BOPM Wacana

Post-Truth: Tantangan Nyata Pemilu 2019

Dark Mode | Moda Gelap
Ilustrasi: Surya Dua Artha Simanjuntak

 

Oleh: Surya Dua Artha Simanjuntak

“Kebohongan yang hanya sekali disampaikan akan tetap menjadi sebuah kebohongan, tetapi kebohongan yang disampaikan secara terus-menerus niscaya menjadi sebuah kebenaran.” – Joseph Goebbels, pakar propaganda Nazi.

Dua-tiga tahun terakhir, istilah post-truth semakin masif digunakan. Frasa tersebut sangat populer semasa referendum Brexit di Britania Raya dan pemilihan presiden Amerika Serikat 2016. Bahkan, Oxford Dictionary tak segan melabeli istilah tersebut sebagai ‘word of the year 2016’.

Post-truth sendiri merujuk pada keadaan di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh membentuk opini publik daripada fakta-fakta objektif. Awalnya, istilah post-truth diperkenalkan Steve Tesich pada 1992 untuk merefleksikan kondisi politik saat itu, yang kemudian muncul istilah post-truth politics.

Pada era digital, fenomena  post-truth semakin tampak nyata. Media sosial sebagai produk era digital seakan melegatimasi fenomena ini.

Melalui media sosial, semua orang bisa jadi ‘jurnalis’. Deras arus informasi tak dapat lagi dibendum. Konsekuensinya, berita palsu semakin berbiak—terutama menjelang tahun-tahun politik.

Media sosial dinilai menjadi tempat kampanye yang ideal, mudah, dan murah. Namun, kampanye hanya dijadikan ajang menuai suara saja—tanpa mementingkan esensi kampanye itu sendiri. Hasilnya, kampanye hitam menjadi konsumsi pengguna media sosial sehari-hari.

Tak jarang kita menemukan unggahan di media sosial yang menyerang suatu pihak—tanpa data dan sumber yang jelas. Padahal unggahan tersebut hanya bersifat opini, bukan fakta.  Kemudian, ungguhan tersebut akan di-viral-kan pihak yang merasa diuntungkan. Akhirnya, opini publik terbentuk.

Inilah fenomena post-truth: tak peduli apakah informasi tersebut benar atau salah  jika sesuai dengan emosi dan keyakinan pribadi maka informasi tersebut diyakini kebenarannya.

Bahayanya, kini banyak masyarakat Indonesia hampir kehilangan kepercayaan kepada media arus utama sehingga keadaan tersebut semakin menjustifikasi fenomena post-truth. Media arus utama dianggap semakin partisipan dan melalui media sosial, masyarakat disajikan ruang alternatif mengakses informasi. Akhirnya, media arus utama, yang seharusnya menjadi rujukan mencari fakta yang valid, kehilangan kredibilitasnya.

Di Indonesia, pola fenomena post-truth sebenarnya sudah terlihat dalam ajang Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. Masing-masing calon gubernur membentuk tim media sosial sebagai strategi kampanye: Ahok dengan Teman Ahok, Agus Yudhoyono dengan Karib Agus, dan Anies dengan Jakarta Maju Bersama.

Tim media sosial tersebut dibantu buzzer selalu siap siaga menggiring opini publik. Hasilnya, pada ajang Pilkada DKI Jakarta terbentuk polarisasi politik pengguna media sosial: kubu pro-Ahok dan anti-Ahok.

Dapat kita cermati, selama ajang Pilkada DKI Jakarta, kampanye hampir selalu berkutat pada hal yang menjatuhkan lawan saja. Kubu anti-Ahok melabeli pihak lawan dengan sebutan kasar seperti kafir, maksiat, haram, dan sebagainya. Kubu pro-Ahok juga tak mau kalah, mereka melabeli lawannya dengan istilah yang tak kalah kasar seperti anti-pancasila, muslim radikal, dan sebagainya.

Kemudian, pelabelan tersebut menggiring—atau bahkan memaksa—publik untuk memilih salah satu pihak agar tak disebut kafir atau anti-pancasila. Jika sudah seperti itu, benar dan salah seakan dinomor-duakan.

Tentu, dinamika politik menjadi sangat tak sehat. Sayangnya, pola post-truth semacam ini kembali digunakan dalam kontes Pemilu 2019. Kita mungkin tak asing dengan istilah cebong—ejekan kubu pendukung pemerintah—dan kampret—ejekan kubu oposisi.

Pengguna media sosial seakan dipolarisasi kembali. Bahkan segala aktifitas warganet dalam mengomentari dan membagikan berita politik, ekonomi, bahkan religi dapat menjadi alat pengkubuan politik.

Ketika informasi buruk mengenai kubu pemerintah muncul, maka kubu oposisi tanpa pikir panjang akan menyebarkan hal tersebut—tanpa mengecek terlebih dahulu kebenarannya. Begitu juga sebaliknya.

Pola seperti ini akan terus muncul akibat fenomena post-truth. Fakta dan opini—yang sering kali merujuk pada berita bohong—seakan bersaing untuk dipercaya publik. Sayangnya, kini warganet lebih suka pembenaran daripada kebenaran. Batas antara pembenaran dan kebenaran pun semakin tipis.

Sebuah survei yang diterbitkan Masyarakat Telematika Indonesia pada 13 Februari 2017 lalu seakan menegaskan bahwa kita—memang—sedang diterpa fenomena post-truth. Dalam survei yang diikuti 1.116 responden tersebut, 91,8% responden menyatakan sering menerima berita bohong tentang sosial politik, lebih tepatnya mengenai Pemilu dan pemerintah. Selain itu, 92,4% responden menyatakan menerima berita bohong dari media sosial.

Survei tersebut agaknya menjadi peringatan serius bagi kita, para warganet. Media sosial sebagai ruang publik tanpa batas diharapkan menjadi pilar demokrasi yang progresif. Namun, nyatanya media sosial malah menjadi ancaman demokrasi itu sendiri. Ruang publik tanpa batas tersebut seakan menjadi wadah mengemukakan pendapat yang kebablasan.

Jika terus dibiarkan, demokrasi akan semakin tak sehat dan dinamika politik akan semakin kacau pula. Fenomena post-truth jelas menjadi tantangan nyata menjelang pemilu 2019.

Keadaan ini menegaskan pentinya literasi digital bagi setiap individu. Melalui literasi digital, warganet diharapkan mampu mengakses, menganalisis, dan mengevaluasi informasi yang ia terima. Dengan begitu, warganet mampu kritis terhadap suatu informasi: membedakan yang benar dan salah, informasi nyata dan bohong, serta informasi baik dan berbahaya.

Sehingga, jumlah warganet yang terpapar post-truth dapat ditekan. Sebab, pada prakteknya post-truth menyerang warganet yang kurang kritis sehingga mudah terpengaruh dalam propaganda penyebar informasi.

Maka, sudah waktunya literasi digital masuk dalam kurikulum pendidikan. Tak berlebihan rasanya mengingat beberapa tahun belakangan penyebaran berita bohong sangat masif. Pun, fenomena politik post-truth semakin berkembang.

Hal ini menjadi keniscayaan, agar kedepannya pemilu di Indonesai lebih berkualitas, bermartabat, dan damai—tentunya. Lebih luas lagi, diharapkan budaya politik yang sehat dapat tercipta serta terwujudnya keberlangsungan pembangunan nasional.

Komentar Facebook Anda

Surya Dua Artha Simanjuntak

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU Stambuk 2017.

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4