental terasa.
Namun, selain pesan tersurat itu, juga terdapat pesan tersirat yang sangat relevan untuk situasi sekarang ini: ajakan pentingnya hidup bersama dengan segala makhluk hidup di bumi untuk keberlangsungan alam dan manusia sendiri. Di banyak adegan, dianalogikan pesan tersirat tersebut.
Konflik antara manusia dengan monster laut misalnya. Manusia melihat monster laut sebagai ancaman. Monster laut dianggap sebagai penghalang para nelayan untuk melaut. Akhirnya, mereka memburu monster laut. Padahal, monster laut juga takut dengan manusia. Mereka sengaja menghindari daratan. Mereka puas hidup di bawah laut tanpa gangguan manusia.
Namun, memang dasar manusia egois dan tamak bukan main. Para nelayan tetap saja memburu para monster laut. Percis seperti di dunia nyata: demi mengeruk sumber daya alam sebanyak-banyaknya, kita tak ragu membunuh banyak makhluk hidup sekitar di alam.
Lihat saja populasi badak sumatera. Pada 2020, jumlahnya tak lebih dari 100 ekor. Padahal, pada 1974 jumlah masih berkisar 400-700 ekor. Mengapa? Tentu karena ego dan ketamakan manusia. Demi meraup kayu-kayu kualitas tinggi, kawasan hutan tempat habitat badak sumatera terus-menerus diberangus. Tentu, badak sumatera hanya sebagai contoh. Banyak hewan lain yang juga harus mati akibat perambahan hutan.
Jika para nelayan di film Luca tak ragu memburu monster laut demi meraup banyak ikan, kita tak segan membunuh para badak sumatera dan hewan hutan lainnya demi bongkahan kayu gelondongan.
Padahal, jika kita tak egois dan memilih hidup berdampingan dengan segala makhluk hidup di bumi, manusia juga yang akan untung. Pesan ini juga sudah disampaikan secara tersirat dalam film. Tepatnya ketika Luca dan Alberto melaut bersama seorang nelayan, Massimo (Marco Barricelli). Saat itu, tak banyak ikan yang sangkut di jaring Massimo, namun ketika Luca dan Alberto yang memilih tempat untuk menebar jaring, Massiomo langsung dapat ikan berlimpah. Tak heran memang, toh sebagai monster laut, Luca dan Alberto tahu betul tempat para ikan berkumpul.
Ya, pesan yang ingin disampaikan dalam adegan itu memang sangat penting: daripada menciptakan lingkaran kekerasan dengan saling buru-memburu, akan jauh lebih menguntungkan jika para nelayan dan monster laut saling bekerja sama.
Di dunia nyata, kerja sama serupa juga dapat kita lihat. Seperti kolaborasi antara nelayan dan lumba-lumba di Laguna, Brazil. Setiap musim gugur, para lumba-lumba liar sengaja datang ke daerah pesisir untuk menggiring kawanan ikan. Di situ, para nelayan sudah menunggu. Ketika ikan sudah berenang dekat nelayan, kawanan lumba-lumba akan memberi sinyal dengan mengepak-ngepakan ekor atau kepala ke permukaan air. Saat itulah para nelayan menebar jaring. Berkat kerja sama ciamik ini, para nelayan kerap mendapat tangkapan besar. Begitu juga dengan lumba-lumba: karena lemparan jaring kawanan ikan akan membubarkan diri, ini buat lumba-lumba jadi lebih mudah menangkapi mereka.
Ya, daripada membunuh lumba-lumba karena dianggap sebagai pesaing dan ‘pencuri’ ikan, para nelayan di Laguna, Brazil, malah membentuk aliansi yang saling menguntungkan dengan mereka. Inilah contoh nyata bahwa—jika saja manusia tak egois—hidup berdampingan dengan makhluk hidup lain bisa sangat menguntungkan untuk kita. Bahkan tak hanya untuk manusia, namun untuk alam secara keseluruhan.
Seperti temuan Johan Rockström, direktur eksekutif Stockholm Resilience Centre, yang menyatakan bahwa keanekaregaman hayati sangat mempengaruhi stabilitas iklim, lapisan ozon, dan lautan kita. “Tanpa keanekaragaman hayati, tak ada ekosistem. Tidak ada ekosistem, tak ada bioma. Tidak ada bioma, tak ada makhluk hidup yang mengatur semua siklus karbon, nitrogen, oksigen, karbon dioksida, dan air,” jelas Rockström.
Artinya, keragaman hayati adalah salah satu pilar utama yang membuat bumi bisa dihuni. Jika manusia terus egois—tetap mengganggu ekosistem hutan serta laut dengan menggunduli hutan dan mencemati laut—maka akan sangat mungkin spesies kita punah dalam ratusan atau bahkan puluhan tahun dari sekarang.
Film Luca mengingatkan kita lagi pentingnya hal itu: mari menjaga keragaman hayati dengan cara hidup berdampingan bersama makhluk hidup lain. Bahkan, di akhir film, disampaikan pesan optimisme bahwa hal itu akan terjadi.
Ya, saya harap akhir bahagia di film mencerminkan nasib dunia kita ini ke depannya.