Oleh: Aulia Adam
RSCM, Sayap Psikiatri, 28 Desember 2011
“Cukup, December!” emosi Vindo meninggi. Dia muak dengan tingkah adiknya.
“Apa susahnya mencari satu orang saja, Vin?” December memelas. Tangisnya hampir pecah.
“Baiklah. Aku akan mencarinya. Tapi kumohon jangan terlalu berharap. Fokus saja pada kesehatanmu.”
***
RSCM, Sayap Psikiatri, 29 Desember 2011
December termenung. Dia sedang menatap awan yang berarak perlahan di langit biru melalui jendela kamar inapnya. Hari sedang cerah. Tak ada awan kelabu atau rintik hujan di pagi Desember ini. Yang ada hanya kicauan burung yang sayup terdengar dari kejauhan. Sungguh kebetulan yang menyenangkan bisa menikmati sepotong pagi cerah di bulan penghujan ini.
Tapi cerahnya hari tidak sejalan dengan iklim emosi December. Dia sedang gusar. Hatinya tak keruan mengeluarkan enzim kecemasan yang dirasanya mulai berlebihan. Penyebabnya hanya satu, seseorang tepatnya. Seseorang yang terus-terusan menyita seluruh pikirannya. Seseorang yang sejak dua bulan lalu mendadak menghilang dari kehidupannya. Januari. Januari nama pemuda itu.
“Melamun lagi, Des?”
Suara seorang pria mengejutkannya.
December menoleh ke arah suara, lantas tersenyum. “Hai Vindo, tumbenpagi-pagi begini sudah di sini?”
Vindo juga tersenyum sambil meletakan seperangkat sarapan di atas meja di sebelah dipan December. “Kantor libur hari ini. Aku jadi tidak ada kerjaan, jadi ke sini saja.” Ia tertawa ringan. “Ini sarapanmu, Hadissa yang buat.”
“Hadissa memang kakak ipar terbaik,” ujar December di sela senyumnya. “Bagaimana keadaan Aya dan Ulfa? Kudengar dari Hadisaa mereka terkena cacar bersamaan. Pasti repot sekali.”
“Namanya juga anak kembar. Bahkan saat sakit saja harus bersama-sama. Kami sudah terbiasa dengan mereka.” Vindo kembali tertawa, merasa humornya sangat lucu. Lebih kepada bangga pada diri sendiri.
Suasana hening sejenak. Tidak ada yang memulai perbincangan lain. December merasa cukup basa-basinya. Isi kepalanya kembali diambilalih oleh sosok Januari. Mungkin Vindo tahu tentang kabar Januari, batin December.
“Vin?”
“Ya?”
Hening beberapa detik lagi. December tahu pertanyaannya akan menyulut emosi Vindo. Karena biasanya begitu.
“Sudah tahu kabar Januari?”
Hening lagi. December memperhatikan wajah Vindo. Ia mewanti-wanti ekspresi terkejut atau marah yang mungkin akan muncul. Satu… dua… tiga…December menghitung dalam hati. Tapi tak ada perubahan apa pun di wajah Vindo. Dia seakan sudah terbiasa dengan pertanyaan tadi.
“Kenapa kau harus memikirkan pria itu terus?”
December terkejut dengan pertanyaan itu. Walaupun sudah menerka sikap dingin Vindo, tapi rasa sakit yang muncul tetap sama. December tahu seberapa besar cintanya pada Januari, sehingga pertanyaan Vindo tadi terasa begitu tajam untuk dipikirkan.
“Dia calon suamiku, Vin. Apa aku salah kalau harus memikirkannya?” December tertawa getir. Rasa pahit terasa di sekujur tubuhnya. Bahkan di kuku-kukunya. Padahal kata orang-orang kuku tidak bisa merasakan apa-apa.
“Tapi dia pergi, Des. Sejak dua bulan lalu.”
“Karena itu aku memintamu untuk mencarikannya. Sekarang sudah tanggal 22, Vin. Seminggu lagi pernikahan kami. Tepat saat ulang tahunku.” December kembali tersenyum. Untuk beberapa detik yang singkat, ia membayangkan dirinya dan Januari-nya berdiri di altar lengkap dengan pakaian pengantin mereka.
“Cukup, December!” emosi Vindo meninggi. Dia muak dengan tingkah adiknya.
“Apa susahnya mencari satu orang saja, Vin?” December memelas. Tangisnya hampir pecah.
“Baiklah. Aku akan mencarinya. Tapi kumohon jangan terlalu berharap. Fokus saja pada kesehatanmu.”
“Apa pun yang kauminta,” December tersenyum lagi. Entah untuk keberapa kalinya di pagi ini saja. Tapi butir-butir air mengalir dari kedua lubang sempit di matanya. Ia menangis. Tapi karena rasa bahagia yang mendadak hadir dan melambungkannya. Ia sangat senang mendengar kesediaan Vindo terhadap permintaannya.
“Aku keluar dulu,” ujar vindo. Lalu ia menghilang di balik pintu kamar inap December.
“Vin?” tegur December, sesaat sebelum Vindo membuka pintu di hadapannya.
“Ya?”
“Terima kasih.” December tersenyum dengan tangis yang masih mengalir.
“Pegang saja janjimu.” Vindo menutup pintu.
“Bagaimana, Sayang?” Vindo disambut pertanyaan penasaran dari istrinya.
“Seperti hari-hari sebelumnya, December masih mengira hari ini tanggal 22 Desember.”
“Tapi sekarang tanggal 29. Sekarang ulang tahunnya.” Hadisaa hampir menangis. Dia tidak tega melihat kondisi adik iparnya.
“Dia juga masih mengira Aya dan Ulfa masih terkena cacar.” Tangis Vindo juga tak tertahan. Rasanya begitu sakit setelah melihat adiknya yang sakit keras tadi.
“Tapi aku dan Aya udah sembuh dari kemarin, Yah,” celoteh Ulfa, anak kedua Vindo dan Hadissa.
“Iya, Sayang. Tante December mungkin hanya lupa.” Vindo menggendong putrinya. “Dia juga maaih menanyakan hal yang sama tentang Januari.”
“Bagaimana ini, Dok?” tanya Hadissa pada dokter Kartini, dokter yang menangani December dan sedari tadi menunggu di luar ruangan bersamanya. “December terus-terusan begini selama seminggu ini, tidak ada perkembangan.”
“Alzheimer memang belum ada obatnya, Bu. Kita hanya bisa memberi Nona December obat-obat yang mencegah kerusakan lebih lanjut pada sistem sarafnya. Kepergian Januari, sosok yang sering disebut-sebut beliau, sepertinya merupakan kesedihan yang paling menyita pikirannya. Sehingga beliau teru-terusan mengulang hari di mana beliau merasa sangat rindu pada pemuda itu. Mungkin mempertemukannya dengan pemuda itu sedikit bisa membantu, walaupun persentase kemebuhannya tidak sampai seratus persen,” jelas si dokter panjang lebar.
“Tidak mungkin, Dok. Januari sudah meninggal. Ia nakhoda kapal Angkatan Laut. Dua bulan lalu ia pergi berlayar dalam tugas, tapi kapalnya tenggelam dan kami tidak mendapat kabar tentangnya sampai seminggu yang lalu. Bahwa dia termasuk dalam daftar korban tewas. Dan December mendengar kabar itu hingga begini.” Tangis Vindo semakin membanjir. Kesedihan meremukan hatinya.