Oleh: Dewi Annisa Putri
Judul | : The Girl on the Train |
Penulis | : Paula Hawkins |
Penerbit | : Noura Books |
Tahun terbit | : September 2016 (Cetakan Kesebelas) |
Jumlah halaman | : 432 Halaman |
Harga | : Rp79.000 |
Novel The Girl on the Train berhasil mendunia hingga akhirnya difilmkan. Sayangnya, alur cerita yang ditulis Paula Hawkins cukup menjemukan. Hingga filmnya—yang berjudul sama—justru jadi gagal berantakan.
Paula Hawkins mendapatkan ide menulis cerita pada suatu ketika ia naik kereta api. Ia berandai-andai bila menjadi saksi suatu kejadian mengerikan dari atas kereta api tersebut. Lantas Hawkins mulai menulis.
Rachel Watson, perempuan pecandu alkohol yang masih menggunakan nama belakang mantan suaminya, punya rutinitas harian. Ia naik kereta api dari Ashbury menuju Euston setiap pagi, lalu kembali lagi pada malamnya. Setiap kereta api melewati Blenheim Road, Rachel selalu memerhatikan rumah nomor 15, di mana sepasang suami-istri, Scott dan Megan Hipwell, tinggal. Keduanya terlihat begitu bahagia dan saling cinta.
Masih di jalan yang sama, hanya berjarak beberapa rumah, Tom dan Rachel pernah hidup bersama. Namun, kini Tom tinggal di sana bersama istri barunya, Anna, dan anak mereka. Sedangkan Rachel semakin kacau. Ia sering mengganggu Tom dan Anna—menelepon pada tengah malam atau bahkan berusaha menculik anak mereka.
Rachel perempuan kacau. Namun, hidupnya kembali berubah ketika Megan hilang pada 13 Juli 2013. Rachel berusaha memecahkan misteri ke mana dan bersama siapa Megan pergi. Ia yakin telah menyaksikan sesuatu, sebuah petunjuk penting, namun ‘Rachel mabuk’ kehilangan ingatannya pada malam itu.
Bicara soal kesuksesannya, novel ini memang patut diacungi jempol. The Girl on the Train merupakan novel bergenre thriller pertama karya Hawkins yang terbit Agustus 2015 lalu. Hingga kini, novel ini telah dipublikasikan dalam enam puluh edisi dan terjual lebih dari empat juta eksemplar di Amerika dan Inggris. Bahkan, DreamWorks telah mengubah wujud novel ini menjadi film.
Sayangnya, alur cerita yang digunakan Hawkins dalam novel ini agaknya membuat pembaca kebingungan di awal. Ia menggunakan sudut pandang orang pertama dari tiga tokoh—Rachel, Anna, dan Megan—secara begantian. Sebenarnya hal ini tidak masalah mengingat beberapa penulis lain juga pernah sukses menggunakan alur serupa. Sebut saja Andrea Hirata dengan buku Ayah-nya. Namun, Hawkins membuat ceritanya menjadi lebih sulit dicerna sebab menggunakan latar waktu yang berbeda dan tak runut pada tiap tokoh.
Misalnya, Rachel membuka cerita dengan mengisahkan dirinya pada 5 Juli 2013. Lalu dalam bab berikutnya Megan menceritakan dirinya pada 16 Mei 2012. Sementara Anna malah tiba-tiba muncul pada bab kesepuluh dan bercerita dengan latar waktu 20 Juli 2013.
Tokoh Rachel runut berkisah apa yang dilakukannya dari hari ke hari, sementara Anna baru rutin muncul pada pertengahan cerita menjelang Megan hilang. Justru Megan malah mulai tak bercerita lagi saat Rachel tengah sibuk mencari tahu apa yang terjadi. Megan baru muncul dan menceritakan apa yang terjadi padanya pada 13 Juli 2013, tepat saat Anna dan Rachel berhadapan dengan pembunuh Megan pada 18 Agustus 2016.
Bila Anda bingung dengan permainan tanggal di atas, begitu pula yang akan terjadi jika membaca novel ini. Mungkin Anda akan perlu kembali pada lembar sebelumnya untuk memastikan tanggal per tanggal para tokoh bercerita. Hingga lambat laun, Anda akan terbiasa dan memahami permainan Hawkins.
Sebenarnya, meski agak membosankan, alur yang digunakan Hawkins sebenarnya menarik, sah-sah saja, dan pada akhirnya dapat membangkitkan rasa penasaran pembaca. Namun sayangnya ketika novel ini difilmkan, alur cerita justru semakin kacau. Memang, Tate Taylor sebagai sutradara tak serta merta menggunakan alur yang dituliskan oleh Hawkins dalam novel karena pasti akan sulit dan membosankan. Namun perombakan alur justru membuat film menjadi lebih membingungkan—bahkan berantakan.
Emily Blunt, Haley Bennet, Rebecca Ferguson, Luke Evans, dan Justin Theroux yang memerankan film tersebut kelihatannya telah melakukan upaya maksimal untuk mendalami karakter masing-masing. Hanya saja, alur film membuat penonton tak betah berlama-lama memandang layar dengan segala kekaburan cerita. Apalagi jika penonton belum membaca novel Hawkins, bisa jadi akan mengernyitkan dahi karena tak mengerti maksud pergantian adegan per adegan. Benar-benar sayang sekali.
Terlepas dari hubungan novel ini dan filmnya, toh Hawkins telah membuktikan ia mampu berkarya dari hal sederhana. Pada akhir buku, nyatanya Hawkins mengejutkan pembaca dengan pengungkapan siapa dalang di balik hilangnya Megan. Setelah pembaca sempat dibuat-buat berprasangka pada tokoh-tokoh lainnya.
Nama Hawkins belum melecit sebelumnya meski telah menulis beberapa buku. Pada 2006, ia menulis The Money Goddess (2006), buku mengenai perencanaan keuangan bagi perempuan karier. Selain itu, perempuan yang sebelumnya berprofesi sebagai wartawan selama lima belas tahun ini, juga menulis beberapa novel fiksi roman dengan nama pena Amy Silver. Di antaranya Confessions of a Reluctant Recessionista (2009), All I Want for Christmas (2010), One Minute to Midnight (2011), dan The Reunion (2013).
Kini, Hawkins sedang mempersiapkan penerbitan untuk novel thriller keduanya berjudul Into the Water yang akan dirilis Mei 2017 mendatang. Well, semoga berhasil lagi, Ms. Hawkins!