BOPM Wacana

Empat Belas Skenario yang Berasa Pahit

Dark Mode | Moda Gelap

Oleh Ridho Nopriansyah

Foto: Ridho Nopriansyah
Foto: Ridho Nopriansyah

Judul: Skenario Remang-Remang (Kumpulan Cerita)

Penulis: Jessica Huwae

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal: viii + 180 halaman

Terbit: Cetakan Pertama, Juni 2013

Ide cerita yang ia angkat lazim: hitam putih kehidupan masyarakat urban. Tapi lewat pemilihan kata yang anggun, Jessica membolak-balikkan pandangan atas baik dan buruk.

“Supaya kau tahu. Ada harga yang harus dibayar dengan menjadi perempuan.” Begitulah penggalan dialog di satu cerpen berjudul ‘Skenario Remang-Remang’ dalam buku bertajuk sama. Ditulis oleh Jessica Huwae yang sempat bekerja di beberapa media nasional seperti Media Indonesia dan Femina Group. Sepertinya lewat pengalaman itu, Jessica bisa menghadirkan cerita apik dengan kejutan berlapis di hampir semua judul.

Salah satunya, ia hadirkan pengalaman bagi pembacanya lewat penulisan cerpen ‘Skenario Remang-Remang’ yang seratus persen dialog. Tak ada satu deskripsi pun. Hingga akhir, pembaca diajak menebak-nebak ke mana arah perbincangan dua tokoh anonim tersebut. Walau materi cerpen terkesan provokatif, “Tidak ada maksud apa-apa, saya hanya bereksperimen sedikit,” tulisnya via email saat saya wawancarai 15 Januari lalu.

Kumpulan cerita Skenario Reman-Remang ia tulis di tengah kejenuhannya menulis novel berjudul Galila. Penggalan novelnya ia masukkan juga ke dalam buku ini dengan cerpen berjudul sama, ‘Galila’. Ia berharap, cerpennya mampu menggoda pembaca untuk menengok versi lengkapnya yang akan rilis April mendatang.

Cerpen berjudul ‘Galila’ mengambil setting di Maluku. Bercerita tentang Greta yang mengambil langkah berani saat diselingkuhi suaminya, Kris, seorang nelayan. Bukannya merengek-rengek meminta kembali cinta sang suami, ia justru berontak dan melawan adat. Greta berani menghapus nama suaminya di belakang nama Galila, putranya. Pertama kali terjadi di kampungnya.

Sementara itu, cerpen berjudul ‘Semangkuk Salad dan Setumpuk Kenangan Saat Jam Makan Siang’ juga memberikan warna yang menarik di buku ini. Menurut saya, Jessica sukses menyusun potongan-potongan kisah kerusuhan Mei 1998, cinta, dan politik menjadi satu bangun cerita yang mengesankan. Fokus pada dampak sosial yang ditimbulkan sehingga tak melebar dan meluber ke mana-mana.

Tokoh utama adalah dua aktivis yang menjalin cinta. Arla, gadis Tionghoa dan anak pejabat bernama Rasyid. Cinta keduanya pupus saat Arla menjadi korban kerusuhan dan Rasyid menjadi penikmat reformasi yang kebablasan.

Jessica menghadirkan empat belas cerpen berlatar belakang cerita realita sehari-hari. Ada romantika, pengkhianatan, perselingkuhan, politik, dan pemberontakan diri. Walau di beberapa judul ceritanya terkesan menggantung, Jessica merangkai cerita dengan kata yang anggun namun mudah dicerna. Plot yang dihadirkan juga yang lembut, dengan sarat kejutan.

Seperti cerpen berjudul ‘Segitiga’, cerita perceraian sepasang kekasih dikisahkan dari sudut pandang Otis, seekor kucing. Menyentil hubungan manusia lewat perspektif binatang.

Ia memang sengaja menggantung cerita, membuat pembacanya menerka apa yang terjadi dengan tokoh-tokoh di dalamnya. Ia memberi ruang kepada untuk pembaca berimajinasi. “Saya lebih suka membiarkan pembaca saya berinterpretasi secara bebas dan luas saja,” ungkap Jessica.

Memang, Jessica memilah cerita yang dekat dengan realita. Namun di cerpen ‘Menjemput Bapak’, tak ditemui akhir yang menggigit. Dari awal cerita dapat ditebak: kembalinya anak yang kecewa karena perselingkuhan orang tuanya.

Selebihnya, silakan Anda baca sendiri. Berburu remang-remang yang Jessica suguhkan cukup mengesankan. Sebab ia sarat akan nilai. Walau hampir semua ceritanya berbau pengkhianatan dan getirnya hidup—sehingga saya bilang berasa pahit—tetap ada sensasi berbeda yang didapat.

Tak banyak penulis, sebut saja Dee Lestari atau Ayu Utami, yang mampu mengeksekusi tema seperti ini dengan bahasa yang anggun. Salah-salah, yang didapat hanya cerita pepesan kosong.

Jessica mengajak pembaca larut dalam dilematis–yang kerap ditemui di cerita-ceritanya –yang menyesakkan dada. Ia menyentil dengan kepekaan yang tinggi. Sehingga kita tak buru-buru menyimpulkan sesuatu itu baik atau buruk.

Semoga karya Jessica selanjutnya, novel berjudul Galila, tidak mengecewakan. Saya yakin dengan penulisan, alur, dan konflik di dalamnya. Ia sudah buktikan di buku ini. Saya hanya khawatir jika Jessica tidak meyusun akhir cerita yang apik untuk Galila, jatuhnya seperti penulis lain yang keasyikan meracik aneka kata memesona, jadi lupa mengurus ending cerita.

Komentar Facebook Anda

Redaksi

Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana merupakan pers mahasiswa yang berdiri di luar kampus dan dikelola secara mandiri oleh mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU).

Pentingnya Mempersiapkan CV Bagi Mahasiswa | Podcast Wacana #Eps4