BOPM Wacana

Lembaga Pers Mahasiswa yang Rentan Intervensi

Dark Mode | Moda Gelap
Illustrasi | Sondang William Gabriel Manalu

Oleh : Sondang William Gabriel Manalu, Nicola Cornelius Alemta Simarmata

“Alasan pertamanya terlalu menjelekkan kampus, standart lah itu.”

Ujar Calvin William, seorang Pimpinan Redaksi (Pimred) di salah satu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di salah satu Universitas Negeri ternama yang berlokasi Medan. Dia menjelaskan bahwa menjaga nama baik kampus merupakan suatu alasan paling umum dari adanya intervensi terhadap LPM.

Beliau sendiri sungkan untuk mempublikasi nama LPM nya. “Nanti bahaya LPM kami bro, kalau nama LPM-nya dipublikasi,” ungkap Calvin sembari tertawa.

Pada kesempatan ini, kami berbincang melalui fitur Call WhatsApp  mengenai isu bahwa berita mereka pernah di paksa takedown oleh pembina mereka.

Berita Acara Pun Di Takedown

Kerentanan intervensi terhadap LPM bisa dikatakan sebagai buntut lemahnya regulasi yang mengatur tentang lembaga pers mahasiswa. Jika kita mengaitkan kedalam UU Pers, Lembaga Pers Mahasiswa bukanlah lembaga yang berbadan hukum sedangkan dalam aturan kegiatan mahasiswa mengenai pers mahasiswa tidak dijelaskan secara konkrit. Hal ini menjadi sorotan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers melalui Ade Wahyudin selaku Direktur Eksekutif. Dikutip dari pernyataan beliau di Marhaen Press berjudul Pers Mahasiswa (Kembali) Mengalami Intimidasi, Buntut Kurangnya Regulasi Khusus Untuk Melindungi, Ia memberikan tanggapan terkait intimidasi yang dialami oleh sebuah LPM berupa penurunan berita secara paksa. “…..Penurunan secara paksa itu merupakan sebuah tindakan pelanggaran hukum dalam Undang-undang Pers, itu bagian dari sensor. Ketika siapapun melakukan sensor, berarti dia melakukan intimidasi,” tuturnya.

Ia pun memberi pernyataan bahwa kerentanan intervensi yang dialami oleh pers mahasiswa diakibatkan kurangnya regulasi khusus yang mengatur. Di samping itu,  ia juga menarik masalah serupa ke bagian kebebasan akademik. “……Nah, tapi kemudian kita bisa tarik bahwa itu bagian dari kebebasan akademik. Kebebasan akademik itu kan harus menghormati hak asasi manusia, didalamnya ada kebebasan pers,” tuturnya.

Kenyataannya dapat dilihat dari lanjutan wawancara bersama Calvin, Ia menceritakan bagaimana kronologi berita acara yang mereka buat dipaksa takedown oleh pembina mereka. Calvin menceritakan mulai dari jenis berita yang dirinya naikkan.

“Sebenarnya berita kami itu isinya tentang demo UKT (Uang kuliah Tunggal -red)  kemarin. Ga apa kali sih soalnya berita kami lebih ke bahas ada ibu-ibu lagi demo UKT di depan rektorat,”paparnya.

Ia juga tidak menyangka bahwa berita tersebut ternyata menjadi viral di Instagram dan banyak pembaca yang ngetag akun rektorat dan akun Senat mahasiswa (Sema).

“Nah, rektorat tidak suka jadi disuruhnya lah pembina kami menghubungi kami,” jelasnya.

Ketika saya menanyakan alasan apa yang diungkapkan oleh pembina mereka, William justru tertawa kecil. William sempat mencontohkan bagaimana pembina LPM berbicara. “Katanya begini, masa kampus kita ini diberitakan orang lagi demo kan gabagus kan?,”.

Selanjutnya, William juga menjelaskan kalau pembinanya mengatakan agar bagian humas dari rektorat saja yang membuat press release terkait isu demo UKT tersebut. “Padahal kami ga buat press release hitungannya. Cuman straight news saja. Ga mencantukan sikap apa-apa hanya benar-benar menggambarkan ada demo tentang UKT di kampus saja,” ujar William kesal.

Arahan Ditolak, Ancaman dan Drama Jadi Solusi Rektorat 

Saya sempat menanyakan keputusan William mengapa akhirnya menurunkan berita tersebut. William pun memaparkan bahwa pembinanya mengeluh kepadanya terkait nasib pembina mereka.

“Yang diancam sama biro rektorat itu pembina kami. Masa mau dipecat dia perkara berita itu?,” tawanya kencang .

Setelahnya, ia menjelaskan bahwa pembinanya memohon kepada mereka.

“Sampai pembinanya memberikan Handphone ke istrinya loh,”  tawanya lebih kencang lagi hingga memekakkan telinga saya yang saya tempel rapat ke telepon genggam saya. Dirinya mengakui bahwa akhirnya dia luluh atas nasib pembinanya.

“Bagaimana tidak luluh? Dah istrinya yang ngomong cuk memohon-mohon pula,” jelasnya.

