BOPM Wacana

Habis ‘Manis’, Sampah Jangan Dibuang

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh: Yulien Lovenny Ester Gultom

Moris dengan karya-karyanya.|Yulien Lovenny Ester Gultom
Morris dengan karya-karyanya.|Yulien Lovenny Ester Gultom

Sampah menurut Wikipedia merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Siapa sangka si ‘sisa’ ini ‘menghasilkan’ di tangan Morris.

Tang teng tang teng… Suara spatula beradu dengan kuali nyaring terdengar. Suasana malam cukup riuh dalam dapur sebuah restoran. Semua koki dengan sigap melayani pesanan pengunjung. Semakin malam, makin banyak pesanan.

Morris, lelaki berusian dua puluhan itu tampak kelelahan. Ia bekerja hingga larut malam. Belum lagi, bos pemilik restoran sering mengaturnya mengerjakan ini, itu. Sambil memasak, ia terpikir suatu hal. “Kenapa aku harus bekerja sama orang lain?” pikirnya. Kemudian lontaran lain keluar dari mulutnya, “Malas kerja sama orang.”

Morris merasa terkekang. Kerjaannya banyak diatur oleh bos, jam kerja malam pun membuatnya jengah. Ia tak dapat menolerir jam malam ini. Ketika orang tidur ia bekerja, keluh Morris.

Muncul ide dalam pikirannya; aku ingin berusaha dengan usahaku sendiri. Ini moto Morris yang menguatkan ia untuk berhenti menjadi koki di restoran saat itu. Tak pernah terbayangkan bahwa ia akan berakhir sebagai pengusaha yang mendaur ulang sampah. Ia merasa Tuhan memberikannya kesempatan untuk mengolah sampah.

Tahun 2011 silam, Morris resmi memutuskan keluar dari tempat ia bekerja. Langkah pertama yang dilakukannya adalah membuat lampu hias berbahan benang, buah mahoni, dan kulit telur. Ia yakin pekerjaannya yang baru akan membawa rezeki.

Morris mengolah bahan-bahan dari limbah, sisa hasil kebun di daerah Tebing. Tak ragu, ia menawarkan karya pertamanya itu ke Pemerintah Kota (Pemko) Tebing. Tujuannya agar barang daur ulangnya ini dikenal orang banyak. Ia ingin ikut pameran waktu itu.

Sesampainya di sana, Morris langsung menawarkan lampu hias buatannya tapi ia ditolak. Tak hanya Pemko Tebing, semua teman-teman Morris meragukan usahanya. Kawan-kawannya bilang ia tak akan berhasil. Morris pun maklum. Ia menyemangati dirinya sendiri dan bilang bahwa karyanya adalah karya baru dan orang pun masih ragu untuk menunjukkannya ke ruang publik.

Pernah ditolak sekali, membuat Morris tak menyerah dan putus asa. Ia percaya kesempatan akan datang. Kesempatan itu nyatanya benar-benar datang. Setelah ditolak semua karyanya diletak di rumah mama—ibu Morris—di Medan.

Ibu Morris seorang penjahit konveksi. Ketika ibu Morris sedang menjahit, seorang dari Pemko Medan—yang juga pelanggan untuk menjahit—datang dan kebetulan melihat lampu hias miliknya.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Keesokan harinya Morris dipanggil untuk ikut pameran di Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU). Di tempat inilah Morris pertama kali memamerkan karya-karyanya. Kali ini, tak hanya lampu hias, lukisan dari kulit telur pun sudah ia ciptakan. Ada lima belas lukisan yang laku hari itu. “Satu setengah juta untuk satu lukisan, laku meledak,” ujarnya sambil tersenyum.

Morris semakin dikenal, peristiwa cukup mengagetkan datang. Ia diminta untuk mengajar masyarakat di Tebing, daerah asalnya, oleh Pemko Tebing. Karena masih kecewa, Morris menolak. “Aku diminta ke sana tapi aku tak mau ke sana, keluargaku semua sudah di Medan,” ujarnya.

Saat ini ada tiga penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) yang ia peroleh, yaitu lukisan terbesar dari bubuk teh, lukisan terbesar dari limbah sawit, dan karya mozaik dari kulit telur setinggi tiga kali lima meter.

Karya Morris yang paling murah dijual dengan harga lima ratus ribu rupiah, sedangkan yang paling mahal bisa mencapai dua puluh juta.

Febri Yunarta, salah satu teman Morris yang juga seorang seniman mengaku baru mengenal Morris. Ia mengatakan Morris adalah seseorang yang punya semangat untuk maju dan berusaha serta pribadi yang asyik dalam bergaul. Saat ini, Morris sedang menyelesaikan karya terbarunya untuk melukis Gubenur-gubernur Sumatera dari biji kopi.

Morris adalah satu dari ribuan pengusaha daur ulang sampah di Indonesia. Ia berkeinginan agar sampah tak jadi ‘sampah’ saja. Ada harapan Morris agar masyarakat khususnya mahasiswa lebih peka terhadap lingkungan sekitar. “Belum ada mahasiswa yang mau dan tertarik untuk belajar mengolah limbah,” ujarnya.

Padahal Morris mengatakan, limbah biji sawit, bubuk teh, kopi, abu rokok, ataupun abu sinabung modalnya murah dan bila dijadikan karya seni harga jualnya tinggi. Menurut Morris, mahasiswa sekarang banyak yang berpikiran kerja itu harus berpakaian kantor dan seragam. Padahal berwiraswasta atau berdagang juga merupakan pekerjaan. “Ada berapa ratus mahasiswa yang tamat tiap lima tahun, masih sempit pemikirannya. Kerja itu harus PNS,” ujar Morris.

Morris sedikit membandingkan, di Jawa katanya mahasiswa berbeda karena mulai berpikir tentang wiraswasta. “Kesempatan untuk jadi enterprenuer dari sampah itu luar biasa,” pungkasnya.

Morris mencontohkan USU, ia bilang ada banyak sampah di USU tapi ia mempertanyakan berapa banyak limbah yang sudah diolah. Ia meminta mahasiswa lebih kreatif karena banyak sampah yang dapat diolah dan bisa menghasilkan pendapatan mahasiswa dan USU. “Kaya kelen, betul,” tutupnya.

 

Nama: Morris Alexander Siregar

TTL: Medan, 18 Agustus 1978

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4

AYO DUKUNG BOPM WACANA!

 

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan media yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa USU.
Mari dukung independensi Pers Mahasiswa dengan berdonasi melalui cara pindai/tekan kode QR di atas!

*Mulai dengan minimal Rp10 ribu, Kamu telah berkontribusi pada gerakan kemandirian Pers Mahasiswa.

*Sekilas tentang BOPM Wacana dapat Kamu lihat pada laman "Tentang Kami" di situs ini.

*Seluruh donasi akan dimanfaatkan guna menunjang kerja-kerja jurnalisme publik BOPM Wacana.

#PersMahasiswaBukanHumasKampus