Oleh: Alfat Putra Ibrahim
Malam itu ia redup dengan pilu. Suasana di sekitar agak mencekam, gelap dan sunyi. Angin berhembus cukup kencang, ada rasa gundah di hatinya. Ia adalah seorang wanita paruh baya yang hidup dengan seorang gadis belia. Ia lumpuh dan bisu, buah hati dari anak satu-satunya yang telah lama wafat.
Mereka tinggal dalam sebuah gubuk mungil di tepi kota, di pinggir jalan besar yang sepi tapi tak terlalu sepi. Mereka tak punya televisi, lemari pendingin atau semacamnya, maklumlah tak ada listrik di istana kecilnya itu.
Hanya sebuah lentera kecil, tapi tak terlalu kecil. Cukup untuk menerangi setiap malam syahdu mereka berdua. Lentera itu sudah tua umurnya, satu-satunya benda peninggalan mendiang suami si nenek sekitar satu dekade lalu. Ia dan sang mendiang suaminya sering membersihkan dan merawat lentera tersebut. Memang tak mahal harganya, namun lentera itu menjadi saksi bisu kenangan indah dua insan yang telah terpisahkan oleh maut.
Ketika petang mulai bersua, sang nenek bergegas menyalakan lentera kesayangannya. Saat hari beranjak gelap, nenek tua dan cucu terkasihnya duduk merapatkan diri ke cahaya lentera untuk mendapatkan penerangan dan kehangatan dari dinginnya malam. Sembari berbincang dalam hening.
Walaupun sudah tua, cahaya lentera tersebut tetap indah memancar. Tak ayal sang gadis cilik sangat suka memandanginya. Terkadang bila kantuk sudah pada puncaknya, ia pun dibuat terlelap olehnya. Bila sang gadis kesayangannya sudah melintasi derasnya samudera mimpi, si nenek memutar sumbu lentera dan meredupkannya hingga habis cahayanya. Ia mengembalikan lentera itu ke tempat semula, di sebelah pintu masuk agak ke kiri.
Kegelapan kembali menyelimuti, kepiluannya agak terobati karena sang cucu masih bisa tertidur pulas malam ini. Sang nenek berharap esok akan diterangi kembali oleh sang surya.
Petang kembali bersua, tak terasa hari ini berlalu dengan singkat. Hari ini si nenek sedang sibuk menganyam tikar pesanan dari kota, sementara si cucu masih terlelap dalam mimpinya.
Sedang asik menganyam, sang nenek menduga cucu semata wayangnya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ingin melihat cucunya, si nenek tua meletakkan anyaman dan beranjak menemui sang cucu.
Sang nenek memang jarang membangunkan gadis kecilnya itu saat pagi. Biasanya ia hanya menyiapkan makanan si cucu dan menaruhnya di samping tempat pembaringannya. Lalu makanan pun selalu habis tak bersisa. Namun hari ini makan yang ia sediakan tak tersentuh sama sekali, hanya beberapa kawanan lalat yang menghinggapinya.
Melihat cucunya masih terlelap, sang nenek mendekap dan memastikan keadaan gadis kesayangannya itu. Betapa tertegunnya hati sang nenek mendapati tubuh cucunya dalam keadan panas, tubuhnya bercucuran keringat, helaan nafasnya berat dan memburu.
Jantungnya berdegup kencang, “Apa yang terjadi dengan cucuku?” seru sang nenek dalam kepanikannya. Nenek tua langsung bergegas mengambil sepotong handuk dan sebaskom air dingin untuk mengompres panas sang cucu.
Melihat keadaannya tak kunjung membaik sang nenek bermaksud membawa cucunya ke tempat pengobatan tradisional yang dekat, tapi tak terlalu dekat dari rumahnya. Bila ditempuh dengan berjalan kaki akan memakan waktu sekitar setengah jam perjalanan.
Hanya itu tempat pengobataan yang mampu didatangi oleh sang nenek. Maklumlah, Puskesmas di seberang jalan tak mengizinkannya berobat gratis karena tak terdata sebagai warga kurang mampu.
Melihat hari sudah cukup gelap, si nenek menyiapkan lentera kesayangannya sebagai penerang di jalan nanti. Ia sadar perjalanan ini tak akan mudah karena tubuhnya mulai renta dan harus menggendong cucunya. Belum lagi jalan yang dilalui cukup berbatu dan banyak semak belukar.
Tapi, karena kasih dan sayangnya, nenek rela mempertaruhkan segalanya.
Tanpa menunggu lama, sang nenek langsung menggendong dan mengikatkan cucunya pada punggung rentanya. Dengan lentera di tangan kanannya, ia menyusuri jalan setapak. Jalan berbatu dan semak belukar tak dihiraukan.
Tujuannya hanya satu, ia ingin cucunya sehat dan bugar kembali seperti sedia kala.
Sudah cukup jauh sang nenek berjalan dengan cucunya, namun ia merasa perjalanan ini sudah tak wajar. Ia merasa hanya berputar-putar dan tak kunjung sampai ke tempat tujuan. Belum lagi sejak beranjak dari rumah tadi, ia merasa diikuti sesosok bayangan atau mungkin sejenis mahkluk gaib.
Kegelisahan nenek tua semakin memuncak, rasa gundah dan takut bercampur jadi satu. Ia mulai mempercepat langkahnya. Lenteranya berguncang hebat, mungkin karena si nenek mulai terburu-buru dan ingin sekali mengambil langkah seribu tapi tak bisa karena ada cucu yang ia gendong dan itu menghambat gerakannya.
Dalam gelisahnya, ia menyadari cahaya lentera kesayangannya mulai meredup. Seketika si nenek menghentikan langkahnya dan mencoba untuk memperbesar cahaya pada lenteranya.
Namun cahaya lentera itu tak kunjung terang, tetapi malah semakin redup, lama kelamaan cahayanya semakin memudar dan akhirnya hilang.
Kini kegelapan menyelimuti segalanya. Sang nenek tak bisa melihat apapun dalam gelap. Tubuhnya tak mampu bergerak. Ini bukan kegelapan biasa, melainkan kegelapan yang mengerikan. Tiba-tiba dari arah depan muncul seberkas cahaya yang makin membesar dan semakin dekat. Sinarnya sungguh menyilaukan.
Betapa terkejutnya ia, ternyata itu cahaya sang surya yang menyibak jendela kecil rumahnya. Nenek terheran-heran mengingat dirinya yang semula berada tengah hutan kini terjaga di istana kecilnya.
Lalu, ia mendekap gadis belia itu untuk memastikan kondisi cucunya. Ternyata sang cucu dalam keadaan wajar, tak ada badan yang panas atau pun keringat yang bercucuran. Gadis itu baik-baik saja. Kini si nenek bisa bernafas lega.
Si nenek tua lalu memperhatikan ada sesuatu yang aneh di rumahnya. Ia menyadari lentera kesayangannya telah hilang. Dengan rasa heran, ia menyusuri sekeliling rumah, namun tak menemukannya sama sekali.
Timbul beragam pertanyaan di benak si nenek, ”Apakah lenteranya terjatuh di jalan tadi malam?” atau “Apakah lenteranya dicuri?”
Lalu, “Bagaimana aku bisa kembali ke rumah?” dan “Bagaimana cucuku bisa sembuh?”.
Ia terus meracau dalam hati dan imajinasinya pun semakin liar.