Pada ujungnya, William mengakui dirinya dilema setelah mengambil keputusan tersebut. “Nanti saat rapat ganti kepengurusan aku juga lah yang bakal kenak evaluasi atas keputusan itu,” lantas juga menyahut sambil sedikit bercanda “Namanya juga pimred, dilema pimred lah itu, yang sabar ya”.

William juga menjelaskan bahwa dirinya sering mendapatkan ancaman dari beberapa organisasi mahasiswa ketika menaikkan berita. Contohnya seperti bentrok antar fakultas. “Kalau ini tidak saya respon biasanya,” ujar William.

Ia menjelaskan bahwa dirinya diancam akan dicari oleh organisasi mahasiswa terkait. “Yah sekretariat kami terbuka setiap hari, tetapi tidak ada juga yang datang kok,” Ujarnya.

Pada kesempatan lain, saya juga sempat mewawancarai Iqbal seorang pimpinan umum dari LPM di salah satu universitas swasta di Medan. Sama seperti William dia juga enggan disebutkan nama LPM nya dengan alasan yang sama.

Dalam kesempatan kali ini, saya melaksanakan wawancara melalui fitur chat WhatsApp karena jam yang sudah terlalu malam sekitar pukul 12.30 WIB. Iqbal pun bersedia diwawancarai namun melalui chat saja.

Ia menjelaskan bahwa dirinya pernah dipaksa takedown berita. Hal ini bahkan terjadi lebih dari satu kali. “Yang kuingat ada beberapa sih, yang pertama vaksinasi 150 mahasiswa, tanpa ada pemberitahuan ke mahasiswa lain, Baru orang tua yang tidak dapat tempat duduk pas wisuda di Gedung selecta, dan ini lah yang terbaru tentang poster Kampus Kok Ngeri (plesetan KKN).

Dalam wawancara, ia sempat memfoward chat dari pembina yang disampaikan kepada Pimrednya.

Berikut merupakan forward chat yang dikirimkan Iqbal kepada saya.

“Sebagai pendiri UKM layak keberatan, karena itukan untuk melatih kompetensi jurnalistik. Kalau mau mengambil posisi sebagai media pengkritik  atau oposan mestinya jangan bawa nama universitas,”

Menanyakan terkait ancaman dan sanksi, Iqbal pun menjawab bahwa yang terakhir itu postingan poster KKN. Ia menjelaskan kalau berita tersebut sudah sampai ke grup wartawan medan. “Jadi banyak media-media seperti Tribun, Waspada, dan Suara.co meminta konfirmasi ke Humas kampus kami,”

Saya pun sontak menanyakan apakah dirinya langsung menyanggupi arahan dari rektorat untuk mentakedown berita. Dan Iqbal pun menjawab “Engga kok masih ada,”. Saya sontak tertawa dan mengatakan “Ih bandal (nakal -red) ya wkwkwk,”

Selanjutnya, ia memaparkan bahwa melalui pembina, kampus ingin mengirimkan surat somasi untuk penurunan berita. Namun ia juga mengatakan kalau sampai sekarang berita tentang poster KKN tersebut belum juga terkena takedown..

Saya lantas kaget karena adanya ancaman turunnya surat somasi dari rektorat. Saya pun kembali bertanya sambil bercanda, “Nunggu apa? Nunggu surat somasi?,”

Iqbal pun menjawab bahwa surat somasinya tidak turun sampai sekarang. Ia juga menjelaskan kalau postingan terkait berita tersebut sudah tenggelam di Instagram.

Peran Pers Mahasiswa di Kampus

Membicarakan peran LPM mereka di kampus, Iqbal langsung mengirimkan ilustrasi berupa meme yang menunjukkan posisi mereka sebagai media mahasiswa di kampus mereka.

Tampak dalam gambar tersebut, Iqbal menempatkan LPM sebagai seorang Superman atau pahlawan. Unsur lain seperti alumni, mahasiswa, sampai kepada legislatif mahasiswa meletakkan harapannya kepada Superman yang dalam hal ini adalah LPM.

Meme yang dikirimkan oleh Iqbal melalui chat WhatsApp | Sumber Istimewa

Iqbal menjelaskan bahwa di kampus mereka tidak ada Badan Eksektutif Mahasiswa (BEM) sehingga media berfungsi menyalurkan aspirasi mahasiswa ke rektorat. “Ya aspirasi mereka seperti Poster KKN itu, kan kami publikasi terus sampailah ke rektorat tentang keresahan mahasiswa,” ujarnya

Ia juga sedikit menceritakan perasaannya. “Tetap aja aku yang habis kenak sama Humas. Yang berkoar sok aktivis diam aja. Menang di komenan emoticon api,” ketiknya kesal

Pada kesempatan yang berbeda William juga memaparkan kondisi Media mereka di Kampus. “Kalau di kampus kami ada SEMA, jadi mahasiswa biasanya menghubungi bahkan ngespam Sema untuk menyampaikan aspirasi mereka ke rektorat,”.

William menjelaskan pada akhirnya medianya hanya meliput hasil konsolidasi antara SEMA dan Rektorat. “Kalau ini rektorat ga nyuruh takedown lah,” ungkapnya.

Ketika ingin mengkonfirmasi kejadian yang dialami oleh para pengurus LPM ini ke rektorat mereka masing-masing, mereka menolak dengan alasan keselamatan media mereka.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4