Oleh: Lazuardi Pratama
Judul | : When Marnie Was There |
Sutradara | : Hiromasa Yonebayashi |
Penulis skenario | : M Suyanto dan Aryanto Yuniawan |
Pengisi Suara | : Sara Takatsuki, Kasumi Arimura, Hana Sugisaki, Hitomi Kuroki. |
Tahun | : 2014 |
Durasi | : 103 menit |
Film animasi ini adalah film terakhir Studio Ghibli sebelum hiatus Agustus tahun lalu. Cocok maupun tidak cocok, dapat jadi kenangan menarik untuk penggemar studio animasi legendaris asal Jepang ini.
When Marnie Was There menurut saya adalah representasi dari kisah hiatusnya Studio Ghibli. Anna—yang perempuan—seperti dalam film-film Ghibli lain yang banyak mengangkat tokoh perempuan polos sebagai protagonis menjadi representatif Ghibli masa kini. Sementara Marnie adalah Ghibli masa lampau.
Anna, gadis tomboy yang suka menyendiri ini mengambil semacam cuti musim panas ke suatu tempat yang jauh dari kota. Itu untuk menyembuhkan penyakit asmanya yang parah. Mungkin sama seperti Ghibli yang harus hiatus karena pensiunnya maestro mereka, Hayao Mizayaki, sang sutradara di balik animasi-animasi legendaris Ghibli. “Ini sangat jelas, dampak pensiunnya Miyazaki sangat signifikan,” kata Toshio Suzuki, direktur Ghibli.
Beberapa film animasi Ghibli di antaranya My Neighbor Totoro (1988), Spirited Away (2001), dan Howl’s Moving Castle (2004). Pensiunnya Miyazaki jelas merupakan pukulan telak bagi Ghibli sebab mereka belum punya penerus yang mampu menggantikannya. Paling-paling Isao Takahata, partner Miyazaki yang juga bisa disebut maestro. Tapi ia bukan penerus, melainkan rekan kerja yang sama-sama sudah tua.
Dalam liburan musim panas itu, Anna tinggal bersama paman dan bibinya. Mereka tinggal di pinggiran desa di pinggir pantai. Anna yang gemar menggambar sketsa ini merasakan kehidupan baru, semacam ruang privasinya, tidak seperti di kota yang sesak. Udara di sana juga lebih bersih, dan pemandangan pantai menginspirasinya untuk menggambar.
Pertemuan Anna dan Marnie menjadi representasi pertemuan Ghibli masa kini dan masa lalu. Terlepas dari latar belakang Anna dan Marnie yang berbeda jauh, mereka menyimpan kesamaan preferensi. Mereka adalah gadis-gadis kesepian yang dianiaya kehidupan bermasyarakat.
Marnie adalah anak ekspatriat yang tinggal di Jepang. Gadis berambut pirang ini adalah korban kesibukan orang tuanya. Ia akhirnya menemukan kecocokan dengan Anna. Keduanya sama-sama butuh teman yang saling mengerti satu sama lain.
Hanya waktu yang menyadarkan Anna bahwa Marnie adalah khalayan semata. Semacam sahabat khayalan. Masyarakat desa melihat rumah kosong di pinggir pantai—yang kalau air laut pasang, jalan ke sana terendam air—tersebut adalah rumah kosong. Sementara Anna melihat kehidupan di sana, ada Marnie, ada pesta para orang tua, dan pembantu galak. Tapi ketika Anna tersadar, ia melihat rumah itu kosong dan tak terawat sehingga tampak menyeramkan.
Mereka kemudian berteman baik. Anna seringkali pada sore hari pergi ke dermaga, berharap ada perahu dayung yang bersandar supaya ia bisa ke rumah Marnie. Mereka bermain di pesta orang tua, bertukar rahasia masing-masing, dan bercerita panjang tentang keluhan hidup. Semua difilmkan dengan tempo yang lambat, banyak dialog, dan panorama desa khas Studio Ghibli—dianimasikan dengan gambar tangan, bukan computer-generated.
Sulit sekali mendeskripsikan bahwa animasi ini tipikal Studio Ghibli. Mungkin harus nonton film-film Ghibli lainnya baru bisa merasakannya. Ia seperti emosi karakter yang ditunjukkan dengan benar-benar emosional, latar belakang yang berwarna seperti lukisan dengan detail yang diperhatikan. Sangat menyenangkan buat mata.
Ini bukan seperti tiga film terakhir Studio Ghibli yang ditujukan untuk khalayak dewasa. From Up on Poppy Hill (2011) untuk remaja, dan The Wind Rises (2013—karya terakhir Miyazaki) serta The Tale of the Princess Kaguya (2013) untuk yang lebih dewasa.
Uniknya, animasi untuk keluarga terakhir sebelum ini adalah Arietty (2010), yang sutradaranya sama dengan Marnie ini. Ia adalah Hiromasa Yonebayashi. Ia disebut-sebut sebagai suksesor Miyazaki dan Takahata. Tentu saja bersama Goro Miyazaki, anak Hayao Miyazaki yang membikin From Up on Poppy Hill. Tidak ada yang tahu.
Yonebayashi saya pikir sudah cukup matang membuat film-film Ghibli selanjutnya. Ia mendapatkan respon baik dari kesuksesan Arietty. Ia punya mengalaman sebagai animator. Ia juga tidak bandel seperti Goro yang pernah berniat mengubah gaya animasi Ghibli yang digambar manual dengan tangan menjadi computer-generated. Computer-generated itu bisa kita temui dalam animasi-animasi produksi Pixar dan Disney. Goro pernah dimarahi Hayao karena ini sebelumnya. Ya, jelas saja, mengubahnya sama dengan mengubah budaya Ghibli.
Kembali pada representasi film ini terhadap hiatusnya Ghibli, sebenarnya representasi ini dasarnya sederhana. Pada akhirnya Anna akan mengetahui tentang siapa itu Marnie, sehingga saya katakan pertemuan mereka adalah representasi Ghibli kini dan lampau.
Anna mau tidak mau mesti rindu pada Marnie yang menjadi teman satu-satunya seumur hidupnya. Begitu juga dengan Ghibli yang dirindukan penggemarnya untuk tetap berkarya. Mungkin seperti Ghibli masa lampau, satu atau dua dekade yang lewat, di mana duet Miyazaki-Takahata mampu menyaingi studio dengan reputasi internasional seperti Disney hingga kemudian Pixar. Bahkan Miyazaki dinilai orang sebagai Disney-nya Jepang, walaupun ia tidak suka julukan itu.
Oleh karena itu, When Marnie Was There memang mahakarya Ghibli yang tepat untuk mengakhiri aktivitasnya sebagai studio legendaris, untuk sementara. Film ini mewakili mayoritas hal-hal tipikal Ghibli seperti protagonis perempuan yang polos, gaya animasi, dan cerita yang dramatis plus imajinatif. When Ghibli was there.