Oleh: Putra P Purba
Industri nada ibu pertiwi mendadak riuh. Naskah akademik dan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang sedang digarap oleh DPR diragukan kehadirannya. RUU dianggap membatasi ruang berekspresi bahkan menuai penolakan dari para musisi.
RUU Permusikan telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR tahun 2015-2019. Semua bermula di tahun 2015. Saat Komisi X DPR RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan perwakilan-perwakilan industri musik. Rapat ini bertujuan membahas perkembangan terakhir industri musik Indonesia.
Pembahasan lebih mengarah tentang pembajakan, royalti, tata kelola industri musik, dan hak cipta menjadi fokus utama. Menjadi alasan kuat penyusunan RUU Permusikan bagi para musisi. Namun, naskah akademik dan draf RUU yang dibuat oleh Badan Keahlian DPR RI melenceng dari hasil diskusi, dan menuai kritik para musisi.
Protes ini semakin membesar dan menyebar. Diawal Februari 2019, terbentuklah Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTL RUU Permusikan). Koalisi ini menaungi pikiran 260 musisi, penggiat seni, dan industri musik yang mengecam penyusunan atas RUU Permusikan. Gelombang ini semakin tak henti, hingga ke musisi di daerah-daerah.
Lahirnya petisi yang dicetus musisi Danilla Riyadi sebagai perwakilan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan di Change.id dengan tanda pagar #TolakRUUPermusikan menjadi langkah nyata penolakan kehadiran naskah tersebut. Dilansir dari Tirto.id, petisi itu sudah ditandatangani oleh lebih dari 254 ribu orang pada Jumat (8/2/2019).
Alasan utama dari perdebatan ini yaitu terdapat sejumlah regulasi yang bermasalah, mulai dari “pasal karet” hingga potensi tumpang tindih aturan. Sebanyak 19 dari 54 pasal dinilai bermasalah. Pasal-pasal tersebut dianggap membatasi ruang proses kreatif musisi, hingga memarginalisasi dan mendiskriminasi musik.
Dari beberapa pasal yang dipermasalahkan, ada empat poin penting. Pertama, aturan “karet” yang terdapat pada Pasal 5 paling banyak dititikberatkan pada musisi. Penyusunan pasal ini dianggap berisi larangan yang sudah diatur dalam aturan-aturan yang telah diterapkan. Mulai dari membuat musik provokatif, konten pornografi, penistaan agama, membawa budaya barat yang negatif, hingga merendahkan harkat martabat manusia. Namun, peraturan yang terdapat dalam pasal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 tentang hak asasi manusia.
Kedua, RUU Permusikan memarginalisasi musisi independen yang terdapat pada Pasal 10 ayat (2), pasal 18 dan 19 tentang pendistribusian karya musik melalui ketentuan dan mewajibkan promotor maupun penyelenggara acara musik punya lisensi dan izin usaha pertunjukan musik.
Pasal ini jelas mempersempit gerak penyelenggara dan pendistribusian musisi yang berjalan di jalur independen dan mandiri, yang sudah terbukti bisa melahirkan banyak band baru nan ciamik, salah satunya musik indie.
Demi mendapatkan izin penyelenggaraan acara musik para musisi indie tentu akan mengeluarkan biaya yang lebih besar.
Ketiga, RUU Permusikan bersifat pemaksaan dan mendiskriminasi. Hal ini tercantum dalam Pasal 32 hingga Pasal 35 yang membahas tentang uji kompetensi untuk para musisi. Dengan adanya uji kompetensi, pasal ini dinilai mendiskriminasi musisi.
Keempat, keredaksian bahasa yang terdapat dalam beberapa pasal bersifat bias tanpa batasan yang jelas terhadap poin-poin yang terkandung di dalamnya. Hal ini yang membuat pemahaman dan penafsiran tujuan pasal itu belum ditemui kesahihannya.
Salah satu contohnya terdapat pada Pasal 32 ayat (2), yang berbunyi “Uji kompetensi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar kompetensi profesi pelaku musik yang didasarkan pada pengetahuan, keterampilan dan pengalaman”. Bagian ini, dinilai dan tidak memiliki kejelasan tentang ‘apa yang diatur’ dan ‘kepada siapa yang mengatur dan diatur’.
Berbeda dengan guru sekolah musik atau yang berwewenang mengajar musik, tentu butuh uji kompetensi. Hal ini ditujukan kepada mereka agar memenuhi standar tertentu yang memberinya hak untuk mengajar mata pelajaran musik.
Tapi bagi musisi yang kini sudah melahirkan penggemar dan otodidak, mahkota kompetensi ini tak lagi dibutuhkan, kompetensi mereka sudah teruji melalui lirik lagu yang sudah tinggal dalam hati dan perasaan penggemar.
Memang di banyak negara praktek uji kompetensi bagi pelaku musik ada. Seperti, di negara Amerika Serikat, Korea Selatan, Spanyol, dan Jerman. Namun, tidak ada satupun negara dunia yang mewajibkan semua pelaku musik melakukan uji kompetensi. Hanya pilihan atau opsional bagi para pelaku musik.
Padahal sebagai Undang-Undang, RUU Permusikan tidak boleh bias pada setiap poin yang akan diatur. RUU yang semula diharapkan sebagai jawaban identifikasi masalah tentang kesejahteraan pelaku industri musik.
RUU tersebut justru membatasi ruang gerak kebebasan berekspresi musisi. Namun, jangan lupakan hal ini, ada 35 dari 54 pasal yang tidak dipermasalahkan dalam RUU Permusikan. Pasal-pasal tersebut dipercaya menguntungkan musisi.
Kendati demikian pasal-pasal bermasalah bisa saja diubah karena masih proses rancangan, tentu membutuhkan banyak tenaga dan waktu. Mengingat lambatnya kinerja DPR–bukan rahasia umum–dan dalam beberapa bulan ke depan masa jabatan anggota DPR RI 2014-2019 akan berakhir, besar kemungkinan RUU ini tidak akan menjadi apa-apa. Toh, arus penolakan sudah jelas dan memancing keributan. Kalaupun regulasi soal permusikan diwajibkan, yang perlu diatur bukan musik itu sendiri, melainkan tata kelola industri musiknya saja.
Perlunya pengkajian akademik dari awal yang melibatkan perwakilan pekerja musik dari berbagai latar belakang, baik musisi independen, tradisi dan lokal, jalanan, otodidak, akademisi, maupun guru sekolah musik dalam merancangkannya.
Cukuplah polemik RUU Permusikan menuai perdebatan dari pelaku industri musik. Namanya musikus, orangnya saja beda-beda, tentunya berkreasi secara berbeda-beda, dengan ekspresi dan interpretasi berbeda-beda, serta memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda-beda pula. Lekaslah berbenah sebab musik mengungkapkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan dan yang tidak mungkin hanya diam.